Di ujung cahaya,
Di mana gelap berbisik dalam diam,
Aku melangkah perlahan,Â
Dengan luka-luka kecilÂ
Yang menolak sembuh.Â
Namun dari celah peri itu,Â
Terbitlah sinar-sinar lembut,Â
Seperti harapan yang enggan menyerahÂ
Gelap bukan musuh,Â
Hanya ruang bagi bayang-bayang
Untuk menari dalam sunyi.Â
Aku menggenggam rindu yang berat,
Rindu pada terang yang pernah ada,Â
Rindu pada dirikuÂ
Yang hampir terlupakan.
Langkahku terlatih,Â
Menelusuri jalan berbatuÂ
Yang menyimpan kenanganÂ
Dari hujan dan badai.Â
Setiap tetes air mataÂ
Adalah lentera kecil,Â
Menuntunku menuju tepi harapan.Â
Di kejauhan,Â
Rintik hujan bergumam,Â
Seperti tangis yang tak selesai.Â
Namun, diantara Awan kelabu aku melihatnya.Â
Seberkas cahaya yang menjanjikan kehangatan, mungkin juga kebahagiaan.
Cahaya itu tidak memanggil,Â
Tidak memaksa untuk segera datang.Â
Ia sabar menanti,
Seolah tahu aku butuh waktu untuk belajar percaya.Â
Aku terus berjalan,Â
Meski angin dingin berusaha mematahkan,Â
Meski bayang-bayang ingin aku menyerah.Â
Aku tahu,Â
Ujung cahaya itu,Â
Bukan hanya terang yang menanti,Â
Tapi sebuah jawabanÂ
Tentang siapa aku,Â
Tentang arti setiap luka yang kubawa,Â
Dan tentang kekuatanÂ
Yang selalu ada di dalam diri.Â
Jadi aku melangkah,Â
Bukan untuk melarikan diri dari gelap,Â
Tapi untuk memahamiÂ
Bahwa tanpa gelap,Â
Cahaya takkan pernah berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H