Menyambut hari lebaran idul Adha, puluhan orang berkumpul dirumah Samiang. Orang-orang itu tengah menunggu kedatangan Basri dari Malaysia yang merupakan anak bungsu kedua dari Samiang. Basri berangkat dari Malaysia saat masih berusia 19 tahun. Setelah lulus Madrasah Alia, basri  dipanggil oleh  teman dan juga omnya yang sudah merantau ke Malaysia sejak akhir 2010.
Malam  itu orang-orang berdiri  dekat kaki tangga rumah panggung dengan  menyelempang sarung. Terlihat pancaran lampu mobil dari arah barat, cahaya lampu itu adalah pancaran lampu mobil panter yang ditumpangi Basri. Muka samiang berseri-seri melihat mobil semaakin mendekat kearah rumahnya.
Basri mengurungkan niatnya untuk merantau sejak tahun 2011 dan baru pulang kekampung  halaman akhir 2019. Kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh keluarga basri, kebahagiaan serupa juga dirasakan oleh para tetangga yang turut menyambut. Semua berlomba saat Basri membuka carrier dengan mengeluarkan dua bungkus besar milo sebagai buah tangan dari kuala  lumpur.
Selain ingin bertemu keluarga  dan menyambut hari raya. Basri yang sudah berumur 28 tahun berencana  akan segera menikah sebelum Kembali ke perantauan. Sayang seribu sayang, selama 9 tahun merantau, Basri hanya membawa uang sebanyak 18 juta. Kebahagiaan Samiang karna telah bertemu anaknya Kembali akan diperpahit.
Basri punya lahan perkebunan yang dia kelolah sambil bersekolah dulu. Lahan tersebut rencana akan Basri jual, sebab Samiang yang merupakan orang tua Basri hanya mendapat hasil bumi yang sama sekali tidak bisa mencukupi untuk mengawinkan anaknya.Â
Berangkat dari hal itu,  Basri akhirnya menjual lahannya tersebut kepada Sahiruddin kakak saudaranya sendiri. Lahan seluas 13 are terjual 60 juta diluar dari pohon  kayu.Â
Pohon kayunya dia jual ke syamsuddin yang juga merupakan saudaranya, pohon kayu tersebut dijual dengan harga 25 juta yang terdiri dari pohon mahoni, suryan dan kayu colo'.
Dua bulan setelah menikah, Basri Kembali ke Malaysia untuk merantau bersama istrinya. Dia menemani istrinya yang sedang hamil  mudah. "lampasse'loromma'. Lampa tawwa boya-boya bara kulleja baung ballak" saya pergi dulu mama, pergi kerja supaya nanti saya bisa buat rumah.  Kata Basri kepada Samiang saat menunggu mobil yang akan mengantarnya ke Bandara Sultan Haanuddin. "upa'minjo tawwa kamminro jako na le'ba' mako pole nipa'bunting" sykurlah karna kamu telah pulang dan sudah menikah. Jawab samiang.
Perlahan mobil Avanza semakin menjauh meninggalkan Boronginru'. suasana dirumah samiang Kembali hening. Dengan perasaan terpukul, samiang mengikhlaskan anaknya untuk merantau Kembali  dengan harapan bisa pulang nantinya dan bisa mendapatkan apa yang anaknya cita-citakan.
Seminggu setelaah Basri sampai di Malaysia, Samiang meminjam salah satu HP tetanggga, "telponganga Basri" telfonkanka Basri. Kata samiang kepada Sohra yang yang baru-pulang menjar di sekolah TK.Â
Sambil sohra mencari nomer telepon Basri di whassup miliknya, Â Samiang jinjit dan menatap layer HP sohra berharap anaknya akan mengangkat telepon. Saat Basri telah mengangkat telepon, samiang langsung megambil HP sohra " naaak". Dengan suara gemetar tergambar kerinduan kepada anaknya.
Setahun telah berlalu,  Basri menelfon Masnia saudara perempuannya. Dalam perbincangan yang cukup lama, Basri mengabarkan berita gembira. Hamsina istrinya telah dilarikan ke rumah sakit karna kehamilannya telah mencapai 9  bulan. Sampai disana Basri tak henti-henti berkabar kepadaa saudara dan tetangganya. Samiang yang mendengar kabar tersebut begitu tidak sabar menanti  kelahiran cucunya.
Tepat jam 13.00 WITA, orang-orang masih berkumpul dirumah masnia. Samiang memilih nginap dirumah anaknya yang jarak dengan rumahnya kurang lebih 300 M. demi mendengar kabar baik  dari anaknya yang berada di kejauhan.Â
Cuaca semakin dingin, orang-orang sudah mulai mengantuk, Sebagian telah pulang dan menunggu berita kelahiran bayi basri besok pagi saja. Saat suasana mulai hening, sebuah handpone bergetar diats bufet. " ngurami" bagaimana? Tanya masnia kepada Basri lewat telephone.Â
Basri tak berkutik beberapa menit, suaranya mulai terdengan  dengan suara isak, mengabarkan bahwa bayinya tidak  bisa diselamatkan. Masnia yang syok, enggan memberi tahu Samiang atas berita tersebut.Â
Masnia kemudian meraih ibunya, mengatakan dengan halus "mate anakna Basri amma'" anak Basri meninggal dunia Ibu. mereka berdua saling menatap, tak tahan menahan tangis.
Tak lama setelah istrinya melahirkan, Basri memutuskan untuk pulang kampung. Dia dan istrinya ingin memulihkan perasaan dengan bertemu keluarga.Â
Tiga hari sebelum pulang, Basri berkabar kepada orang tuanya yakni samiang. Samiang mengatakan agar pulangnya nanti saja,bukannya tidak ingin bertemu anaknya, namun samiang menganggap perekonomian anaknya belum pulih.Â
Namun Basri  menjelaskan kepada Samiang bahwa dia sangat butuh bertemu dengan keluuarga, pada akhirnya Samiang  mengiakan keiginan anaaknya tersebut.
Sesampai dikampung, Â Basri kemudian memperingati empat puluh hari kematian anaknya. Mengutang ke kakak iparnya untuk membeli kambing. memperingati hari kematian anggota keluarga adalah sebuah kewajiban Sebagian masyarakat Bantaeng.
Waktu itu musim kopi, Basri kesulitan mendapatkann biaya untuk pulang keperantauan. Dia memanfaatkan kesempataan untuk menjadi pengepul kopi. Hamsina istrinya menerima jasa peco' kopi. selama 2 bulan, Basri akhirnya punya biaya untuk kembali ke Malaysia. Â
Namun keberangkatannya kali ini seorang diri, dengan keterbatasan biaya. Selain itu, Hamsinah istrinya hamil mudah kembali, keluarganya menyarakan agar Hamsinah tidak  lagi melahirkan di Malaysia.
Sampai di Malaysia, Basri mendapat kabar baik sebab anaknya lahir dengann selamat. Namun Basri dikabarkan berpindah-pindah tempat bekerja. Saat berangkat ke perantauan, Basri menghubungi pengurus yang bertempat tinggal di Talle tak jauh dari kampung halamannya.Â
Dia berangkat lewat jalur tikus yang biasa disebut pekerja gelap. Hal demikian, membuat basri terlantar dari toke ke toke dari ladang yang satu kelahan yang lainnya. Tidak ada  kejelasan mengenai tempat kerjanya. Â
Mendengar kabar suaminya, Hamsinah kemudian menyusul suaminya. Hamsinah berangkat menggunakan paspor lawatan, sebelum berangkat dia mengurus keberangkataan di pare-pare. Hamsinah membawa anaknya ke Malaysia. Hamsinah membayar 7 juta agar perjalanannya mulus meski membawa anaknya.
Sesampai istrinya di Sarawak, basri beradaa di Saba, Hamsinah tidak sempat bekerja di PT. Hormat pasifik, hamsinah tidak sempat menyetor paspor ke pihak perusahaan, dia langsung membawanya ketempat dimana dia akan tingggal bersama basri. Mereka berdua kerja disebuah ladang tanpa berstatus pekerja migran. Mereka berdua mengurus domisili dan berstatus warga negara Malaysia.
Basri dan hamsinah tinggal di Saba dekat ladang, disana terdapaat orang Bantaeng termasuk sarong sepupu tiga kali dari hamsinah. Mereka berdua mendapatkan upah yang setara dengan pekerjaan.Â
Mandor mereka berdua sama-sama beraasal dari Bantaeng, Hamsinah dimandori oleh Amir  dan Basri dimandori oleh Ridwan asal Kulepang Bantaeng.
Kehadiran Hamsinah sedikit membawa keuntungan, Basri yang biasanya pulang larut malam  minum bersama teman-teman kerjanya, sekarang sudah berubah dengan kehadiran istri.Â
Mereka ikut arisan TKI, tahap kedua Hamsinah kena giliran mendapatkan uang sebanyak 40 juta yang dibayar 1 juta perbulannya. Selain  itu arisan bersama pekerja perempuan juga mendapat giliiran, Hamsinah mendapatkan perabot rumah tangga dan barang-barang pecahan lainnya.
Suatu pagi, hamsinah bangun lebih awal untuk mencuci pakaian, Basri  belum bangun dan hamsinah berangkat kerja lebih awal. sebelum berangkat, Hamsinah berpesan agar Basri menjemputnya ditempat kerja setelah salat jum'at. Namun Hamsinah menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari  biasanya, Amir melepon Basri dan menyuruh Basri segeraa menjemput istrinya.
Tengah persimpangan dipenghuujung ladang, Basri membonceng istrinya menggunakan motor honda bebek, sebuah lori pengangkut sawit melaju kencang dari arah selatan, Basri yang sudah terlanjur menerobos akhirnya lepas kendali dan lori tersebut menabrak motor Basri yang mengakibatkan Hamsinah terlempar sekitar 10 meter dari posisi motor.Â
Dari gambar yang tersebar, terlihat  seorang bapak menggenggam payung dan satu tangannyya menahan darah yang keluuar dari kepala Hamsinah yang sudah bocor, "dilarikan ke hospital" caption  status yang terupdate di akun salaah satu rekan kerja Hamsinah.
Keluarga dikampung mendengar berita tersebut sejam sesudah kejaadian. Saat itu pula Hamsinah tidak  tertolong sementara Basri sedang koma di ruang UGD.Â
Sarong yang yang berkabar ke Samiang tak kuasa menaahan tangis, keluarga beserta tetangga samiang Kembali berkumpul menanti kabar selanjutnya. Asmin anak Basri dan Hamsinah dirawat oleh istri Cappa yang juga keluarga Basri sekaligus teman kerjanya di Saba.
Saat itu pula sahiruddin mengunjungi rumah kepala  desa di Kampung, mempertanyakaan soal jalan yang akan ditempuh jika akan memulangkan jenazah Hamsinah. Namun kepala Desa balumbung tidak mengetahui jalan yang akan ditempuh dan hanya menunggu kabaar dari disnaker trans.
Hingga akhirnya pemulangan jenazah terssebut hanya di urus oleh keluarga Hamsinah sendiri, mengirim surat keterangan kematian, surat kuasa yang akaan dilimpahkan ke Cappa, dan poto paspor Hamsinah yang masih berstatus pekerja di Miri timur.Â
Beberapa lembar kertas dikirim lewat WA  yyang telah terscan. Seminggu pengurusan, Cappa akhirnyya berkabar bahwa Jenazah  sudah diberangkatkan 2 jam yang lalu. 2 orang dari pihak keluarga, kepala dusun turun menjemput jenazah Hamsinah bersama dengan kepala bidang Disnaker trans yang akan bertanda tangan.
Mobil jenazah tibaa dirumah duka jam 11 malaam. Jabbar yang ikut dimobil jenazah tersebut menyerukan kepada mobil ambulance agar mematikan suara saat tengah mendekat kerumah duka. Hal demikian untuk menghindari keluarga yang akan syok mendengar suara tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H