Suatu hari, aku memutuskan untuk menghadapi Fandi. Aku tahu bahwa aku tak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini.
"Fandi, aku ingin bicara denganmu," kataku ketika kami bertemu di taman kampus. Dia mengangguk, tampak serius.
"Aku tahu kau dan Maya sudah lama dekat," lanjutku. "Tapi, aku juga mencintai Maya. Aku ingin tahu perasaanmu sebenarnya."
Fandi terdiam sejenak sebelum menjawab. "Arman, aku tahu situasi ini tidak mudah. Aku memang dekat dengan Maya, dan aku juga mencintainya. Tapi, aku belum pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Aku menghargai persahabatan kita, dan aku tak ingin merusaknya."
Mendengar kata-katanya, hatiku semakin terbelah. Di satu sisi, aku merasa lega bahwa Fandi belum pernah mengungkapkan perasaannya. Namun, di sisi lain, aku merasa ketakutan yang lebih besar. Bagaimana jika Fandi memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya dan Maya memilihnya?
Aku pulang ke rumah dengan hati yang kacau. Malam itu, aku merenung lama, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, semakin aku berpikir, semakin aku merasa terjebak dalam lingkaran yang tak berujung.
Keesokan harinya, Maya mengajakku bertemu di kafe tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama. Ada kecemasan yang tergambar di wajahnya, membuatku semakin gugup.
"Arman, ada sesuatu yang harus aku katakan," ucapnya, suaranya penuh dengan keraguan.
Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba menyiapkan diri untuk apa pun yang akan dikatakannya.
"Aku sudah memikirkan ini dengan sangat matang," lanjutnya. "Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri. Arman, aku mencintaimu, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku terhadap Fandi. Aku bingung, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Hati ini rasanya hancur berkeping-keping mendengar kata-katanya. Aku tahu bahwa ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Maya, tetapi aku juga tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin membesar di dalam dada.