Mohon tunggu...
Navira Restu Ananda Tyana
Navira Restu Ananda Tyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Semester 1 Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Sultan Agung Semarang (Dr. Ira Alia Maerani, M. H. (Dosen FTI Pancasila, Universitas Sultan Agung Semarang))

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Massa sebagai Bingkai Sudut Pandang Masyarakat

20 Juni 2022   20:16 Diperbarui: 20 Juni 2022   20:36 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Percayakah bila selama ini kita terlalu bertingkah normal terhadap sesuatu yang sebenarnya bisa menyakiti sebuah golongan? Menormalisasikan sebuah perilaku hingga kita tidak menyadari atau berpikiran aneh mana kala ada yang merasa tersinggung.

Bayangkan mana kala suatu sore sehabis melakukan aktivitas harian seperti biasa, beristirahat sambil menonton televisi, atau barang sekedar membuka ponsel. Lalu sebuah pemberitahuan muncul dari salah satu radar berita, kita tentu memiliki kecenderungan untuk tidak membaca sampai habis. 

Hanya baca judul sekilas, lalu pindah ke channel lain, atau gulir menuju halaman yang lebih menarik. Sebuah judul yang penulis ini misalkan seperti "Atlit difabel yang mungkin bisa memompa semangat hidupmu", "Kisah perjuangan seorang atlit difabel dalam mengubah sudut pandang orang", atau mungkin bisa juga "Penyandang difabilitas yang tidak menyerah terhadap takdir".

Terkesan biasa saja?

Memang. Penulis pada mulanya juga berpikiran seperti itu, tanpa memiliki pandangan bila sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang dinormalisasikan.

Penulis baru teringat manakala menemukan video dimana kala seorang Chanee Kalaweit mengatakan bila dia pernah menolak beberapa tawaran televisi dikarenakan mereka hanya menyorot pada sosoknya sebagai orang asing, sebatas pada siapa dirinya, bukannya menjurus pada apa yang sebenarnya dia lakukan untuk Indonesia.

"Karena saya dari awal sudah menebak bila yang akan dibahas adalah saya sebagai orang barat, bukan inti dari apa yang saya ingin sampaikan."

Chanee Kalaweit mungkin telah lebih dahulu menyadari, dan dalam video tersebut juga mungkin secara tersirat ingin menyampaikan kepada masyarakat luar terkait keanehan beberapa media masa di Indonesia.

Daripada prestasi atau tindakan sebagai suatu objek yang layak untuk diapresiasikan, media lebih tertarik untuk menyorot pada si subjek. Si pihak 'siapa' yang mana kalau perlu sampai ke rahasia-rahasia dan kehidupan pribadi yang bersangkutan.

Pola media yang cenderung menarik baik pembaca maupun penonton melalui ekplorasi sebuah cerita sedih yang berujung bahagia adalah sesuatu yang dianggap lumrah, wajar, normal. Ada yang beranggapan bila hal-hal tersebut bisa menjadi sumber penyemangat atau alasan bersyukur bagi mereka-mereka yang terlihat dengan kondisi lebih baik, dalam artian dianggap 'normal' oleh masyarakat.

Tapi, haruskah kita menjadikan kekurangan suatu kelompok sebagai alasan bagi kita untuk bersyukur?

Mengapa rasa syukur kita harus diukur, dibandingkan, dengan orang lain? Tidak bisakah kita sebatas bersyukur dengan segala yang kita miliki?

"Terima kasih wahai Tuhan, atas segala hal baik dan buruk yang Engkau berikan dalam satu hari ini."

Cukup. Tidak perlu dilanjut. Tidak perlu ditambahkan dengan kalimat "Belum tentu orang lain juga seperti ini", "Belum tentu orang lain mendapatkan kenyamanan seperti ini, bisa saja lebih buruk", dan yang paling sering "Lebih banyak orang yang merasa kekurangan".

Bisakah kita mulai berubah sesuatu dari hal yang kecil? Seperti mengucap syukur sambil menekan ego untuk tidak terlalu membanggakan diri apalagi sampai-sampai membandingkan nasib dengan orang lain yang lebih tidak beruntung.

Iya, penulis tau tentang istilah lama perihal "Jangan lihat ke atas, sesekali lihat juga ke bawah".

Sesekali.

Lalu menjadi sebuah kebiasaan.

Membuat kita merasa bila tidak ada salahnya untuk menjadikan kekurangan orang lain sebagai alasan bagi kita untuk mengucap syukur.

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S An-Nisa ayat 32)

Apakah arti dari membandingkan diri itu sebatas pada diri kita yang melihat ke atas?

Bagaimana bila kita melihat ke bawah, membandingkan dengan orang yang menurut kita tidak seberuntung kita. Melupakan fakta bila dalam pandangan Tuhan, semua mahluk itu sama. Tidak ada satu pun yang spesial di bawah pengawasan Tuhan.

Semua sama. Sama-sama memiliki kekurangan guna mengimbangi kelebihan yang dimiliki. Makhluk paling sempurna? Sempurna mana kala kita adalah perspektif terbaik, titik tengah di antara sebuah neraca baik buruk.

Hal yang disepakati pula oleh negara Indonesia, sebagai mana sebuah negara hukum, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 UUD 1945 (1) "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Sekiranya bisa membiasakan dengan hal-hal sederhana seperti itu, penulis agaknya yakin bila mana itu mampu merubah sudut pandang kita tentang cara melihat dunia ini. Yang semula sudut pandang perseorangan, menjadi sudut pandang sebuah kelompok, lalu sudut pandang dalam lingkup komunitas yang lebih besar lagi. Lagi dan lagi. Hingga mampu merubah pola penyajian media.

Dari yang semula berpusat pada para saudara kita yang disabilitas, secara perlahan mulai bergeser pada apa saja yang mereka rasakan selama kompetisi berlangsung. Tidak akan ada lagi media yang mengungkit perihal 'ketidaksempurnaan'.

"Orang kaya yang menunjukkan sedikit rasa sedih akan memunculkan sebuah berita dimana uang tidak dapat membeli segalanya, namun orang miskin yang menunjukkan rasa bahagia justru menghasilkan berita bila uang tidak dapat membeli kebahagiaan."

Penulis harap, berita seperti itu tidak lagi muncul di Indonesia.

Bukan seperti itu cara untuk membuat orang lain bersyukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun