Mohon tunggu...
Avril Vega Valentia
Avril Vega Valentia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Saya Vega, memiliki hobi menari dan menyukai warna pink.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang-Bayang Penyesalan

22 November 2024   09:00 Diperbarui: 22 November 2024   09:02 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari terbenam di balik bukit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menari di atas permukaan danau yang tenang.

 

Sore itu, seorang gadis yang sedang duduk di sebrang danau mulai memandangi tenangnya air, rambutnya yang dibiarkan tergerai tersipu oleh lembutnya angin, tak terasa air mata mulai membasahi pelupuk matanya.

"Dari mana aja kamu? Jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu? Sana cuci baju kakak mu!" Cercah sang Bunda.

Sudah ia duga hal ini akan terjadi. Dengan nafas memberat, Ia pun menjawab

"Aku habis kerja kelompok, Bun. Iya nanti aku cuci kok Bun, aku mau istirahat dulu bentar." 

"Gak ada nanti-nanti! itu salahmu sendiri, Bunda gak butuh alasan apapun!" Tegas Bunda.

Sang Bunda pun pergi, tanpa perasaan bersalah meninggalkan anak Bungsu-nya yang kini mulai kembali mengeluarkan air mata.

"Tuhan, ini kapan selesainya?"

Gadis yang memiliki wajah setenang air danau, dengan mata yang berkilau seperti bintang di langit malam. Senyumnya lembut, seolah menyimpan rahasia kedamaian yang dalam. Setiap kali dia tertawa, suara lembutnya seolah menghapus segala kesedihan di sekelilingnya. Kinan, namanya.

Kinan terlahir dari keluarga sederhana. Ia adalah anak bungsu dari dua saudara. Kakaknya bernama, Dinar. Ia sangat menyayangi keluarganya, terutama Sang Kakak. Baginya, Kakaknya adalah sebuah berlian yang harus ia jaga. Namun, setelah kejadian tersebut, jarak mulai memisahkan keduanya.

Kinan duduk di bangku sekolah kelas Dua belas. Dengan wataknya yang selalu ceria, banyak orang ingin menjadi temannya. Ia memiliki salah satu teman yang sangat akrab dengannya, Mutia atau yang kerap dipanggil, Tia. Menurutnya, Tia bukan hanya sekedar teman, Tia sudah ia anggap sebagai saudara. Kebahagian dan kesedihan yang ia alami, selalu ia bagi dengan Tia.

"Aku harap kamu ngga pernah bosen ya, Ti, buat selalu denger keluh kesahku. Aku cuma punya kamu," Kata Kinan.

"Tentu, Kinan. Cerita apapun ke aku ya? aku disini juga buat kamu, Nan." Jawab Tia, sambil tersenyum.

Kinan juga anak berprestasi di sekolahnya. Ia sering mendapatkan piagam penghargaan karena kehebatannya di bidang akademik. Kinan juga kerap dipilih sebagai perwakilan lomba Olimpiade sekolahnya. 

Apapun ia lakukan agar kedua orangtuanya bangga. Yang selalu ia harap adalah, mereka akan menyayanginya seperti mereka menyayangi sang Kakak, Dinar. Namun, pada kenyataannya, ia tak pernah di apresiasi. Meskipun prestasinya sering kali menonjol dan berdampak positif pada pendidikannya, pujian atau pengakuan dari kedua orangtuanya seolah menghilang dalam keramaian.

Hingga pada suatu hari, sepulang dari sekolah, Kinan langsung pulang ke rumah dan kembali melanjutkan kegiatan sehari-hari nya, Belajar. Kinan mendengar ada suara ketukan pintu dari luar kamar, ia pun bergegas membukanya. 

"Eh, Kakak ngapain ke sini? nanti kalau Bunda tau dimarahin loh," Tanya Kinan, keheranan akan kedatangan Kakaknya.

"Nggak peduli. Kan nanti yang dimarahin juga kamu, bukan aku." Jawab Dinar.

Mendengar hal itu, menurut Kinan, sudah sangat biasa. Ia pun hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum. Terkadang ia merasa rindu akan kedekatannya dengan Sang Kakak. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.

Disisi lain, Dinar yang sedang memandangi sekeliling kamar melihat banyak piagam penghargaan yang terpajang rapi. Setiap sudut ruangan mencerminkan kesuksesan Kinan dalam berbagai bidang. Dinar merasa iri dan tidak berharga. 

"Kenapa aku tidak bisa seperti dia?" pikirnya.

Merasa jika Dinar hanya diam saja memandangi kamarnya dengan raut wajah tak bisa di artikan, Kinan pun cemas, ia mulai membuka percakapan antara mereka.

"Kak Dinar, kenapa kamu kelihatan murung?" tanya Kinan dengan khawatir.

"Aku... aku cuma merasa lelah," jawab Dinar, mencoba menyembunyikan perasaannya.

"Jangan bohong, Kak! Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Apa aku ada salah denganmu?" Kinan terus mendesak.

Dinar akhirnya meledak. "Kamu nggak melakukan kesalahan, Kinan! Kamu cuma terlalu sempurna! Lihatlah kamarmu! Piagam-piagam itu, semua prestasi itu... Aku merasa seperti bayanganmu!"

Kinan terkejut. "Kak, aku nggak pernah bermaksud ngebuat kamu merasa seperti itu. Aku cuma berusaha melakukan yang terbaik."

"Tapi lihatlah, semua mata tertuju padamu, Kinan! Kamu punya banyak hal untuk dibanggakan, sedangkan aku? nggak ada sama sekali, Nan!" Bentak Dinar.

"Apa, Kak? hal apa yang bisa aku banggakan? harusnya aku yang bilang begitu, Kak. Kamu punya orangtua yang selalu bangga sama kamu, bahkan tanpa melakukan hal yang susah sekalipun. Sedangkan aku? disini aku harus berjuang mati-matian biar mereka juga bangga punya aku, tapi nyatanya mereka cuma membanggakan mu, Kak! Aku juga butuh validasi, aku juga mau diapresiasi!" Jelas Kinan dengan wajah yang sudah bercucuran air mata.

Diluar kamar, sang Bunda yang mendengar adanya keributan di dalam kamar, akhirnya memutuskan untuk masuk. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua anaknya yang sedang berdebat.

"Kinan! Dinar! Kenapa kalian berdua berteriak seperti ini? Suara kalian terdengar keras dari luar," Tanya Bunda panik.

Keduanya menoleh ke sumber suara. Mereka hanya diam dan beradu tatap mata. Bunda sadar ada sesuatu yang salah, ia pun mulai menghampiri mereka.

Saat sudah tiba di hadapan keduanya, Bunda mulai berkata,

"Kinan, kenapa kamu harus membentak kakakmu? Aku tidak pernah mengajarkan berbicara dengan cara seperti itu."

"Bun, aku cuma menyampaikan apa yang aku rasakan. Selama ini semuanya aku simpan sendiri, kapan aku dimengerti, Bun?" Kata Kinan dengan nada yang sangat lemah.

"Kamu kurang dimengerti gimana, Kinan? Kakak mu lebih butuh pengertian! Lihat kondisinya, dia begini karena mu! kamu nggak ingat apa yang kamu perbuat?" Cercah Bunda.

"Bun.. Aku juga bisa capek, asal Bunda tau, aku nggak pernah bermaksud buat melakukan hal itu. Semua itu terjadi begitu cepat, Bun. Sekarang, apa yang harus Kinan lakukan biar Bunda bisa nerima maaf ku, Bun?" Tanya Kinan putus asa.

"Bunda udah nggak butuh maaf. Semuanya udah terlambat, Kinan. Sekarang terserah mau mu gimana, Bunda nggak peduli! jangan pernah ganggu anak Bunda lagi!" Bentak Bunda dengan nada marah, kemudian ia mulai menarik tangan Dinar, pergi meninggalkan kamar sang Bungsu.

"Anak Bunda? terus aku apa, Bun? cuma dia ya yang anak Bunda? aku apa? aku apa, Bun.." Kinan mulai menangis kembali, mengeluarkan air mata yang sudah ia tahan sejak tadi.

Ia mulai mengingat sebuah kejadian yang mengubah hidupnya. Saat itu, ia masih remaja, duduk di bangku sekolah dasar, dan hari itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Ia dan kakaknya merencanakan untuk bermain di taman dekat rumah, menikmati sore yang cerah. 

Ketika mereka tiba di taman, mereka mulai bermain bola. Tiba-tiba, bola meluncur ke jalan raya yang ramai. Tanpa berpikir panjang, Kinan berlari mengejar bola itu. Namun, ia tidak menyadari bahwa sebuah mobil melaju dengan cepat ke arahnya.

 "Kinan, hati-hati!" Dinar berteriak.

Melihat adiknya dalam bahaya, Dinar segera berlari ke arah jalan untuk menariknya kembali. Dalam sekejap, terdengar suara keras---mobil itu menabrak Dinar saat ia berusaha menyelamatkan Kinan.

Semenjak saat itu, kehidupannya berubah total. Kinan yang dulunya sangat akrab dengan kakaknya, kini hampir tidak pernah berbicara satu sama lain. Dan yang paling membuatnya sakit adalah, kedua orangtuanya yang dulu selalu bangga kepadanya, kini melihatnya bagaikan sampah. Sangat sakit rasanya, melihat orang-orang terkasih yang dulu sangat menyayanginya, sekarang tidak peduli padanya. 

Keesokan harinya, Kinan mulai bersekolah seperti biasa. Ketika sudah sampai di kelas, ia pun di sambut oleh sang sahabat, Tia.

"Pagi, Kinan. Kenapa kamu terlihat kurang bersemangat, kamu lagi nggak enak badan?" Tanya Tia cemas.

"Nggak kok, Tia. Aku baik baik aja, tadi lupa buat sarapan," Jawab Kinan sambil tersenyum 

"Aku tahu kamu bohong. Jujur sama aku, apa yang terjadi, Kinan?" Tia mendesak.

"Aku cuma capek, Ti. Rasanya seperti udah nggak ada yang bisa aku lakukan lagi. Mungkin memang aku yang kurang berusaha. Tapi nyatanya, sekeras apapun usaha ku, mereka tetap nggak mau melihat aku. Lalu aku harus gimana, Ti?" Kata Kinan dengan mata berkaca-kaca.

"Bukan kamu yang kurang berusaha, Nan. Mereka yang nggak mau melihat usahamu, udah cukup kamu yang selalu mengalah. Pikirkan dirimu juga, perjalanan kamu masih panjang, kamu harus tetap kuat, Nan. Tetap semangat ya, aku disini selalu ada buat kamu," Cercah Tia menenangkan Kinan.

"Terimakasih banyak ya. Aku nggak tau, kalau nggak ada kamu, mungkin aku nggak akan sekuat ini. Terimakasih atas semua perlakuan baikmu, semoga kita bisa awet sampai nanti tua ya, Ti!" Kinan pun memeluk Tia, dan menumpahkan semua air matanya.

Setiap orang pasti memiliki masalah, tetapi semua tergantung bagaimana kita menghadapinya. Itulah yang menentukan siapa kita sebenarnya. 

Ia menyadari bahwa tidak semua hubungan dapat diperbaiki, dan terkadang, kesalahan tidak disengaja juga dapat membawa konsekuensi yang sulit untuk dihadapi. Dalam keheningan malam, Kinan berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, meskipun harus menjalani hidup dengan rasa kehilangan terhadap hubungan yang pernah begitu dekat. 

Terkadang ada luka yang tetap ada meskipun waktu telah berlalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun