Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya di Tengah Gelap Gulita

23 Juli 2024   04:10 Diperbarui: 23 Juli 2024   05:06 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi (sumber gambar: tribratanews.polri.go.id)

Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, hiduplah seorang anak bernama Melati. Dia adalah gadis berusia sepuluh tahun dengan mata cokelat besar dan senyum yang seharusnya menerangi dunia. Namun, senyum itu semakin jarang terlihat. Hari-harinya dipenuhi dengan ketakutan dan kesedihan, yang tersimpan dalam bayang-bayang rumahnya yang kelam.

Ayah Melati, seorang pria dengan masalah alkohol yang serius, sering pulang dalam keadaan mabuk. Setiap kali pintu depan terbuka dengan keras di malam hari, jantung Melati berdetak kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi. Ibunya, seorang wanita yang sudah lelah dengan kehidupan, akan berusaha menenangkan ayahnya, namun sering kali berakhir dengan pukulan dan teriakan.

Malam itu tidak berbeda. Suara pecahan kaca terdengar ketika Melati berlari ke kamarnya. Dia menutup pintu dan meringkuk di sudut, memeluk boneka beruang lusuh yang menjadi satu-satunya teman setianya. Tangisannya tertahan di tenggorokan, tidak berani terdengar karena takut ayahnya akan menemukan dan melampiaskan amarah padanya.

"Pengecut kecil!" teriak ayahnya dari ruang tamu. "Keluar kau! Dasar tidak berguna!"

Melati menutup telinga, mencoba mengusir suara itu. Dia membayangkan dirinya terbang jauh, ke tempat di mana tidak ada rasa sakit dan ketakutan. Namun, kenyataan dengan cepat menariknya kembali. Pintu kamarnya terbuka dengan keras, dan bayangan besar ayahnya muncul di ambang pintu.

"Kau tidak bisa bersembunyi selamanya," gumamnya, dengan mata merah dan langkah tertatih. Dia meraih lengan Melati dengan kasar, menariknya keluar dari sudut. "Kau harus belajar untuk menghormati orang tuamu!"

Dengan satu pukulan keras, Melati terjatuh. Sakitnya begitu nyata, namun yang lebih menyakitkan adalah perasaan tidak berdaya. Ibunya berdiri di pintu, air mata mengalir di wajahnya, namun tidak berani melakukan apa-apa. Dia hanya bisa menyaksikan, seperti penonton yang tak berdaya di tengah drama kehidupan mereka yang kelam.

Waktu berlalu, dan Melati mulai mencari tempat lain untuk berlindung. Dia sering pergi ke perpustakaan sekolah, tempat di mana dia bisa menghabiskan waktu dengan buku-buku dan menghindari pulang ke rumah terlalu cepat. Di sana, dia bertemu dengan seorang pustakawan bernama Bu Rika, seorang wanita tua dengan senyum lembut dan hati penuh kasih.

"Melati, apa yang membuatmu begitu sering ke sini?" tanya Bu Rika suatu hari, ketika dia melihat Melati yang duduk di pojok perpustakaan dengan wajah pucat.

Melati hanya menggelengkan kepala. Namun, mata Bu Rika yang bijaksana bisa melihat lebih dalam. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dengan hati-hati, dia mendekati Melati dan mengajaknya berbicara.

Kata demi kata akhirnya mengalir dari bibir Melati. Dia menceritakan semua yang terjadi di rumahnya, rasa sakit yang dirasakannya, dan ketakutan yang menghantuinya setiap hari. Bu Rika mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak memotong atau menghakimi. Ketika Melati selesai, Bu Rika memeluknya erat.

"Kamu anak yang kuat, Melati," katanya lembut. "Tidak ada yang berhak memperlakukanmu seperti itu. Kita harus mencari bantuan."

Dengan dukungan Bu Rika, Melati memberanikan diri melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak berwenang. Prosesnya tidak mudah, namun perlahan-lahan, cahaya mulai memasuki hidupnya. Ayahnya akhirnya ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Ibunya, yang awalnya ragu, akhirnya memutuskan untuk berjuang demi anaknya.

Melati dan ibunya dipindahkan ke tempat penampungan sementara, jauh dari bayang-bayang kekerasan yang selama ini menghantui mereka. Di sana, mereka menerima bantuan dari para konselor dan mulai membangun kembali kehidupan mereka. Meskipun bekas luka fisik dan emosional tidak akan hilang begitu saja, Melati mulai menemukan harapan.

Di tempat penampungan itu, Melati bertemu dengan anak-anak lain yang memiliki cerita serupa. Mereka saling mendukung dan menguatkan. Dengan waktu, Melati mulai tersenyum lagi, senyum yang pernah hilang dalam kegelapan.

"Cahaya akan selalu menemukan jalannya," kata Bu Rika suatu hari, ketika dia mengunjungi Melati. "Selama ada harapan, tidak ada yang tidak mungkin."

Melati mengangguk, menyadari bahwa meskipun hidupnya pernah diliputi kegelapan, kini dia telah menemukan cahaya yang membimbingnya menuju masa depan yang lebih cerah. Dalam hatinya, dia berjanji untuk menjadi pelindung bagi mereka yang membutuhkan, seperti Bu Rika yang telah menjadi cahaya dalam hidupnya.

Waktu berlalu dan Melati tumbuh menjadi remaja yang kuat dan penuh semangat. Pengalaman pahit masa lalunya tidak menghalanginya untuk meraih impian dan membantu orang lain. Dengan dukungan dari ibunya, Melati kembali bersekolah dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di komunitasnya.

Salah satu program yang sangat ia minati adalah kegiatan sukarela di pusat perlindungan anak. Di sana, dia bertemu dengan anak-anak yang pernah merasakan kegelapan yang sama seperti yang pernah dialaminya. Melati menggunakan pengalamannya untuk memberikan dukungan dan harapan bagi mereka.

Suatu hari, Melati bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama Lutfi di pusat perlindungan. Lutfi baru berusia delapan tahun, dengan mata yang penuh ketakutan dan wajah yang selalu menunduk. Kisahnya sangat mirip dengan Melati, dan dia merasa ada ikatan khusus dengan anak itu.

"Hei, Lutfi," sapa Melati dengan senyum lembut. "Apa kabar hari ini?"

Lutfi hanya mengangkat bahunya tanpa menjawab. Melati duduk di sebelahnya dan mulai bercerita tentang bagaimana dia dulu berada di posisi yang sama.

"Aku tahu rasanya takut dan tidak berdaya," kata Melati. "Tapi percayalah, ada harapan dan ada orang-orang yang peduli padamu."

Perlahan-lahan, Lutfi mulai membuka diri. Dia menceritakan tentang ayahnya yang sering memukulnya dan ibunya yang tidak berani melawan. Melati mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberi Lutfi dorongan untuk tidak menyerah.

Setiap hari, Melati mengajak Lutfi untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas di pusat perlindungan. Mereka bermain, belajar, dan berbagi cerita. Lutfi mulai merasa lebih nyaman dan menemukan kembali keceriaan masa kecilnya. Melihat kemajuan Lutfi, Melati merasa semakin yakin bahwa dia berada di jalan yang benar.

Sementara itu, Melati tidak melupakan pendidikannya. Dia belajar dengan tekun dan bercita-cita menjadi seorang psikolog anak. Dia ingin membantu lebih banyak anak yang mengalami kekerasan, memberikan mereka harapan dan masa depan yang lebih baik. Ibunya, yang kini telah bangkit dari keterpurukan, selalu mendukung setiap langkahnya.

Tahun demi tahun berlalu, Melati berhasil lulus dari sekolah menengah dengan nilai yang memuaskan dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di bidang psikologi. Dengan semangat dan tekad yang kuat, dia menjalani hari-harinya di universitas dengan penuh dedikasi.

Selama masa kuliah, Melati tetap aktif dalam kegiatan sosial dan sering kembali ke pusat perlindungan anak. Dia bertemu dengan Bu Rika yang kini sudah pensiun, namun tetap aktif sebagai relawan.

"Bu Rika, saya ingin berterima kasih atas semua yang telah Ibu lakukan untuk saya," kata Melati suatu hari. "Ibu telah menjadi cahaya dalam hidup saya, dan saya ingin menjadi cahaya bagi orang lain."

Bu Rika tersenyum dan memeluk Melati. "Kamu telah menjadi wanita yang luar biasa, Melati. Lanjutkanlah perjuanganmu dan sebarkan cahaya itu kepada mereka yang membutuhkannya."

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Melati kembali ke desa kecilnya dan membuka klinik psikologi anak. Dia bekerja tanpa lelah untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada anak-anak dan keluarga yang mengalami kekerasan. Kliniknya menjadi tempat yang aman dan penuh harapan, di mana anak-anak bisa merasakan kasih sayang dan perlindungan.

Lutfi, yang kini sudah remaja, sering datang membantu di klinik Melati. Dia merasa berhutang budi kepada Melati dan ingin memberikan kembali apa yang telah dia terima. Bersama-sama, mereka menciptakan lingkungan yang mendukung dan positif bagi semua anak yang datang.

Melati tidak hanya menjadi psikolog yang berdedikasi, tetapi juga menjadi simbol harapan dan kekuatan bagi komunitasnya. Kisah hidupnya yang penuh tantangan menginspirasi banyak orang untuk tidak menyerah pada kegelapan dan selalu mencari cahaya.

Dengan setiap anak yang tertolong, Melati merasa bahwa misinya semakin dekat. Dia tahu bahwa meskipun masa lalunya penuh dengan luka, dia bisa mengubahnya menjadi kekuatan untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Cahaya di tengah gelap telah membimbingnya, dan sekarang dia adalah cahaya itu bagi orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun