Merasa jika Dinar hanya diam saja memandangi kamarnya dengan raut wajah tak bisa di artikan, Kinan pun cemas, ia mulai membuka percakapan antara mereka.
"Kak Dinar, kenapa kamu kelihatan murung?" tanya Kinan dengan khawatir.
"Aku... aku cuma merasa lelah," jawab Dinar, mencoba menyembunyikan perasaannya.
"Jangan bohong, Kak! Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Apa aku ada salah denganmu?" Kinan terus mendesak.
Dinar akhirnya meledak. "Kamu nggak melakukan kesalahan, Kinan! Kamu cuma terlalu sempurna! Lihatlah kamarmu! Piagam-piagam itu, semua prestasi itu... Aku merasa seperti bayanganmu!"
Kinan terkejut. "Kak, aku nggak pernah bermaksud ngebuat kamu merasa seperti itu. Aku cuma berusaha melakukan yang terbaik."
"Tapi lihatlah, semua mata tertuju padamu, Kinan! Kamu punya banyak hal untuk dibanggakan, sedangkan aku? nggak ada sama sekali, Nan!" Bentak Dinar.
"Apa, Kak? hal apa yang bisa aku banggakan? harusnya aku yang bilang begitu, Kak. Kamu punya orangtua yang selalu bangga sama kamu, bahkan tanpa melakukan hal yang susah sekalipun. Sedangkan aku? disini aku harus berjuang mati-matian biar mereka juga bangga punya aku, tapi nyatanya mereka cuma membanggakan mu, Kak! Aku juga butuh validasi, aku juga mau diapresiasi!" Jelas Kinan dengan wajah yang sudah bercucuran air mata.
Diluar kamar, sang Bunda yang mendengar adanya keributan di dalam kamar, akhirnya memutuskan untuk masuk. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua anaknya yang sedang berdebat.
"Kinan! Dinar! Kenapa kalian berdua berteriak seperti ini? Suara kalian terdengar keras dari luar," Tanya Bunda panik.
Keduanya menoleh ke sumber suara. Mereka hanya diam dan beradu tatap mata. Bunda sadar ada sesuatu yang salah, ia pun mulai menghampiri mereka.