Setelah Bayu selesai bercerita, dukun itu menatapnya dalam-dalam, seolah-olah melihat langsung ke dalam jiwanya. "Liontin itu adalah kunci dari kutukan yang sangat kuno," katanya dengan suara yang penuh kebijaksanaan. "Pria tua yang kau temui adalah penjaga kutukan itu. Dia telah terjebak dalam siklus kutukan selama berabad-abad, dan sekarang, dia ingin mengakhiri penderitaannya."
Bayu merasa merinding mendengar penjelasan dukun itu. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, berharap ada cara untuk mengakhiri mimpi buruk yang terus menghantuinya.
Dukun itu tersenyum tipis. "Kau harus kembali ke rumah itu, dan menghadapi pria tua itu sekali lagi. Kutukan itu bisa dipatahkan, tetapi hanya jika ada seseorang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk mengakhiri siklus ini."
Bayu terdiam sejenak, memikirkan kata-kata dukun tersebut. Ia tahu bahwa kembali ke rumah itu berarti menghadapi bahaya yang tak bisa dia bayangkan sebelumnya. Namun, dia juga menyadari bahwa jika dia tidak melakukan apa-apa, kutukan itu mungkin akan terus menghantui orang lain.
Dengan tekad yang kuat, Bayu memutuskan untuk kembali ke rumah tua itu. Kali ini, dia membawa sesajen yang diberikan oleh dukun sebagai penawar kutukan. Sesajen itu terdiri dari bunga-bunga suci dan dupa yang diikat dengan kain putih, yang menurut dukun bisa menenangkan roh-roh yang terikat pada liontin.
Saat Bayu tiba di rumah tua itu, malam sudah larut. Bulan bersinar terang, memancarkan cahaya pucat yang membuat rumah itu tampak semakin menyeramkan. Dengan hati-hati, Bayu memasuki rumah itu sekali lagi. Setiap langkah yang dia ambil, lantai kayu berderit pelan, seolah-olah memperingatkan kehadirannya.
Ketika dia mencapai ruang tamu, pria tua itu sudah menunggu di sana, seperti yang dia duga. Tatapan pria itu masih dingin dan penuh amarah, tetapi ada kesedihan yang tersembunyi di balik matanya. "Kau kembali," kata pria itu, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Bayu mengangguk pelan. "Aku ingin mengakhiri kutukan ini, untukmu, dan untuk keluarga Angkasa," katanya dengan suara tegas.
Pria tua itu terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Kutukan ini hanya bisa diakhiri dengan pengorbanan. Apakah kau siap?"
Bayu menarik napas dalam-dalam. "Jika itu satu-satunya cara, aku siap."
Pria tua itu mendekat, dan saat dia melakukannya, Bayu merasakan hawa dingin yang sangat menusuk. Pria itu memegang liontin yang dulu dia ambil dari Bayu, dan dengan suara pelan, dia mulai mengucapkan mantra kuno. Cahaya terang tiba-tiba memancar dari liontin, dan ruangan itu dipenuhi dengan angin kencang yang berputar-putar.