Mereka pun berpelukan dengan tangis haru.
Dari kejauhan ada mata yang sedang menatap, Adhisti pun langsung menoleh. Ada wajah familiar sedang menatapnya, Danendra. Adhisti langsung melambaikan tangannya.
"Gimana, tadi bagus gak?" Tulis Adhisti diponsel.
"Indah, aku sampe nangis, kamu juga cantik banget" Balas Danendra dengan bahasa isyarat.
Adhisti terkejut, ternyata Danendra dapat menggunakan bahasa isyarat. Adhisti terdiam  sejenak, lalu menepuk pundak Danendra.
"Terimakasih" ucap Adhisti dalam bahasa isyarat. Mereka tersenyum, lalu merasa canggung dan saling memalingkan wajah.
"Ekhem, bagaimana kalau kita makan bersama? Nak Danendra ikut ya" Ucap pak Jaya.
"Setuju om!!" Seru Aruna dan Hasna.
Adhisti mungkin tidak bisa mendengar lagi, tapi dia telah menemukan cara baru untuk merasakan dan mengekspresikan musiknya. Dia telah membuktikan bahwa meskipun dia memiliki keterbatasan, dia masih bisa mewujudkan mimpinya.Â
"Mimpi" bukan hanya tentang perjuangan Adhisti menjadi pianis lagi, tapi juga tentang bagaimana dia belajar menerima dan mengatasi keterbatasannya. Selain itu dukungan dari orang-orang terkasih juga menjadi hal yang penting dalam menggapai mimpinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H