Mengapa rasa syukur kita harus diukur, dibandingkan, dengan orang lain? Tidak bisakah kita sebatas bersyukur dengan segala yang kita miliki?
"Terima kasih wahai Tuhan, atas segala hal baik dan buruk yang Engkau berikan dalam satu hari ini."
Cukup. Tidak perlu dilanjut. Tidak perlu ditambahkan dengan kalimat "Belum tentu orang lain juga seperti ini", "Belum tentu orang lain mendapatkan kenyamanan seperti ini, bisa saja lebih buruk", dan yang paling sering "Lebih banyak orang yang merasa kekurangan".
Bisakah kita mulai berubah sesuatu dari hal yang kecil? Seperti mengucap syukur sambil menekan ego untuk tidak terlalu membanggakan diri apalagi sampai-sampai membandingkan nasib dengan orang lain yang lebih tidak beruntung.
Iya, penulis tau tentang istilah lama perihal "Jangan lihat ke atas, sesekali lihat juga ke bawah".
Sesekali.
Lalu menjadi sebuah kebiasaan.
Membuat kita merasa bila tidak ada salahnya untuk menjadikan kekurangan orang lain sebagai alasan bagi kita untuk mengucap syukur.
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S An-Nisa ayat 32)
Apakah arti dari membandingkan diri itu sebatas pada diri kita yang melihat ke atas?
Bagaimana bila kita melihat ke bawah, membandingkan dengan orang yang menurut kita tidak seberuntung kita. Melupakan fakta bila dalam pandangan Tuhan, semua mahluk itu sama. Tidak ada satu pun yang spesial di bawah pengawasan Tuhan.