Nama : Husna Auliya
NIM Â Â : 222111113
Kelas  : HES 5C
PADJADJARAN Jurnal limu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015 [ISSN 2460-1543] [e-ISSN 2442-9325]
Max Weber :
  Max Weber adalah seorang pemikir sosiologi yang memberikan kontribusi besar terhadap studi hukum, terutama dalam melihat hukum sebagai fenomena sosial yang berkembang dari struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Pemikiran Weber dalam hukum didasarkan pada dua konsep penting, yaitu  rasionalitas  dan  legalitas. Weber membagi hukum berdasarkan cara-cara yang digunakan dalam proses pembuatan keputusan, khususnya dalam masyarakat yang semakin rasional. Hukum bagi Weber adalah alat untuk mencapai keteraturan sosial, tetapi ia tidak lepas dari dinamika yang kompleks antara hukum, kekuasaan, dan budaya.
  Max Weber melihat bahwa hukum yang rasional harus berlandaskan pada fakta-fakta dan dapat diukur secara ilmiah melalui hubungan kausalitas yang jelas, yang dikenal dengan pendekatan sebab-akibat (causality). Selain itu, Weber menggunakan dua pendekatan utama:
1. Metode Empiris : Metode ini digunakan untuk memeriksa perkembangan sistem hukum dari waktu ke waktu berdasarkan fakta-fakta yang dapat diamati. Melalui pendekatan ini, Weber melihat bahwa perubahan sosial secara langsung berdampak pada perubahan sistem hukum.
2. Metode Verstehen : Metode verstehen, atau pemahaman, digunakan untuk menafsirkan dan memahami tindakan manusia dari perspektif mereka sendiri, sehingga dapat memperoleh pandangan yang lebih mendalam tentang alasan di balik perilaku hukum di masyarakat.
  Dengan pendekatan tersebut, Weber membangun konsep rasionalitas formal dan rasionalitas substansial dalam hukum. Rasionalitas formal berfokus pada aturan yang pasti dan terukur, sementara rasionalitas substansial lebih menekankan pada nilai-nilai sosial yang mendasari hukum. Menurut Weber, hukum haruslah fleksibel untuk mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis.
HLA Hart :
  Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart) adalah seorang filsuf hukum Inggris yang terkenal dengan teori hukum positifnya. Hart memberikan pandangan bahwa hukum merupakan sebuah sistem aturan yang dibentuk dan ditegakkan oleh otoritas yang sah dan tidak selalu harus memiliki kaitan langsung dengan nilai-nilai moral. Pemikiran Hart mengacu pada teori positivisme hukum, yang menganggap bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas agar dapat diperlakukan secara objektif.
Hart membedakan hukum menjadi dua jenis aturan utama:
1. Primary Rules (Aturan Utama) : Aturan-aturan ini berfungsi langsung untuk memberikan hak dan kewajiban bagi masyarakat umum. Misalnya, hukum pidana yang melarang pencurian adalah contoh dari aturan utama.
2. Secondary Rules (Aturan Sekunder) : Aturan ini berperan sebagai aturan yang mendukung aturan utama dengan memberikan hak dan kewajiban kepada otoritas atau pejabat yang berwenang, misalnya proses legislatif dan kekuasaan untuk menegakkan hukum.
  Hart menolak gagasan bahwa hukum harus terikat pada moral, yang dirangkum dalam pandangannya bahwa "there is no necessary connection between law and morals"---tidak ada hubungan yang harus ada antara hukum dan moral. Hart percaya bahwa hukum sebaiknya dipisahkan dari moral agar proses penegakannya dapat dilakukan secara objektif. Konsep ini dikenal sebagai teori hukum deskriptif, yang artinya hukum dijelaskan sesuai apa adanya tanpa menambahkan nilai moral yang bersifat subjektif.
  Dengan demikian, HLA Hart menempatkan hukum positif sebagai aturan yang netral, objektif, dan dapat diprediksi. Ia juga menekankan pentingnya rule of law (aturan hukum) yang terstruktur, yang diharapkan dapat mengurangi bias dan penafsiran subjektif yang mungkin terjadi dalam proses penegakan hukum.
- Relevansi Pemikiran Max Weber dan HLA Hart di Masa Kini
Relevansi Pemikiran Max Weber :
  Pemikiran Weber tentang hukum sebagai refleksi dari hubungan sosial yang rasional tetap sangat relevan, terutama dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang mempercepat perubahan sosial. Konsep rasionalitas formal dan substansial yang dikemukakan Weber memungkinkan kita untuk memahami bahwa hukum tidaklah statis, melainkan harus mengikuti dinamika sosial yang berkembang. Hukum yang hanya bergantung pada aturan prosedural sering kali dianggap tidak memadai untuk merespons isu-isu sosial yang kompleks dan multidimensi seperti hak asasi manusia, keadilan lingkungan, dan kesetaraan gender.
  Pendekatan Weber yang fleksibel ini juga sangat berharga bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang memiliki beragam budaya dan nilai sosial yang berbeda-beda. Untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan adaptif, pendekatan Weber menggarisbawahi bahwa hukum perlu memperhatikan konteks budaya lokal serta nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
Relevansi Pemikiran HLA Hart :
  Pemikiran Hart tentang hukum sebagai struktur aturan yang objektif dan bebas dari moralitas juga masih berperan penting, terutama dalam menjaga profesionalisme dan netralitas sistem hukum. Dalam era modern yang sering kali diwarnai oleh polarisasi politik dan ketegangan antar kelompok sosial, pendekatan Hart tentang hukum sebagai *positif* dan independen dari moralitas dapat membantu mencegah penafsiran yang bias atau partisan dalam sistem hukum. Hukum yang tetap memisahkan moralitas dapat membantu menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak individu tanpa pengaruh subjektif atau moral dari para penegak hukum.
  Namun, di sisi lain, pendekatan Hart juga dikritik karena kurang sensitif terhadap tuntutan keadilan sosial dan hak asasi manusia. Sebagai contoh, undang-undang yang netral secara prosedural bisa saja gagal dalam memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi kelompok-kelompok yang rentan atau tertindas.
- Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia Menggunakan Pemikiran Weber dan HLA Hart
Analisis Berdasarkan Pemikiran Weber :
  Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya, agama, dan nilai-nilai sosial yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang keadilan. Melalui pendekatan Weber, kita dapat memahami bahwa sistem hukum Indonesia seharusnya tidak hanya fokus pada legalitas formal, tetapi juga memperhatikan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhi masyarakat.
  Pendekatan verstehen Weber, yang menekankan pentingnya pemahaman akan motif dan perilaku sosial, dapat diaplikasikan dalam melihat bagaimana masyarakat di berbagai daerah di Indonesia memandang hukum. Sebagai contoh, penerapan hukum adat di beberapa wilayah sering kali menjadi solusi bagi masyarakat setempat, meskipun tidak secara langsung sesuai dengan sistem hukum nasional. Dalam konteks ini, pendekatan Weber menunjukkan bahwa hukum di Indonesia perlu beradaptasi dengan perubahan sosial dan menampung keberagaman nilai-nilai lokal untuk mencapai keadilan substantif.
  Lebih lanjut, konsep rasionalitas substansial Weber juga relevan dalam memahami kebutuhan akan hukum yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan sosial, terutama dalam menghadapi masalah ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat marjinal. Dalam realitas Indonesia, prosedur hukum yang kaku dan prosedural kadang kala justru menjadi penghambat bagi pencapaian keadilan yang sebenarnya, sehingga pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual menjadi solusi yang lebih baik.
Analisis Berdasarkan Pemikiran HLA Hart :
  Di sisi lain, pendekatan hukum positif yang diteorikan oleh Hart memberikan landasan untuk menegakkan hukum yang objektif dan bebas. Dalam konteks hukum Indonesia yang sering kali dipengaruhi oleh politik dan kepentingan pribadi, pemikiran Hart menekankan perlunya sistem hukum yang didasarkan pada aturan yang jelas dan tegas, tanpa keterkaitan langsung dengan moralitas. Hal ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
  Dalam implementasinya, pembagian aturan menjadi primary dan secondary rules dari Hart dapat memberikan pedoman yang lebih sistematis bagi hukum Indonesia. Primary rules mengatur hubungan antar warga negara, seperti hukum perdata dan pidana, sedangkan secondary rules memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menegakkan hukum. Pembagian ini dapat diterapkan di Indonesia untuk menghindari kekaburan peran antara masyarakat dan negara dalam penegakan hukum.
  Namun, terdapat tantangan dalam penerapan pemikiran Hart di Indonesia. Kritik terhadap positivisme hukum yang mengabaikan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan tetap relevan, mengingat dalam praktiknya banyak peraturan di Indonesia yang tidak mampu menjangkau keadilan substansial. Sebagai contoh, dalam penanganan kasus-kasus korupsi, pemikiran Hart yang memisahkan moralitas dan hukum dapat mendorong hukum yang objektif. Namun, dalam beberapa kasus, masyarakat Indonesia merasa bahwa hukum yang terlalu prosedural dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral justru gagal memberikan efek jera dan menegakkan keadilan.
  Pemikiran Max Weber dan HLA Hart memiliki relevansi yang besar dalam menganalisis sistem hukum di Indonesia. Sementara Weber menekankan pentingnya adaptasi hukum terhadap perubahan sosial dan nilai lokal, Hart memberikan landasan untuk hukum yang objektif dan independen. Menggabungkan kedua pendekatan ini bisa menjadi jalan bagi Indonesia dalam membangun sistem hukum yang tidak hanya adil dan objektif tetapi juga fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat yang beragam.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI