Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minggu Pagi yang Gerimis

11 Agustus 2024   08:41 Diperbarui: 11 Agustus 2024   08:44 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber gambar: Freepik)

Pagi itu, suara gerimis yang lembut mengiringi suasana kampung yang masih sepi. Matahari enggan menampakkan dirinya, seakan malu menyapa dunia yang basah oleh rintik hujan semalaman. Di sebuah rumah sederhana di pinggir sawah, seorang anak laki-laki berusia enam tahun bernama Davi baru saja bangun dari tidurnya.

Davi adalah anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Setiap hari, ia selalu bermain di halaman rumah yang luas, berlari-lari di antara tanaman padi yang mulai menghijau, dan yang paling ia sukai adalah bermain bersama ayam-ayam peliharaannya. Di antara belasan ayam itu, ada satu ekor anak ayam berwarna kuning keemasan yang menjadi kesayangan Davi. Anak ayam itu ia beri nama Kuning, karena bulunya yang cerah dan lembut.

Pagi itu, meskipun gerimis masih turun, Davi tak bisa menahan rasa penasarannya untuk melihat ayam-ayamnya. Ia segera mengenakan sandal jepit kecilnya dan berlari menuju kandang ayam di belakang rumah. Di sana, ayam-ayamnya sedang meringkuk di dalam kandang yang terbuat dari bambu, melindungi diri dari dinginnya cuaca.

Davi membuka pintu kandang dengan hati-hati, memastikan agar tidak ada ayam yang keluar tanpa pengawasannya. Satu per satu, ia menghitung ayam-ayamnya. Ketika sampai pada Kuning, ia mengelusnya dengan lembut. Anak ayam itu mengeluarkan suara kecil yang membuat Davi tersenyum bahagia.

Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, Davi melihat genangan air yang cukup besar di bawah kandang. Hujan semalam telah membuat air meluap dari parit kecil di samping kandang, dan sekarang air itu menggenangi sebagian halaman belakang rumah. Davi merasa khawatir. Kandang ayam yang terbuat dari bambu itu memang cukup kokoh, tetapi air yang semakin naik bisa menjadi ancaman bagi anak-anak ayam yang masih kecil.

Dengan sigap, Davi mencoba memindahkan anak-anak ayam ke tempat yang lebih aman. Namun, saat ia mengangkat Kuning, anak ayam itu tiba-tiba mengepakkan sayapnya dan terlepas dari genggaman Davi. Dengan cepat, Kuning melompat keluar kandang dan jatuh ke genangan air yang sudah mulai naik.

Davi terkejut dan panik. "Kuning!" teriaknya, melihat anak ayam kesayangannya terombang-ambing di air yang dingin dan keruh. Tanpa pikir panjang, Davi segera mengejar Kuning. Genangan air yang dingin menyentuh kakinya yang kecil, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menyelamatkan Kuning.

Anak ayam itu terlihat berusaha mengapung di atas air, mengepak-ngepakkan sayap kecilnya yang basah, tetapi arus air yang perlahan mengalir ke parit membuat Kuning terseret semakin jauh dari kandang. Davi mulai menangis, air matanya bercampur dengan air hujan yang masih turun dari langit. Tangannya yang kecil mencoba meraih Kuning, tetapi air yang menggenang cukup dalam untuk ukuran anak seusianya.

Dengan tubuh yang mulai menggigil kedinginan, Davi terus berusaha menyelamatkan anak ayam itu. "Kuning, jangan pergi! Aku di sini!" teriaknya dengan suara yang semakin parau. Namun, air yang terus mengalir membuat usaha Davi terasa sia-sia. Kuning semakin menjauh.

Melihat Kuning yang semakin jauh, Davi merasakan kesedihan yang mendalam. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan anak ayam kesayangannya. Dengan sisa-sisa tenaga, ia mencoba mendekat lagi, tetapi kali ini kakinya tersandung sebuah batu di dasar genangan air. Davi terjatuh, membuat tubuhnya semakin basah kuyup. Tangisnya semakin keras, bercampur dengan suara hujan yang masih terus turun.

Di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang. "Davi, kamu kenapa, Nak?" Suara itu adalah suara ibu Davi. Ibu yang selalu ada di sampingnya, yang selalu memberinya rasa aman dan nyaman. Davi menoleh dengan mata yang sudah bengkak karena menangis.

"Ibu! Kuning... Kuning jatuh ke dalam air," kata Davi terbata-bata sambil menunjuk ke arah Kuning yang semakin jauh terbawa arus.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ibu Davi segera melangkah masuk ke dalam genangan air itu. Dengan langkah yang hati-hati, ia mendekati Kuning. Air yang cukup dalam untuk Davi, ternyata hanya setinggi mata kaki bagi ibunya. Dengan cepat, ibu Davi meraih anak ayam itu dan mengangkatnya ke udara.

"Davi, ini Kunin-nya. Lihat, dia selamat," kata ibu Davi sambil tersenyum. Ia kemudian menghampiri Davi dan menyerahkan Kuning ke dalam genggaman tangan kecil Davi yang gemetar.

Davi memeluk Kuning erat-erat, takut kehilangan lagi. "Maaf, Kuning. Maafkan aku," bisiknya sambil menangis tersedu-sedu. Anak ayam itu mengepakkan sayapnya sedikit, seolah-olah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Ibu Davi memeluk anaknya dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Sudah, jangan menangis lagi, Nak. Kuning sudah selamat. Sekarang, kita bawa dia ke tempat yang lebih aman, ya?" kata ibu Davi sambil mengusap punggung Davi.

Davi mengangguk sambil terisak. Dengan hati-hati, mereka berjalan kembali ke rumah. Di sana, ibu Davi menyiapkan tempat yang hangat dan kering untuk Kuning dan anak-anak ayam lainnya. Ia juga memberikan selimut kecil untuk Davi yang masih menggigil kedinginan.

Sambil duduk di dekat perapian yang kecil, Davi memandangi Kuning yang sekarang sudah mulai mengering dan kembali aktif. Anak ayam itu tampak tenang di dalam kotak yang telah dilapisi kain hangat. Ibu Davi duduk di sampingnya, mengelus rambut Davi yang masih basah.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Davi. Kadang-kadang, dalam hidup, kita harus menghadapi situasi yang sulit. Tapi yang penting, kita tidak menyerah dan terus berusaha," kata ibu Davi lembut.

Davi mengangguk pelan. Ia merasa lebih baik sekarang, meskipun masih ada rasa takut yang tersisa. "Terima kasih, Ibu," ucapnya sambil menatap ibunya dengan mata yang penuh rasa syukur.

Ibu Davi tersenyum hangat. "Kamu anak yang hebat, Davi. Kuning pasti tahu bahwa kamu sangat menyayanginya."

Minggu pagi itu, di bawah hujan gerimis yang terus menetes, Davi belajar tentang rasa cinta dan tanggung jawab. Meskipun hari itu dimulai dengan kepanikan dan kesedihan, akhirnya Davi menyadari betapa pentingnya keberanian dan kasih sayang dalam menghadapi setiap tantangan. Dan di dalam pelukan ibunya, Davi tahu bahwa selama ia berusaha dan tidak menyerah, segala sesuatunya akan baik-baik saja.

Setelah kejadian di Minggu pagi itu, Davi menjadi semakin sayang kepada Kuning dan anak-anak ayam lainnya. Setiap hari, ia memastikan bahwa kandang mereka aman dan kering, terutama ketika hujan turun. Meskipun usianya masih enam tahun, Davi belajar banyak hal dari pengalaman itu tentang keberanian, tanggung jawab, dan pentingnya menjaga apa yang ia cintai.

Beberapa minggu berlalu, dan hujan terus mengguyur kampung mereka. Musim hujan tahun ini tampak lebih panjang dari biasanya. Genangan air di sekitar rumah Davi semakin sering muncul, membuatnya harus lebih berhati-hati setiap kali ia bermain di luar rumah. Namun, Davi tidak pernah mengeluh. Setiap kali hujan turun, ia segera memeriksa kandang ayam dan memastikan Kuning serta anak-anak ayam lainnya tetap aman.

Suatu sore, hujan deras kembali mengguyur kampung. Langit tampak gelap, seakan-akan malam tiba lebih cepat dari biasanya. Davi yang sedang bermain di dalam rumah, merasakan getaran di jendela kaca saat angin kencang mulai berhembus. Ia bergegas ke dapur, tempat ibunya sedang menyiapkan makan malam.

"Ibu, apakah kita harus memindahkan ayam-ayam ke tempat yang lebih aman lagi?" tanya Davi dengan nada cemas.

Ibu Davi yang sedang mengaduk sup di atas kompor menoleh dan tersenyum lembut kepada Davi. "Ibu pikir itu ide yang bagus, Davi. Hujan kali ini sepertinya akan berlangsung lama. Ayo, kita bawa mereka ke teras rumah. Di sana lebih hangat dan aman dari air."

Dengan cepat, Davi dan ibunya mengambil sebuah kotak besar dan beberapa kain untuk melapisi dasar kotak tersebut. Mereka kemudian berjalan ke belakang rumah, menerobos hujan yang semakin deras. Kandang ayam tampak basah oleh percikan air hujan, dan genangan air di sekitar kandang sudah mulai naik lagi.

"Kuning, ayo ke sini," panggil Davi dengan penuh perhatian sambil membuka pintu kandang. Kuning, yang seakan mengenali suara tuannya, dengan cepat mendekati Davi. Satu per satu, Davi memindahkan anak-anak ayam ke dalam kotak besar yang mereka bawa. Meskipun dingin dan basah, Davi merasa tenang karena tahu ayam-ayamnya akan aman di tempat yang lebih kering.

Setelah semua ayam berada di dalam kotak, ibu Davi dan Davi membawa mereka ke teras depan rumah. Di sana, mereka meletakkan kotak itu di sudut yang terlindung dari hujan dan angin. Davi menutupi kotak itu dengan kain yang hangat, memastikan Kuning dan yang lainnya merasa nyaman.

Setelah semuanya aman, mereka berdua kembali ke dalam rumah. Davi duduk di dekat jendela, memandangi hujan yang semakin deras. Meskipun sudah hampir malam, ia masih memikirkan ayam-ayamnya. Perasaan cemas masih menggelayut di hatinya, meskipun ia tahu mereka sudah aman.

"Ibu, apakah hujan ini akan terus turun sampai besok?" tanya Davi.

"Mungkin saja, Davi. Tapi tidak perlu khawatir, kita sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga ayam-ayammu. Sekarang saatnya istirahat dan menikmati makan malam," jawab ibunya sambil menyajikan sup hangat di meja makan.

Davi mengangguk, meskipun matanya masih terus memandangi jendela yang basah oleh air hujan. Ia duduk di meja makan dan mulai menyantap sup yang disajikan ibunya. Keheningan malam itu hanya diiringi oleh suara hujan yang terus mengguyur atap rumah.

Tiba-tiba, terdengar suara keras dari luar. Seperti suara sesuatu yang jatuh ke tanah. Davi langsung berdiri dan melihat ke arah jendela. Dalam kegelapan, ia tidak bisa melihat apa yang terjadi, tetapi hatinya berdegup kencang.

"Ibu, aku mendengar sesuatu di luar!" serunya.

Ibu Davi menghentikan aktivitasnya dan mendengarkan dengan seksama. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seperti kayu yang terhantam oleh sesuatu. Tanpa menunggu lebih lama, ibu Davi mengambil senter dan mengajak Davi keluar untuk memeriksa.

Mereka membuka pintu dan menyorotkan cahaya senter ke arah teras depan. Di sana, mereka melihat bahwa angin kencang telah merobohkan sebuah papan kayu yang selama ini menopang tanaman rambat di dekat teras. Papan itu jatuh tepat di sebelah kotak tempat anak-anak ayam berada, tapi untungnya kotak itu tidak terkena dampaknya.

Davi segera berlari ke kotak tersebut, memastikan Kuning dan anak-anak ayam lainnya baik-baik saja. Ia mengangkat kain yang menutupi kotak dan melihat mereka semua dalam keadaan aman, meskipun sedikit gelisah karena suara keras tadi.

"Syukurlah mereka baik-baik saja," ucap Davi lega, sambil mengusap kepala Kuning yang masih bersembunyi di sudut kotak.

Ibu Davi memindahkan papan kayu yang jatuh dan menempatkan kotak ayam ke tempat yang lebih aman lagi. Setelah memastikan semuanya dalam kondisi baik, mereka kembali masuk ke dalam rumah.

Malam itu, Davi tidur dengan tenang, meskipun hujan masih terus turun dengan deras. Ia tahu bahwa ia sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga ayam-ayamnya, dan ia juga tahu bahwa ibu selalu ada untuk membantunya dalam situasi apapun.

Keesokan paginya, saat Davi bangun, hujan telah berhenti. Matahari perlahan muncul di ufuk timur, memancarkan sinar hangat yang menembus jendela kamar. Davi segera berlari keluar rumah untuk memeriksa ayam-ayamnya. Di teras, ia menemukan Kuning dan anak-anak ayam lainnya berjemur di bawah sinar matahari pagi, tampak tenang dan sehat.

Dengan senyum lebar di wajahnya, Davi berjongkok dan memanggil Kuning. Anak ayam itu mendekat dan mengepakkan sayap kecilnya, seolah-olah mengucapkan terima kasih kepada Davi.

Minggu pagi yang gerimis telah berlalu, meninggalkan kenangan manis tentang cinta, keberanian, dan tanggung jawab yang tumbuh di hati seorang anak kecil bernama Davi. Dan kini, di bawah sinar matahari yang cerah, Davi tahu bahwa selama ia peduli dan berusaha, ia akan selalu bisa menjaga yang ia sayangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun