Saat sudah tiba di hadapan keduanya, Bunda mulai berkata,
"Kinan, kenapa kamu harus membentak kakakmu? Aku tidak pernah mengajarkan berbicara dengan cara seperti itu."
"Bun, aku cuma menyampaikan apa yang aku rasakan. Selama ini semuanya aku simpan sendiri, kapan aku dimengerti, Bun?" Kata Kinan dengan nada yang sangat lemah.
"Kamu kurang dimengerti gimana, Kinan? Kakak mu lebih butuh pengertian! Lihat kondisinya, dia begini karena mu! kamu nggak ingat apa yang kamu perbuat?" Cercah Bunda.
"Bun.. Aku juga bisa capek, asal Bunda tau, aku nggak pernah bermaksud buat melakukan hal itu. Semua itu terjadi begitu cepat, Bun. Sekarang, apa yang harus Kinan lakukan biar Bunda bisa nerima maaf ku, Bun?" Tanya Kinan putus asa.
"Bunda udah nggak butuh maaf. Semuanya udah terlambat, Kinan. Sekarang terserah mau mu gimana, Bunda nggak peduli! jangan pernah ganggu anak Bunda lagi!" Bentak Bunda dengan nada marah, kemudian ia mulai menarik tangan Dinar, pergi meninggalkan kamar sang Bungsu.
"Anak Bunda? terus aku apa, Bun? cuma dia ya yang anak Bunda? aku apa? aku apa, Bun.." Kinan mulai menangis kembali, mengeluarkan air mata yang sudah ia tahan sejak tadi.
Ia mulai mengingat sebuah kejadian yang mengubah hidupnya. Saat itu, ia masih remaja, duduk di bangku sekolah dasar, dan hari itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Ia dan kakaknya merencanakan untuk bermain di taman dekat rumah, menikmati sore yang cerah.Â
Ketika mereka tiba di taman, mereka mulai bermain bola. Tiba-tiba, bola meluncur ke jalan raya yang ramai. Tanpa berpikir panjang, Kinan berlari mengejar bola itu. Namun, ia tidak menyadari bahwa sebuah mobil melaju dengan cepat ke arahnya.
 "Kinan, hati-hati!" Dinar berteriak.
Melihat adiknya dalam bahaya, Dinar segera berlari ke arah jalan untuk menariknya kembali. Dalam sekejap, terdengar suara keras---mobil itu menabrak Dinar saat ia berusaha menyelamatkan Kinan.