Ketukan di pintu semakin keras, seakan ada seseorang yang mencoba masuk dengan paksa. Razaq mencoba menggerakkan tubuhnya, dan perlahan ia mulai bisa merasakan kembali kakinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Razaq berusaha bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu depan.
Ketika ia membuka pintu, Razaq terkejut melihat Pak Slamet berdiri di ambang pintu, dengan wajah cemas. "Razaq, apa yang terjadi? Aku mendengar suara aneh dari rumahmu," kata Pak Slamet sambil memegang bahu Razaq.
Razaq tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri diam, masih terguncang oleh apa yang baru saja terjadi. "Dia... dia ada di sini," bisik Razaq dengan suara gemetar.
Pak Slamet mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang Razaq maksud. "Kamu tidak boleh takut, Nak. Sosok itu hanya bisa berkuasa jika kamu terus memberinya kekuatan melalui ketakutanmu."
Razaq mencoba mencerna kata-kata Pak Slamet, tetapi kepalanya masih dipenuhi oleh bayangan Ratih. "Apa yang harus aku lakukan, Pak?" tanya Razaq, matanya penuh dengan ketakutan.
Pak Slamet menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Kamu harus menghadapi rasa takutmu, Razaq. Jangan biarkan dia menguasai hidupmu. Aku akan membantumu."
Pak Slamet kemudian masuk ke dalam rumah, dan bersama Razaq, mereka menuju kamar tempat sosok Ratih tadi muncul. Pak Slamet menyalakan dupa dan mulai melantunkan doa-doa dengan suara tenang. Asap dupa memenuhi ruangan, dan suasana di dalam kamar berubah menjadi lebih tenang.
Setelah beberapa saat, Pak Slamet menatap Razaq dengan serius dan berkata, "Ini belum berakhir. Malam ini, kamu harus menghadapi bayangan itu dan menunjukkan bahwa kamu tidak takut lagi."
Razaq mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Malam itu, mereka berdua duduk di kamar, menunggu sosok Ratih kembali. Jam berdetak pelan, dan suasana sunyi menyelimuti rumah.
Ketika jarum jam menunjukkan tengah malam, Razaq merasakan udara di dalam kamar mulai dingin lagi. Kabut tipis mulai masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, dan suara langkah kaki itu kembali terdengar. Namun kali ini, Razaq tidak berlari. Ia tetap duduk di tempatnya, meski tubuhnya gemetar.
Sosok Ratih muncul dari kabut, dengan wajah yang lebih pucat dan tatapan yang lebih kosong. Ia berjalan mendekat, tetapi kali ini Razaq berdiri tegak, menatap sosok itu dengan mata penuh ketegasan.