MIMPI
Oleh : Aurell Viola H.W, @ur_ell.07
Setiap orang pasti memiliki mimpi, baik yang dapat digapai maupun yang tampak sulit untuk digapai. Adhisti Arum Putri Jaya adalah seorang gadis berbakat. Dia memiliki keahlian dalam bidang seni, khususnya musik, dan telah menjadi pianis sejak usia tujuh tahun. Namun, segalanya berubah ketika ayahnya mengetahui bahwa Adhisti telah kehilangan pendengarannya.
Juli 2018 seharusnya menjadi momen liburan yang bahagia bagi Adhisti dan kedua orang tuanya. Namun, sayangnya, mereka mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa ibunda Adhisti, sementara Adhisti dan ayahnya mengalami luka yang cukup parah. Ketika Adhisti sadar, ayahnya mencoba berbicara dengannya, namun Adhisti tidak bisa mendengar suara ayahnya.
"Dhis, bisa dengar ayah? Ada yang sakit?" tanya ayahnya.
Ayahnya yang bingung mencoba memanggil dokter untuk memeriksa kondisi putrinya. Dokter tersebut mengatakan bahwa Adhisti tidak akan bisa mendengar lagi karena benturan di kepala saat kecelakaan.
Menerima keadaan ini tidak mudah bagi Adhisti, terlebih ibundanya baru saja meninggal. Adhisti sempat mengurung diri di kamar dan tidak mau pergi ke sekolah. Ayahnya mencoba membujuk Adhisti agar mau kembali ke sekolah.
"Adhisti, anak ayah, besok masuk sekolah ya? Sudah lebih dari seminggu lho, bagaimana kalau teman-teman merindukanmu?" tulis ayahnya di catatan ponselnya.
"Gamau, ayah. Nanti teman-teman mengejek Adhisti. Lagipula, tanpa bunda, Adhisti tidak semangat ke sekolah," ucap Adhisti.
Ayahnya mencoba membujuk Adhisti dengan lebih keras dan akhirnya Adhisti bersedia untuk kembali ke sekolah.
Tidak sedikit teman-teman Adhisti yang menatapnya aneh, bukan karena mereka membencinya, tetapi mungkin karena ini adalah pertama kalinya mereka bertemu dengan seorang gadis istimewa seperti Adhisti. Selain belajar di sekolah, Adhisti juga harus belajar di rumah bersama guru lesnya. Dia juga mengajarkan bahasa isyarat kepada Adhisti dan ayahnya, Pak Jaya
Sudah dua tahun Pak Jaya mencoba segala cara agar Adhisti dapat mendengar kembali. Tidak hanya menguras waktu dan tenaga, tetapi juga menghabiskan tabungan Pak Jaya. Adhisti melihat ayahnya tertidur di sofa dan mencoba menepuk bahunya. Ayahnya terbangun,
"Ayah, kenapa tidur di sini?" tanya Adhisti dalam bahasa isyarat.
"Ayah ketiduran, tadi pekerjaan ayah banyak sekali," balas Pak Jaya.
Adhisti khawatir dengan kondisi ayahnya.Â
"Ayah, sudah cukup, Adhisti baik-baik saja. Adhisti khawatir sama ayah, ayah selalu berjuang buat Adhisti, tapi ayah tidak memperhatikan kondisi ayah sendiri. Nanti bunda pasti sedih melihat ayah di sana, Adhisti sayang ayah."
Pak Jaya langsung memeluk putrinya dan air matanya pun tak terbendung lagi.
Tanpa terasa, Adhisti telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik. Adhisti sekarang duduk di bangku SMA, dia memilih untuk bersekolah di sekolah swasta agar bisa satu sekolah dengan sahabat-sahabatnya, meskipun mereka tidak satu kelas.
"Ngapain pura-pura pakai AirPods? Emang denger?" ejek seorang teman sekelas Adhisti, dia dan temannya tertawa lalu mengambil salah satu AirPods milik Adhisti.
"Kalian bodoh ya? Mengganggu orang tuli, nanti kena karma rasain," ucap Danendra, teman sekelas Adhisti.
Adhisti mengucapkan terima kasih dengan bahasa isyarat dan tersenyum. Tampaknya Danendra merasa canggung setelah melihat senyuman manis Adhisti. Dia langsung memalingkan wajah, lalu kabur ke tempat duduknya.
Waktu istirahat tiba, Adhisti dijemput oleh sahabat-sahabatnya, Aruna dan Hasna, untuk makan bersama di kantin. Karena Aruna dan Hasna tidak bisa bahasa isyarat, mereka berkomunikasi dengan Adhisti melalui ponsel.
Hasna membuka obrolan di grup.
"Halo, by the way Hasna punya info lomba nih, lombanya diadain sama acara festival musik gitu." balas Hasna.
"Jadi kangen main piano kayak dulu deh," balas Adhisti. Tanpa berpikir panjang, Aruna langsung menepuk pundak Hasna.
"Woy, ngomong dipikir dulu dong, Has. Lihat tuh, Adhisti mukanya langsung sedih gitu." ucap Aruna sambil kesal.
Adhisti yang merasa dicuekin langsung menggebrak meja kantin, Aruna dan Hasna pun langsung menoleh.
"Maaf Dhis, tadi cuma ngobrol biasa kok," ucap Aruna di grup obrolan.
"Eh Dhis, kamu masih bisa main piano kah?" tanya Hasna.
"Kayaknya masih inget caranya, cuma salah atau benarnya gatau Has, aku gak bisa dengerin hehe," balas Adhisti.
"Hasna stop! Lama-lama kamu bikin Adhisti tersinggung," balas Aruna.
"Eh gak papa kok, aku gak ngerasa gitu, sumpah gak papa," balas Adhisti.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, bel sekolah berdering dan para siswa berbondong-bondong keluar dari kelas untuk pulang.
Sesampainya dirumah, Adhisti langsung mandi dan membereskan rumah. Adhisti berdiri termenung melihat ke arah pojok ruang keluarganya, sebuah piano. Adhisti mendekat dan membersihkan piano berdebu itu.
"Sudah lama ya, kamu gak aku mainin, maaf ya. Maaf juga ya bunda, piano dari bunda gabisa Adhisti pakai lagi" ucap Adhisti dalam hatinya.
Setelah membersihkannya, Adhisti mencoba duduk dan meraba-raba piano tersebut, rindu yang begitu besar terhadap musik membuatnya meneteskan air matanya. Adhisti mencoba menekan tuts pianonya, tangisnya pecah karena harus menerima bahwa dia memang benar-benar tidak dapat mendengar.
Tanpa disadari pak Jaya memperhatikan Adhisti dari arah pintu, sedih hatinya melihat putrinya menangis. Dia menghampiri Adhisti dan menepuk pundaknya.
"Dhis coba rasakan getaran nadanya" sambil mengarahkan tangan Adhisti kembali ke tuts piano.
Senyum Adhisti kembali muncul, pak Jaya mengusap air mata Adhisti dan memeluknya. Lalu Adhisti menceritakan lomba yang Hasna beritahu, pak Jaya memberi dukungan agar Adhisti mencoba melatih kembali kemampuannya.
"Ayah yakin kamu bisa Dhis, bunda juga pasti dukung kamu dari sana" ucap pak Jaya dalam bahasa isyarat.Â
Adhisti tersenyum dan langsung memeluk ayahnya lagi.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan dan lebih banyak latihan. Adhisti bermain piano setiap hari, belajar merasakan musik melalui getaran. Sahabat-sahabatnya, Aruna dan Hasna, juga sangat mendukung. Mereka sering datang ke rumah Adhisti untuk menemani dan membantunya.Â
Perjuangan Adhisti tidak mudah. Ada hari-hari ketika dia merasa frustrasi dan ingin menyerah. Tapi, dia selalu ingat kata-kata ayahnya  dan itu selalu memberinya kekuatan untuk melanjutkan.
"Aku sudah siap"
Setelah beberapa bulan berlatih, Adhisti mendaftar untuk sebuah kompetisi piano lokal. Saat dia berjalan ke panggung, dia bisa merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Dia duduk di depan piano, dan mulai memainkan lagu pertamanya. Meskipun dia tidak bisa mendengar musiknya sendiri, dia bisa merasakannya dan itu terpancar melalui permainannya.
Ketika Adhisti selesai bermain, penonton memberinya tepuk tangan meriah. Dia tersenyum, merasa lega dan bahagia. Dia melihat ayahnya di antara penonton, menangis dan bertepuk tangan. Dia juga melihat Aruna dan Hasna, yang tampak bangga dan gembira.
"Anakku ayah bangga sekali, bunda kamu pasti menangis bahagia melihatmu" ucap pak Jaya dalam bahasa isyarat.
"Ayah, terimakasih, tanpa ayah Adhisti gak mungkin bisa diposisi ini, terimakasih udah bikin Adhisti semangat lagi buat bermusik, Adhisti sayang ayah" Balas Adhisti.Â
Mereka pun berpelukan dengan tangis haru.
Dari kejauhan ada mata yang sedang menatap, Adhisti pun langsung menoleh. Ada wajah familiar sedang menatapnya, Danendra. Adhisti langsung melambaikan tangannya.
"Gimana, tadi bagus gak?" Tulis Adhisti diponsel.
"Indah, aku sampe nangis, kamu juga cantik banget" Balas Danendra dengan bahasa isyarat.
Adhisti terkejut, ternyata Danendra dapat menggunakan bahasa isyarat. Adhisti terdiam  sejenak, lalu menepuk pundak Danendra.
"Terimakasih" ucap Adhisti dalam bahasa isyarat. Mereka tersenyum, lalu merasa canggung dan saling memalingkan wajah.
"Ekhem, bagaimana kalau kita makan bersama? Nak Danendra ikut ya" Ucap pak Jaya.
"Setuju om!!" Seru Aruna dan Hasna.
Adhisti mungkin tidak bisa mendengar lagi, tapi dia telah menemukan cara baru untuk merasakan dan mengekspresikan musiknya. Dia telah membuktikan bahwa meskipun dia memiliki keterbatasan, dia masih bisa mewujudkan mimpinya.Â
"Mimpi" bukan hanya tentang perjuangan Adhisti menjadi pianis lagi, tapi juga tentang bagaimana dia belajar menerima dan mengatasi keterbatasannya. Selain itu dukungan dari orang-orang terkasih juga menjadi hal yang penting dalam menggapai mimpinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H