Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart) adalah seorang filsuf hukum Inggris yang terkenal dengan teori hukum positifnya. Hart memberikan pandangan bahwa hukum merupakan sebuah sistem aturan yang dibentuk dan ditegakkan oleh otoritas yang sah dan tidak selalu harus memiliki kaitan langsung dengan nilai-nilai moral. Pemikiran Hart mengacu pada teori positivisme hukum, yang menganggap bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas agar dapat diperlakukan secara objektif.
Hart membedakan hukum menjadi dua jenis aturan utama:
1. Primary Rules (Aturan Utama) : Aturan-aturan ini berfungsi langsung untuk memberikan hak dan kewajiban bagi masyarakat umum. Misalnya, hukum pidana yang melarang pencurian adalah contoh dari aturan utama.
2. Secondary Rules (Aturan Sekunder) : Aturan ini berperan sebagai aturan yang mendukung aturan utama dengan memberikan hak dan kewajiban kepada otoritas atau pejabat yang berwenang, misalnya proses legislatif dan kekuasaan untuk menegakkan hukum.
  Hart menolak gagasan bahwa hukum harus terikat pada moral, yang dirangkum dalam pandangannya bahwa "there is no necessary connection between law and morals"---tidak ada hubungan yang harus ada antara hukum dan moral. Hart percaya bahwa hukum sebaiknya dipisahkan dari moral agar proses penegakannya dapat dilakukan secara objektif. Konsep ini dikenal sebagai teori hukum deskriptif, yang artinya hukum dijelaskan sesuai apa adanya tanpa menambahkan nilai moral yang bersifat subjektif.
  Dengan demikian, HLA Hart menempatkan hukum positif sebagai aturan yang netral, objektif, dan dapat diprediksi. Ia juga menekankan pentingnya rule of law (aturan hukum) yang terstruktur, yang diharapkan dapat mengurangi bias dan penafsiran subjektif yang mungkin terjadi dalam proses penegakan hukum.
- Relevansi Pemikiran Max Weber dan HLA Hart di Masa Kini
Relevansi Pemikiran Max Weber :
  Pemikiran Weber tentang hukum sebagai refleksi dari hubungan sosial yang rasional tetap sangat relevan, terutama dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang mempercepat perubahan sosial. Konsep rasionalitas formal dan substansial yang dikemukakan Weber memungkinkan kita untuk memahami bahwa hukum tidaklah statis, melainkan harus mengikuti dinamika sosial yang berkembang. Hukum yang hanya bergantung pada aturan prosedural sering kali dianggap tidak memadai untuk merespons isu-isu sosial yang kompleks dan multidimensi seperti hak asasi manusia, keadilan lingkungan, dan kesetaraan gender.
  Pendekatan Weber yang fleksibel ini juga sangat berharga bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang memiliki beragam budaya dan nilai sosial yang berbeda-beda. Untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan adaptif, pendekatan Weber menggarisbawahi bahwa hukum perlu memperhatikan konteks budaya lokal serta nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
Relevansi Pemikiran HLA Hart :
  Pemikiran Hart tentang hukum sebagai struktur aturan yang objektif dan bebas dari moralitas juga masih berperan penting, terutama dalam menjaga profesionalisme dan netralitas sistem hukum. Dalam era modern yang sering kali diwarnai oleh polarisasi politik dan ketegangan antar kelompok sosial, pendekatan Hart tentang hukum sebagai *positif* dan independen dari moralitas dapat membantu mencegah penafsiran yang bias atau partisan dalam sistem hukum. Hukum yang tetap memisahkan moralitas dapat membantu menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak individu tanpa pengaruh subjektif atau moral dari para penegak hukum.