Mohon tunggu...
Avan Dimas
Avan Dimas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memisahkan Diri dari Pendapat yang Berkembang

1 Oktober 2018   06:06 Diperbarui: 1 Oktober 2018   22:02 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

  1. Latar Belakang Kemunculan Mu'tazila

Secara harfiah kata Mu'tazila berasal dari i'tazala yang berarti "berpisah" atau "memisahkan diri", yang berarti jhuga "menjauh" atau "menjauhkan diri". Secara teknis, istilah Mu'tazila dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama adalah munculnya sebagai respon polotik murni. Golongan kedua adalah munculnya sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan Murji'ah karena peristiwa tahkim. Ciri yang yang membedakan aliran ini dengan aliran lain adalah pandangan-pandangan teologisnya yang banyak di perkuat oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan filsafat, sehingga sering disebut aliran rasionalis islam.

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertantangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji'ah mengenai orang mukmin yang melakukan dosa besar. Beberapa versi analisis tentang pemberian nama mu'tazila kepada golonga kedua ini berpusat pada peristiwa  yang terjadi antara Washil bin'Atha (...-131 H) serta temannya 'Amr bin 'Ubaid dam Hasan Al-Basri(30-110 H) di Basrah. Pada waktu Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datang seseorang yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar.menentang beliau dengan mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnta orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, "Washil menjauhkan diri dari kita (i'tazila 'anna)".

Versi lain yang dikemukakan oleh Baghdadi (w. 409 H) menyatakan  bahwa Washil dan temannya, 'Amr bin 'Ubaid Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da'amah (w. 118 H) pada suatu hari masuk Masjid Basrah dan bergabung dan majelis 'Amr bin 'Ubaid yang dikira adalah majlis Hasan Al-Basri. Setelah Qatadah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majlis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata "ini kaum Mu'tazila."

Al-Mas'udi (w. 956 H) memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu'tazila dengan tidak menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al-Basri. Dalam arti, membari status orang yang berbuat dosa besar jauh dari golongan mukmin dan kafir.

Carlo Alfanso (C.A) Nallino, seorang oreintalis Italia mengemukakan nama Mu'tazila sebenarnya bukan berarti "memisahkan dari ummat islam lainnya" nama Mu'tazila diberikan kepada mereka karena berdiri netral di antara Khawarij dan Murji'ah.

Pendapat lain mennyatakan bahwa kata Mu'tazila memang berarti memisahkan diri, yang berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya karena memang pendapat Mu'tazila berbeda dengan pendapat yang ada sebelumnya.

Selain nama Mu'tazila, pengikut aliran ini juga sering disebut  kelompok Ahlut-Tauhid(golongan pembela tauhid), Ahlul-'Ad(pendukung paham keadilan tuhan), Qadariyah(paham bahwa melakukan suatu dengan iradat dan quadratnya sendiri, tanpa intervensi takdir).

Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati ummat islam, khususmya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu'tazila yang bersifat rasional-filosofis itu.

  • Tokoh-Tokoh Aliran Mu'tazila

Wasil bin Atha

Abu Huzail al-Allaf

Al-Juba'i

An-Nazzam

Al-Jahiz

Mu'ammar bin Abbad

Bisyra al-Mu'tamir

Abu Musa al-Mudrar

Hisyam bin Amr al-Fuwati

  • Dasar Teologi Mu'tazila

At-Tauhid

At-Tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama sari ajaran Mu'tazila. Mu'tazila menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat paham ini dikenal dengan istilah Mu'atthilah atau Nafyus-Shifah. Bila Allah memiliki sifat maka ada sesuatu yang Qadim selain Dzat Allah.

Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih),Mu'tazila menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan.

Doktrin tauhid Mu'tazila lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan. Mereka berangkat dari pernyataan Al-Qur'an (Q.S. Asy-Syura [42]:11)

Al-Adl

Ajaran dasar Mu'tazila yang kedua adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil sesuatu atribut yang paling jellas untuk menunjukkan kesempurnaan.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

a. Perbuatan Manusia

b. Berbuat baik dan terbaik

c. Mengutus Rasul

III.Al-Wa'd wa Al-Wa'id

Ajaran Mu'tazila ketiga ini sangat erat hubunganya dengan ajaran kedua. Al-wa'd wa al-wa'id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksama, demikian kata Mu'tazila, tidak akan melanggar janjinya.

Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janjinya. Pahaman ini erat kaitannya dengan pandangan bahwa manusia berkuasa penuh terhadap perilaku baik dan buruk yang muncul dari dirinya, plus dia jugalah yang menciptakan perbuatan itu.

IV.Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain

Inilah ajaran yan mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu'tazilah. Ajaran ini terkenal dengan dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.

Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetaoi fasiq.

Menurut pandangan Mu'tazila, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak karena imam menurut adanya kepatuhan pada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran

V.Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa Nahy'an Al-Munkar

Ajaran dasat yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkarana (al-amr bi al-ma'ruf wa an-nahyu al-munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan ke baikan.

Ada bebrapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma'ruf dan nahi munkar, seperti yang di jelaskan oleh salah seorang tokohnya,Abd Al-Jabbar (w. 1024), yaitu :

a. ia mengetahui perbuatan yang disuruh

b. ia mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang

c. ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma'ruf dan nahi munkar tidak akan membawa madharat yang lebih besar

d. ia mengetahui atau paling tidak menduga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun