Mohon tunggu...
Aviva Lyla
Aviva Lyla Mohon Tunggu... -

(dulu) senang baca, menulis, makan, melamun, dan tidur. punya blog di: kalamata.me & doktr.in

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Katartik - Siklon

27 Januari 2012   14:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:23 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bagaimana dengan anak-anakku? Mereka belum siap kutinggal pergi.”

“Jangan khawatir dengan anak-anakmu. Mereka akan baik-baik saja. Banyak yang akan mempedulikan mereka. Teman-temanmu, saudaramu-saudaramu, keluargamu, dan semua yang orang peduli denganmu, akan memberi banyak perhatian kepada mereka. Kematianmu akan membuat anak-anakmu menyadari bahwa ayahnya adalah pahlawan pemberani dengan perjuangan dan cita-cita agung yang tak pernah padam. Kematianmu akan membuat kesadaran dalam diri mereka untuk meneruskan atau bahkan berbuat lebih dari yang telah kau lakukan. Saat mereka dewasa nanti, mereka akan menjadi orang yang lebih hebat darimu, menjadi pahlawan-pahlawan besar. Dalam setiap peradaban, pahlawan besar hanya dilahirkan dari tragedi yang mengerikan.”

Tubuh laki-laki pertama sudah semakin lemah kehabisan darah. Semakin kesulitan menahan tubuhnya. Laki-laki kedua kembali melanjutkan ucapannya.

“Terimalah bahwa akulah yang membantu hidupmu, menyelamatkanmu dan keluargamu. Jika kau hidup, mungkin anak-anakmu tidak akan menjadi apa-apa. Perjuanganmu hanya akan terhenti pada dirimu saja. Anak-anakmu tidak akan mempedulikanmu, mereka hanya akan mengenang ayahnya sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab yang telah melupakan tugasnya sebagai ayah. Terimalah saja takdir yang sebentar lagi akan kau terima. Relakanlah semuanya. Lepaskanlah.”

Kedua kaki laki-laki pertama itu tidak mampu lagi menahan tubuhnya. Tubuhnya tersungkur kedepan. Tangannya mencoba tegar menahannya. Lengannya diluruskan, telapak tangannya melebar, menapak di dekat kedua lututnya. Kepalanya tertunduk. Ada suatu keanehan yang ia rasakan terjadi pada dirinya. Semakin ia merasakan tubuhnya melemah, semakin ia merasakan ringan pada dirinya. Seperti ada yang berangsur-angsur menghilang. Segala sesuatu yang sejak dulu membebaninya, mengikatnya, menahannya, menekannya, mulai terasa memudar. Ia merasakan suatu kekosongan yang sangat nyaman. Perasaan nyaman luar biasa hingga ia tak dapat merasakan apa-apa lagi.

Setelah hening beberapa saat, laki-laki kedua berkata lagi “Maaf, sudah waktunya.”

“Baiklah aku siap.”, jawab laki-laki pertama, kali ini dengan lirih dan tenang.

Laki-laki kedua lalu melangkah mendekati laki-laki pertama, sambil memutar melepas peredam yang ada di ujung pistolnya, menggantinya dengan sebuah peredam yang lain. Peredam itu adalah peredam khusus yang dibuat tidak hanya untuk meredam suara tapi juga mempercepat laju tembakan, sehingga kekuatan dan jangkauan tembaknya menjadi semakin berlipat. Setelah sampai di depan laki-laki pertama, ia menempelkan ujung peredam pistolnya di ubun-ubun laki-laki pertama, lalu berkata pelan, “Dulu Tuhan meniupkan roh manusiamu melalui ubun-ubun ini, sekarang aku akan mengeluarkannya dari tempat yang sama.” Laki-laki pertama menutup matanya dan menahan nafas. Laki-laki kedua mengambil nafas sebentar, lalu berkata lagi, “Sampai bertemu kembali.”

Trekkk. Terdengar suara peluru menembus tulang-tulang, sekejap setelah laki-laki kedua menekan pelatuk pistolnya. Peluru pistolnya melubangi tengkorak kepala laki-laki pertama. Laki-laki pertama itu sekarang sudah benar-benar tidak bergerak lagi. Darah yang keluar dari lututnya sudah mulai meresap ke beton semen lantai atap itu. Sebagian menelusup di kedua telapak tangannya. Punggungnya mengeluarkan darah segar yang membuat noda merah di bajunya. Setitik cairan merah kental di kepalanya merembes keluar membuat rambutnya sedikit basah.

Gedung ini adalah gedung tertinggi di kota ini. Sebuah pencakar langit berlantai tujuh puluh dua. Setiap lantai digunakan untuk satu atau beberapa kantor perusahaan-perusahaan terkemuka di negeri ini. Beberapa bahkan ada yang menggunakan lebih dari satu lantai. Malam ini sebagian besar lantai telah menutup tirainya atau mematikan lampunya. Lantai dimana laki-laki pertama itu berkantor masih menyala. Ia masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya saat seorang laki-laki mengetuk pintu kantornya dan membuatnya terpaksa mengikutinya ke atap gedung ini.

Laki-laki pertama itu adalah seorang pengusaha sukses. Terdorong oleh kesulitan masa lalu yang dialami keluarganya, terutama dalam memperoleh makanan murah, ia memulai usaha menjual bahan makanan pokok. Makanan, menurutnya, adalah hal yang paling dasar dalam hidup ini. Dalam keadaan lapar, orang tidak akan dapat melakukan apa-apa. Dalam perut yang merintih, orang tidak akan dapat berpikir jernih, beribadah khusyuk, bekerja keras, belajar tekun, atau mengejar tujuan dan cita-cita hidupnya. Kelaparan – masih menurutnya – akan membuat manusia cenderung kembali mengeluarkan naluri kehewanannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun