Kinan duduk di bangku sekolah kelas Dua belas. Dengan wataknya yang selalu ceria, banyak orang ingin menjadi temannya. Ia memiliki salah satu teman yang sangat akrab dengannya, Mutia atau yang kerap dipanggil, Tia. Menurutnya, Tia bukan hanya sekedar teman, Tia sudah ia anggap sebagai saudara. Kebahagian dan kesedihan yang ia alami, selalu ia bagi dengan Tia.
"Aku harap kamu ngga pernah bosen ya, Ti, buat selalu denger keluh kesahku. Aku cuma punya kamu," Kata Kinan.
"Tentu, Kinan. Cerita apapun ke aku ya? aku disini juga buat kamu, Nan." Jawab Tia, sambil tersenyum.
Kinan juga anak berprestasi di sekolahnya. Ia sering mendapatkan piagam penghargaan karena kehebatannya di bidang akademik. Kinan juga kerap dipilih sebagai perwakilan lomba Olimpiade sekolahnya.Â
Apapun ia lakukan agar kedua orangtuanya bangga. Yang selalu ia harap adalah, mereka akan menyayanginya seperti mereka menyayangi sang Kakak, Dinar. Namun, pada kenyataannya, ia tak pernah di apresiasi. Meskipun prestasinya sering kali menonjol dan berdampak positif pada pendidikannya, pujian atau pengakuan dari kedua orangtuanya seolah menghilang dalam keramaian.
Hingga pada suatu hari, sepulang dari sekolah, Kinan langsung pulang ke rumah dan kembali melanjutkan kegiatan sehari-hari nya, Belajar. Kinan mendengar ada suara ketukan pintu dari luar kamar, ia pun bergegas membukanya.Â
"Eh, Kakak ngapain ke sini? nanti kalau Bunda tau dimarahin loh," Tanya Kinan, keheranan akan kedatangan Kakaknya.
"Nggak peduli. Kan nanti yang dimarahin juga kamu, bukan aku." Jawab Dinar.
Mendengar hal itu, menurut Kinan, sudah sangat biasa. Ia pun hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum. Terkadang ia merasa rindu akan kedekatannya dengan Sang Kakak. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.
Disisi lain, Dinar yang sedang memandangi sekeliling kamar melihat banyak piagam penghargaan yang terpajang rapi. Setiap sudut ruangan mencerminkan kesuksesan Kinan dalam berbagai bidang. Dinar merasa iri dan tidak berharga.Â
"Kenapa aku tidak bisa seperti dia?" pikirnya.