Mohon tunggu...
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther Mohon Tunggu... Penulis - Editor-in-chief Edisi Mori

R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Ia seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sesekali melakukan perjalanan dan menuliskannya; sesekali juga menulis sebuah tulisan persembahan.

Selanjutnya

Tutup

Trip

K 141 KU: Dari Setombak Jarak

16 Mei 2024   20:30 Diperbarui: 16 Mei 2024   20:33 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Di Asrama Haji, semesta rindu melesat ke takhta Tuhan.

          Pagi itu, di Sabtu (15/10/2022) yang dingin, kami berangkat dari Malang ke Surabaya. Kami---saya dan calon istri---menaiki bis ekonomi dengan AC tarif biasa, Tentrem. Pagi itu, setengah kursi bis penuh: Tampak di ujung belakang, agaknya laki-laki dengan topi hitam, tas besar, dan jaket ala kadarnya hendak pergi merantau; lelaki paruh baya mondar-mandir dengan termos pendingin menawarkan kerupuk rambak, telur puyuh, teh dan air mineral; di ujung depan sebelah kanan, tepat di belakang sopir, seorang perempuan uzur menatap jendela bis dengan penuh kekosongan, mungkin sedang memikirkan hidup; di sebelah kiri kursi kami, perempuan muda sedang memangku tas besar dan melamun di pinggir jendela, barangkali memikirkan titah takdir atau sekedar mengingat kenang satu atau dua hal; dan kami berdua, menatap pagi penuh kabut gunung Arjuna di kejauhan, sesekali menatap aspal basah sisa hujan deras semalam suntuk, lalu, saya bergumam kecil di kepala, "Sebenarnya, apa arti hidup?"

           Satu jam perjalanan, matahari mulai muncul dengan hangat. Bukankah, gumamku kecil, "Ini adalah matahari yang sama yang menerpa tubuh Nabi-Nabi?" Mendung pergi diganti terik, hawa mulai panas. Pertanda, kami akan segera sampai. Benar, sejam setengah kemudian, kita tiba. Kota itu tampak sibuk dan tergesa-gesa, dan kami turun di perempatan Medaeng---persis di depan Asrama Brimob---menunggu ojek online menuju tempat kesaksian itu, Asrama Haji. 

Kami berdua berteduh di bawah pohon kersen yang daunnya lebat menjuntai---juga dengan bau sampah di belakang pohon. Hari itu kami punya hajat untuk hadir dalam temu nasional GusDurian se Indonesia---meskipun, saya sendiri sangat tak pantas di'cap' seorang GusDurian, apalagi penerus Gus Dur, terlalu berat. Mobil bercat putih itu sampai, kami naik, dan bapak supir, lelaki berumur 55 tahun itu, membawa kami. Setengah jam perjalanan, kami sudah di depan gedung Bir Ali.

          Di depan gedung Bir Ali, berdiri kokoh miniatur Kakbah---sesekali tampak ada orang berlatih memutarinya, barangkali, dengan dada yang penuh kecamuk rindu. Kami masuk ke gedung itu, dingin, seperti siap menyambut siapa saja yang datang. Gedung itu lengang, hanya ada tumpukan nasi kotak di sudut sebelah kiri dari pintu masuk, dan tampak beberapa orang---ternyata, teman kami, Mas Najib. Kami berdua makan, lahap. 

Kami belum sarapan memang. Selepas lambung yang sering telat makan itu terisi, saya registrasi. Lalu, duduk dan melamun, "Mungkinkah Dia datang? Tidak kukira, tapi entah, tak banyak harap. Di dunia ini, semuanya serba mungkin." Beranjak dari depan ruangan panitia yang serba sigap itu, saya dan Monika berbincang, dan mengamati lalu lalang orang-orang---sesekali tampak orang-orang "besar" juga melintas.

          Di kota itu, waktu bukan tentang detik, menit, atau jam; melainkan, tentang menunggu dan penantian, tentang lama atau cepat. Di kota itu, waktu seakan tak mematuhi garis edar. Di Sabtu siang setengah terik itu, delapan jam terasa seperti dua kali tegukan secangkir kopi. Tiba-tiba, siang yang panas telah diganti dengan sore yang hangat---anehnya, tak ada hujan hari itu.

Saya baru mendapat kamar sore hari. Saya mendapat kamar No. 217 di lantai dua gedung F2, persis di samping aula utama, gedung Muzdalifah. Lalu, di kamar berukuran sekitar 4x6 meter, dengan delapan dipan kamar tidur yang tersusun tingkat itu, saya merebahkan punggung ringkih. 

Barangkali sekitar sepuluh kali melihat story WA dan membalas chat beberapa teman, punggung yang lelah sudah selesai dibayar. Saya beranjak mandi untuk melepas gerah; lalu melamun di belakang balkon kamar sembari menghisap sebatang rokok dan meneguk secangkir kopi hasil hutang---menjemput maghrib.

"Empat tahun yang panjang," pikirku sambil memandang orang lalu lalang di bawah; beberapa tampak menenteng nasi kotak, beberapa duduk santai di depan kamar, beberapa lainnya menunduk menatap gawai. "Benar, empat tahun yang panjang, pertemuan itu tak kunjung datang. 

Sampaikah rindu dari seseorang yang penuh aib dan cela? Entah, kita tak pernah tahu." Dua surat dan beberapa perbincangan singkat denganNya tergambar di kepala, lalu saya bergumam lagi, "tanpaNya hidup ini hanya seharga satu kerupuk kaleng. Barangkali, tanpaNya, hidup ini hambar, barangkali juga bau amis. MenatapNya dari beberapa depa barangkali sudah cukup, sangat cukup." Saya menghela napas agak panjang, "Mungkinkah, Ia akan datang?"

          Maghrib tiba, lamunan itu pergi, saya dipaksa ditarik dari alam khayal ke ke alam nyata---sebuah alam di mana berkuasa rasa sakit. Saya ke bawah, tepatnya ke Bir Ali, mengambil makan. Saya, calon istri, Alan beserta anak dan istrinya, makan ayam kare, perkedel (ini perkedel terenak yang pernah saya makan), sedikit mie bihun, dan kerupuk udang---makan yang begitu nikmat. Lalu, kami berempat berbincang hal-hal remeh-temeh, sesekali tertawa melupakan nasib sial-celaka dan dompet kosong melompong yang mirip peci hitam.

Setelah Isya', dengan kirab yang dipimpin Barongsai dan tabuh genderang, sekitar tiga ribu orang bersiap memasuki gedung Muzdalifah. Saya, calon istri, dan Alan---lelaki Sumenep bertubuh raksasa dengan rambut yang dikuncir ke belakang---memasuki gedung megah itu dan duduk persis di tengah (sekitar empat kursi di belakang sofa empuk para petinggi-petinggi). Di kejauhan, di depan pintu kaca, tampak pasukan loreng-loreng pengaman dan penjaga para Kiai bersiaga penuh---sesekali membukakan pintu bagi yang hilir-mudik keluar-masuk gedung. Saya berdiam diri, tapi dengan hati yang gelisah dan was-was: Setiap kali pintu kaca masuk itu terbuka, saya tidak bisa tidak menatap pintu itu. Di hatiku, yang penuh syak wasangka dan kotor hasrat, terbesit satu kalimat: Agaknya, Dia akan datang.

Barongsai tetap menari-meliuk di depan panggung; dan tabuh genderang terdengar jauh lebih keras di gedung itu, lalu, menggema. Suara tabuh genderang begitu keras, tapi, pada saat yang sama, begitu sunyi. Pintu kaca yang dijaga Banser itu menjadi titik tumpu segala hal; selain pintu kaca yang terbuka-tertutup di ujung kiri gedung Muzdalifah, segala hal di ruang itu seakan-akan lenyap. Suara hati "Dia akan datang" membuat waktu terasa begitu lamban. Persis seperti puisi anggun Mbah Mus, Stasiun (2000): "Sudah kubersih-bersihan diriku / Sudah kupatut-patutkan penampilanku / Tetap saja dada digalau rindu / Sabarlah rindu, tak lama lagi bertemu." Mbah Mus benar, rindu adalah tentang sabar---juga tentang waktu yang terasa merangkak lama sekali. Di atas kursi gedung Muzdalifah yang terasa sepanas merah timah itu, rindu terasa membakar tulang dada.

Pintu terbuka, Seseorang sedang memasuki gedung, riuh dan berdegup. Saat itu waktu terasa terhenti, mematung.

Lelaki penuh keugaharian itu berjalan masuk melewati pintu kaca dengan setumpuk keanggunan. Semua mata bertumpu pada satu titik, orang-orang berdiri dan menoleh. Lelaki beramput perak, penuh senyum, penuh kerendahan hati, penuh dengan timbunan kehangatan, penuh dengan bobot ilmu, dan penuh dengan hal-hal baik adalah K.H. Ahmad Mustofa Bisri, Mbah Mus---dan akhirnya Cahaya bulan telah datang. Tiba-tiba, ketika menatapNya dengan penuh kerinduan, tak terasa pipi basah air mata hangat. Di mataNya terpancar kebaikan dan kesejukan, bagai pohon teduh Sahabi di tengah gurun gersang.

Dia, Lelaki ugahari itu, masuk dengan dikeremuni orang-orang (lebah mana yang tak ingin hinggap di kembang terbaik?). Semua berebut, semua berdesak. Setelah berdiri beberapa saat menengok indah Kembang Terbaik sedang berjalan, saya duduk menutup mata---menangis. Saya menangis karena teringat satu hal: Tanpa nasihat dan titah-titahNya, hidup ini hanyalah tentang seonggok bangkai dan bau mesiu.

Beberapa saat setelah tertunduk dan menyeka wajah, saya mendongak. Akhirnya di depan sudah tampak tak banyak orang lalu lalang. Lalu, saya bangkit dan menghampiriNya dengan keberanian; seberani seorang prajurit perang di sungai Dnipro. Waktu itu Ia duduk dengan sangat bersahaja. Saya nekad, saya hanya ingin mencium tanganNya. Saya ke depan tanpa halangan dan menatap-menyapaNya dengan pelan, "Mbah Mus...", Kembang Terbaik tampak kaget. Saya mencium tangaNnya yang harum sekali, lembut sekali, pada saat yang sama, indah sekali. Di tanganNya, seakan-akan tersambung rantai kebaikan arkais: Sebuah tangan yang telah mengembara ke berbagai tempat; sebuah tangan yang menengadah di dingin malam untuk memanjat doa-doa terbaik untuk umat (untuk kita yang penuh aib dan cela); sebuah tangan yang dirindukan oleh orang-orang yang punya getar kerinduan; sebuah tangan yang mampu menumbuhkan pohon-pohon mati di tengah hutan kering. Ketika duduk kembali, tulang dada terasa berhenti mengelupas---terasa lega.

Namun, tiba-tiba saya merasa sendu kembali ketika terlintas satu hal: Tangan itu kelak akan kaku tak bergerak, Mbah Mus akan mangkat di suatu waktu yang entah. Saya menutup mata kembali di ribuan khalayak itu, tentu, menangis lagi. Saya begitu cengeng di hadapan fakta bahwa perpisahan dan kutuk maut pasti akan tiba. 

Saya menangis bukan karena Ia mangkat bertemu KekasihNya, melainkan, tanpaNya, dunia ini tak akan lagi seperti hari-hari yang sudah-sudah; dunia ini akan lebih mirip bunga layu yang pucat. Saya tak cemas Ia mangkat karena, semoga, Ia akan di sebuah tempat yang "...tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna. Di dalamnya ada mata air yang mengalir. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak di dekatnya, dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar" (QS. 88: 11-16). 

Namun, satu harap yang harus kita panjatkan, semoga, Ia selalu sehat dan terus memberi petuah dan titah-titah penting. Semoga Dia tak cepat mangkat, kita semua belum---mungkin tak akan pernah---siap menulis obituari. Malam itu---juga esok pagi---di atas kursi merah gedung Muzdalifah, saya tak tahu harus sedih atau bahagia.

          Pertemuan itu singkat, malam itu (15/10) dan esok pagi (16/10) waktu seakan-akan berputar tergesa-gesa. Di dunia ini, setiap pertemuan selalu ada ujung dan batas. Sang Kerinduan harus kembali ke kediamanNya yang begitu sederhana dan teduh, di Rembang. Setelah Ia menaiki mobil hitam---yang juga terciprat keanggunan---akhirnya saya ditinggal sendiri lagi, merindu lagi, persis seperti di puisiNya, Stasiun (2000): "Tapi sekejap terlena / Stasiun persinggahan pun berlalu / Meninggalkanku sendiri lagi / Termangu."

Termangu, mobil itu bergerak. Saya hanya mampu berdiri di setombak jarak, dan---dengan mata yang nanar---memandangNya di balik etalase kaca mobil K 141 KU, itu. Lalu, rindu akan terasa sangat panjang, sekali lagi.

          Dan, Kiaiku, dari setombak jarak itu, rinduku melesat cepat ke takhta Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun