Mohon tunggu...
Awalia Rita Rahmadona
Awalia Rita Rahmadona Mohon Tunggu... Mahasiswa - Profesi saya sebagai mahasiswa

Hobi saya olahraga dan juga menyukai sedikit menggambar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Ketuhanan Perspektif Ibnu Arabi

26 Juni 2024   00:55 Diperbarui: 26 Juni 2024   09:15 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hasil dan Pembahasan

Pengertian Filasafat Ketuhanan

 Filsafat tentang Tuhan adalah pemikiran kritis, sistematis, dan metodis tentang Tuhan. Ia membahas bagaimana seseorang dapat mempertimbangkan kepercayaan mereka akan Tuhan secara rasional. Fokusnya adalah kesadaran manusia tentang Tuhan. Keberadaan Tuhan adalah salah satu kesadaran manusia tentang Tuhan yang paling banyak dibahas dalam filsafat ketuhanan. Contoh kesadaran itu adalah agama, kepercayaan, pengertian, dan pengetahuan ilmiah manusia. Mereka tidak pernah menyelidiki Tuhan secara eksplisit. Oleh karena itu, filsafat tentang Tuhan adalah refleksi dari fenomena kesadaran manusia tentang Tuhan.

Metode Pendekatan Ibnu Arabi

 Metode Ibnu Arabi tidak jauh berbeda dengan metode para mistikus lainnya, karena keduanya menekankan kasyf. Namun, Ibnu Arabi mampu menjelaskan pengalaman mistisnya dengan menggunakan dasar filsafatnya. Tidak mengherankan bahwa aliran teosofi Ibnu Arabi selalu berusaha untuk menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mistisnya, khususnya tentang Tuhan dalam pengertian yang membawa dia ke transendensi dan iman. Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan adalah dengan memindahkan "gambaran" Tuhan ke dalam visi batin (penyaksian). Pendekatan mistis yang digunakan Ibnu Arabi adalah cara untuk mencapai kedalaman samudera batin yang tak terbatas.

 Mehdi Ha'iri Yazdi menganggap irfan sebagai ilmu bahasa kesadaran mistis dalam konteks ini, meskipun Ibnu Arabi memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan pengalaman batinnya menjadi kebenaran mistis. Metode irfan yang ditawarkan Ibnu Arabi berbeda dari pendekatan pengetahuan intelektual konvensional. William Chittick menyatakan bahwa Ibnu Arabi membagi pendekatan pengetahuan menjadi tiga kategori. Pertama, pengetahuan intelektual---pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan demonstrasi. Kedua, pengetahuan tentang kesadaran akan keadaan batin. Pengetahuan jenis ini lebih menekankan kemampuan merasa. Ketiga, pengalaman dengan entitas gaib. Pengetahuan yang dihasilkan oleh model ini memiliki sifat intelektual yang transenden.

 Sehubungan dengan pandangan mistis Ibnu Arabi, Ha'iri Yazdi mengatakan bahwa akal memiliki kemampuan untuk memeriksa dan merumuskan kembali pengetahuan ini serta memasukkannya ke dalam dunia fenomena. Setelah akal mengambil langkah-langkah ini dan menyusun kembali dan menerjemahkan pengetahuan yang tidak dapat dijelaskan ke dalam kerangka bentuk pengetahuan fenomenal representasional, pengetahuan ini akan menjadi pengetahuan intelektual umum yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan dapat dipahami, dan oleh karena itu dapat dibicarakan dengan mudah dalam bahasa sehari-hari. Karena itu, Ibn Arabi mengatakan bahwa akal adalah kekuatan yang memiliki kemampuan untuk beralih dari pengetahuan gaib ke pengetahuan intelektual dunia fenomena seperti itu.

 Dalam situasi ini, penggunaan akal adalah upaya untuk menemukan celah mana saja yang mungkin untuk diterjemahkan dari pengalaman yang diperoleh di dunia gaib ke dalam pernyataan yang umumnya dikenal. Menciptakan keseimbangan kesadaran yang bersifat hubungan antara kemampuan kognitif dan kecerdasan intuisi adalah tujuan penerjemahan pengalaman gaib melalui akal. Hal ini memungkinkan pengetahuan gaib untuk muncul melalui representasi.

 Seorang salik harus memiliki mursyid atau guru pembimbing karena jalan yang akan ia tempuh menuju Allah Swt. akan sangat berliku, penuh tantangan, dan jebakan. Mencari pendidik yang kompeten yang dapat membawa seseorang bersimpuh di hadapan Rabbnya adalah tugas yang sulit.Sebelum seorang murid dapat sepenuhnya bergantung pada gurunya, dia harus siap sepenuhnya. Untuk memenuhi syarat penyerahan diri sepenuhnya, calon murid harus melakukan tindakan ekstrem sebelum bertemu dengan guru mereka. agar ia tidak mudah mempertanyakan perintah gurunya di masa depan dan pasrah sepenuhnya seperti mayat di tangan orang yang memandikannya. Allah swt berfirman:

                                                                      سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ

"Akan kami perlihatkan pada mereka ayat-ayat kami di segenap ufuk dandi dalam diri mereka".(QS. Fussilat: 53).

 Berdasarkan ayat tersebut, Syaikh Ibn Arabi menyatakan bahwa setiap ayat Al-Qur'an memiliki dua perspektif bagi seorang sufi muhaqqiq: satu perspektif yang berkaitan dengan apa yang ada di luar diri mereka, dan sisi lain yang berkaitan dengan diri mereka sendiri. Namun, pandangan mereka tentang diri mereka seringkali tidak dapat dipahami dan diterima oleh orang-orang yang tidak pernah mengikuti jalan mereka, terutama para ulama dan ahli fikih yang hanya berfokus pada aspek lahiriah agama. Nama "isyarat" berasal dari cara para arif memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang diajarkan Allah kepada qalbu mereka.

Makrifat tentang Khawatir dan Istiqra'

 Khawatir juga dikenal sebagai khatir, adalah segala jenis suara hati yang muncul dalam qalbu tanpa unsur niat. Khawatir bukanlah suara hati yang muncul tanpa disengaja; itu hanya pernyataan seseorang dalam dirinya. Empat jenis ketakutan berbeda: 1) ketakutan rabbani, yang berasal langsung dari Allah Swt. 2) ketakutan malaikat, yang berasal dari malaikat, 3) ketakutan nafsi, yang berasal dari diri sendiri, dan 4) ketakutan syaitan. Kemampuannya untuk membedakan rasa khawatir yang muncul dalam dirinya sendiri dan orang lain yang bertanggung jawab adalah salah satu ciri kesempurnaan spiritual. Secara umum, menggunakan timbangan syari'at adalah cara terbaik untuk menilai berbagai macam khawatir yang masuk ke dalam hati.

 Selanjutnya, syaikh membahas istiqra', apakah itu sah atau tidak dalam hal perkara-perkara ketuhanan. Kata istiqra' berasal dari kata is-taq-ra-'a, yang berarti mengumpulkan dan menggabungkan atau membaca, meneliti, menelaah, dan menyelidiki. Imbuhan huruf sin pada kata tersebut menunjukkan permintaan. stikra' juga disebut sebagai "induksi" dalam bahasa sehari-hari. Istiqa' adalah metode pemikiran yang bergantung pada kaidah khusus untuk menentukan hukum atau kaidah yang umum, atau bahkan dari yang kurang umum ke yang lebih umum. Menurut ahli mantiq atau logika, istiqra' adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakteristik satuan-satuannya. Namun, dalam ushul fikih, istiqra' adalah sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta fakta khusus yang digunakan oleh ahli fikih untuk menetapkan sebuah hukum.

Tinjauan Ontologis Menyifati Nama-Nama Tuhan

 Salah satu pendekatan tradisional yang digunakan Syaikh untuk menjelaskan tentang nama-nama Ilahi adalah dengan mempersonifikasinya. Dia sering menyifati nama-nama Ilahi dengan sifat-sifat seperti kegembiraan, kesenangan, pertemuan, dan diskusi, sehingga terlihat seolah-olah nama-nama itu memiliki autonomi ontologis. Namun, penting untuk diingat bahwa gambar-gambar imajinatif tersebut dibuat untuk memudahkan pendengar memahaminya.

 Setiap ajaran Syaikh Ibn Al-Arabi berpusat pada tauhid, yang berarti mengakui dan mengakui kemahaesaan Allah Swt. Beliau menggambarkan nama-nama Ilahi sebagai "tuhan-tuhan kecil atau dewa-dewa", misalnya, adalah sesuatu yang tidak masuk akal untuk menuduhnya sebagai pe nganut politeisme. Menurut pendapatnya, nama-nama Ilahi hanyalah hubungan, hubungan yang tidak memiliki eksistensi.

 Potensi konflik dan kekacauan muncul setelah alam semesta mewujud dan benda-benda mungkin memiliki eksistensi. Multiplikasi keterkaitan nama-nama Ilahi yang menjadi sandaran benda-benda mungkin adalah penyebab konflik, perselisihan, dan segala macam konflik yang terjadi di alam semesta. Untuk kemaslahatan alam semesta, nama Ar-Rabb diberikan untuk menjadi imam yang mengatur dan menjaga  keharmonisan. Nama Ar-Rabb memiliki dua wazir, Al-Mudabbir (Maha Mengatur) yang mengontrol alam tampak dan Al-Mufassil (Maha Memerinci) di alam gaib. Dari dua wazir ini, para pemimpin dan imam yang mengatur umat manusia di alam semesta kemudian muncul.

Konsep Ketuhanan Ibn Arabi

 Ibn Arabi menjelaskan mengapa seseorang menjadi bingung saat mencoba mengenal Allah Swt. Dia menyebutnya Rijal Al-Hayrah wa Al-'Ajz, yang berarti mereka yang bingung dan tidak dapat mengetahui Allah Swt lagi. Ini semua terjadi saat mereka berusaha untuk mengenali dzatnya. Di sini, istilah "al-'ajz", yang berarti ketidakmampuan, diambil dari maksim terkenal dari Sayyidina Abu Bakr, yang mengatakan, "Ketidakmampuan memahami sebuah pemahaman adalah sebuah pemahaman." Kebingungan adalah tanda bahwa seseorang mulai mengenal Allah Swt, siapa pun itu dan dari golongan apa pun dia. Para ahli nalar intelektual tidak pernah merasakan kebingungan sebesar itu. Karena banyaknya penyaksian dalam kasyf mereka dan pertentangan antara hukum tajalli yang satu dengan yang lain, golongan Ahlullah berada dalam keadaan kebingungan. Namun, dalil-dalil tentang Allah Swt yang saling kontradiktif, baik akli maupun naqli, menyebabkan kebingungan para cendekia ahli idealis atau nalar intelektual.

 Seperti tokoh sufi lainnya, Ibn Arabi tidak puas dengan konsep ketuhanan yang dikembangkan oleh para filosof dan teolog. Para filosof, misalnya, percaya bahwa selain wujud Tuhan, ada wujud lain, yaitu wujud wajib bil ghair, atau mungkin wujud. Menurut Ibn Arabi, pemikiran seperti ini masih belum mencapai tingkat kesempurnaan dalam mentauhidkan atau mengesakan Allah Swt. Segala sesuatu yang terlihat seperti ini sebenarnya tidak ada dalam pikiran Ibnu Arabi. Sebenarnya, jika disebut mempunyai wujud, itu hanyalah bayangan; seperti orang yang berdiri di depan cermin dan melihat bayangan dirinya ada di dalamnya.

Kesimpulan

 Metode Ibnu Arabi tidak jauh berbeda dengan metode para mistikus lainnya, karena keduanya menekankan kasyf. Namun, Ibnu Arabi dapat mengungkapkan pengalaman misteriusnya dengan menggunakan dasar filsafatnya. Tanpa bantuan nalar aktif, mendeskripsikan pengalaman mistis tidak mudah. Tidak mengherankan bahwa aliran teosofi Ibnu Arabi selalu berusaha untuk menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mistis, khususnya tentang Tuhan dalam pengertian yang menghasilkan transendensi dan imanensinya. Karena keduanya menekankan kasyf, metode Ibnu Arabi tidak jauh berbeda dengan metode para mistikus lainnya. Namun, Ibnu Arabi dapat mengungkapkan pengalaman misteriusnya dengan menggunakan dasar filsafatnya. Sangat sulit untuk menjelaskan pengalaman misterius tanpa bantuan nalar aktif. Tidak mengherankan bahwa aliran teosofi Ibnu Arabi selalu berusaha untuk menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mystical, khususnya tentang Tuhan dalam pengertian yang menghasilkan transendensi dan imanensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun