Mohon tunggu...
Cerpen

Monolog Lelaki Bunga

14 November 2017   09:54 Diperbarui: 14 November 2017   10:08 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: parting.com/blog

Monolg Lelaki Bunga

Oleh. Rohmat Sholihin*

Setiap kali datang, lelaki itu selalu mengecup bunga-bunga yang ada di taman rumahnya dengan mesra. Bertekuk lutut seperti hormat pada kekasihnya, Mira, perempuan manis yang telah pergi selamanya. Ia ucapkan dengan mesra, "untuk kau Mira, bungaku dan cintaku yang tak kan pudar oleh waktu." Boegenvil merah kesukaan Mira yang masih menancap kokoh di depan rumah meliuk-liuk oleh sang bayu seakan-akan dalam wangi bunganya ada wajah Mira yang tersenyum menyambutnya pulang. Lalu menyapanya, "Mas, aku rindu kau, selamat datang lagi di rumah kenangan ini." Kata bunga itu seakan-akan bicara mesra pada lelaki itu. Lelaki itu tersenyum. 

Meski dalam senyumnya tersimpan luka yang begitu menyayat, "oh Mira, kau saja yang hanya mengikuti kata hatimu pada bunga-bunga itu, siang-malam tak pernah kau terlepas dari mereka, menyambutku hanya seberapa menit lantas....." lelaki itu terdiam dikursi goyang depan rumah dengan kedua mata yang masih kosong. Seakan tak percaya jika kekasih hatinya itu, Mira lebih perduli pada bunga-bunga ditaman rumahnya daripada dengannya.

"Kau kembali meraju pada bunga-bungamu itu." Mulut lelaki itu menyeringai.

'Tidaaaaak, kau pergi dengan pelukan bunga-bunga. Duniamu hanya bunga, senyummu hanya bunga, hatimu hanya bunga, matamu hanya bunga, kaki dan tanganmu hanya bunga. Aku hanyalah orang ketiga pengisi taman sebagai patung penjaga."

Kegusaran pikirannya semakin tinggi, gelas yang ada didepannyapun ia lempar persis mengenai foto Mira pada dinding taman bunga. Seketika jatuh dan hancur lebur. Sedangkan foto Mira hitam putih dengan senyum merekah laksana Bougenvil masih menggoda hatinya.

"Mira, maafkan aku, bukan bermaksud aku kasar padamu. Tapi hatiku terasa kecut dengan tingkahmu yang selalu lebih memilih bunga daripada aku sebagai lelaki yang mencintaimu."

Foto yang tergeletak dengan kaca dan pigura yang hancur itu masih ia biarkan.

"Boleh, boleh, kau lebih memilih bunga tapi..." lelaki itu tak melanjutkan perkataannya. Lelaki itu diam sejenak dengan irama kursi goyangnya.

"Tapi kau jangan duakan aku. Lelaki itu butuh kesetiaan seorang perempuan, Mira."

Lelaki itupun mengambil gelas lagi lalu ia menuangkan anggur didalamnya. Ia teguk, tubuhnya mulai terasa hangat.

"Biasanya kau masih memotongi dahan-dahan bunga yang tumbuh tak berguna. Aku lihat tubuhmu yang molek laksana mawar menari-nari gemulai ditaman itu. Sedangkan aku hanya asyik meminum seteguk demi seteguk anggur kesukaanku."

Kembali lelaki itu menuangkan anggur dalam gelasnya. Kedua matanya masih kosong. Lelaki itu membayangkan gemulai tubuh Mira yang sedang ditaman dengan rambut panjangnya yang sayut-sayut dibelai angin.

"Mira, sudahi saja pekerjaanmu itu. Hari telah gelap."

Suara lelaki itu seperti suara angin saja, hilang tertelan sunyi.

"Mira, ayo kita masuk rumah, dingin, nanti kau masuk angin."

Masih saja kosong.

"Mira, hati-hati diantara bunga-bunga itu ada juga banyak bahaya."

Tetap saja sunyi, hanya suara lelaki itu yang sekejap sirna.

            "Mira, ayo kita makan."

            Tak ada jawaban. Dan lelaki itu mulai bosan.

            "Mira, kapan kau sudahi pekerjaanmu itu?"

            Hanya angin yang berhembus lirih menyapu segala bunga ditaman Mira. Lelaki itu menuangkan anggur pada gelasnya yang telah kosong. Tak terhitung lagi berapa gelas anggur yang telah ia teguk. Kedua matanya mulai merah, wajahnya mulai gembung, dan bibirnya mulai kering.  

            "Mira, kaukah itu?" pandangan lelaki itu mulai kabur.  Samar-samar ia melihat bayangan Mira sedang merunduk mencabuti rumput liar yang tumbuh disekitar bunga kesayangannya.

            "Mira..." panggilnya. Mira tak bergeming.

            "Mira, kaukah itu?" pandangannya semakin kabur.

            "Mira, maafkan aku. Aku telah tega melukaimu."

            "Mira, temani aku disini, minum anggur bersama-sama, agar segala penat luruh juga."

            "Mira, maafkan aku telah membuatmu tertidur selama-lamanya."

            "Mira, aku hanya ingin bercinta...." Tubuhnya sempoyongan lalu jatuh. Sedangkan botol-botol anggur kosong berantakan di atas meja. Taman bunga Mira tetap saja sunyi. Angin malam menyapu pelan-pelan, menggoyang bunga-bunga yang sedari tadi tak pernah diam menari mengikuti irama malam. Acuh tak acuh pada rembulan yang tak lagi riang. Seakan merekam suatu malam dimana anggur-anggur itu telah menidurkan perempuan atas nama Mira selama-lamanya. Bunga-bunga yang mengharap sentuhan halus tangannya, meratap kecewa dengan semakin liar tumbuh kembang bersama rumput liar.

Bangilan, 13 Nopember 2017

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun