Mohon tunggu...
Aulli R Atmam
Aulli R Atmam Mohon Tunggu... Jurnalis - Kompasianer

Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Gareth Southgate dan Hantu Berusia Seperempat Abad di Timnas Inggris

16 Juli 2021   23:01 Diperbarui: 16 Juli 2021   23:06 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgate. Sumber: businessleader.co.uk

Gareth Southgate telah merasakan menjadi pemain dan pelatih Timnas Inggris. Selama itu pula ia digentayangi hantu berusia seperempat abad.

Entah ada apa antara Gareth Southgate dan adu penalti. Pelatih Timnas Inggris itu benar-benar menjadi sorotan atas kegagalan tim besutannya dalam babak adu penalti kala melakoni pertandingan final Euro 2020. Bersama Southgate, Inggris tampil buruk dalam adu penalti di mana tiga dari lima penendang gagal melaksanakan tugasnya.

Southgate dan Inggris harus membayar kacaunya adu penalti tersebut dengan demikian mahal: The Three Lions harus merelakan gelar juara dibawa pulang oleh Italia.

Gara-gara kegagalan tersebut, slogan "Football Is Coming Home" yang kerap digaungkan suporter Inggris kembali gagal terwujud. Apalagi, bukan kali ini saja Inggris terpeleset di tangga terakhir menuju gelar juara gara-gara adu penalti. Lebih apesnya lagi bagi Southgate, dulu ia juga menjadi aktor penting di balik kegagalan tersebut, tepatnya di ajang Euro 1996.

Selama seperempat abad, adu penalti seakan menjadi hantu yang menggentayangi Southgate di Timnas Inggris.

 Dari 1996 ke 2021

Waktu itu tahun 1996, Southgate masih menjadi pemain dan di usianya yang menginjak pertengahan 20-an, kariernya bisa dibilang apik. Ia menjadi andalan di Aston Villa sekaligus Timnas Inggris. Tak heran jika pelatih Inggris, Terry Venables, memasukannya ke dalam daftar pemain untuk melakoni Euro 1996 yang digelar di negeri mereka sendiri.

Southgate tampil cukup meyakinkan sejak awal dimulainya turnamen. Di penyisihan grup, posisinya di lini belakang Inggris tidak tergantikan dengan selalu bermain selama 90 menit penuh bersama Gary Neville, Tony Adams, dan Stuart Pearce. Hasilnya, Inggris lolos ke fase gugur sebagai juara grup.

Di perempat final, Inggris bertemu Spanyol dan sukses meraih kemenangan sekaligus merebut tiket ke semifinal melalui adu penalti setelah bermain imbang tanpa gol di waktu normal dan perpanjangan waktu. Seperti sebelumnya, Southgate tampil penuh, namun ia tidak perlu ikut menjadi penendang penalti hingga akhirnya timnya menang.

Inggris cukup membutuhkan empat penendang untuk menang. Para penendang tersebut yakni Alan Shearer, David Platt, Stuart Pearce, dan Paul Gascoigne, sukses menuntaskan tugasnya dengan baik sementara dua penendang Spanyol, Fernando Hierro dan Miguel Nadal, gagal. 

Di semifinal, giliran Jerman yang menjadi lawan Inggris. Baru tiga menit laga berjalan, Alan Shearer sudah mampu mencetak gol ke gawang Jerman. Sayang, keunggulan itu tidak bertahan lama karena Stefan Kuntz mencetak gol penyeimbang kedudukan bagi Jerman hanya 13 menit berselang. Skor 1-1 tidak berubah hingga akhir waktu normal dan perpanjangan waktu sehingga Inggris kembali dipaksa menjalani adu penalti.

Berbeda dengan sebelumnya, adu penalti kali ini berlangsung sengit. Lima penendang pertama Jerman semuanya sukses menyarangkan bola ke gawang Inggris yang dikawal David Seaman. Inggris pun demikian, lima penendangnya sukses memasukkan bola ke gawang Jerman.

Stefan Kuntz adalah penendang kelima Jerman. Setelahnya, tibalah giliran Southgate yang tampil sebagai penendang keenam Inggris. Di hadapan 75,862 penonton yang memenuhi Stadion Wembley, Southgate tanpa banyak gaya langsung mengeksekusi bola dengan tampak percaya diri.

Bola tendangan Southgate bergulir menyusur tanah ke arah sisi kiri gawang Jerman. Nahas bagi Southgate dan Inggris, kiper Jerman Andreas Koepke juga bergerak ke arah yang sama dengan datangnya bola. Hasilnya, bola urung masuk ke gawang karena ditepis oleh Koepke.

Penendang keenam Jerman, Andreas Moeller menjadi tumpuan harapan Jerman sekaligus Inggris. Oleh Jerman, ia diharapkan sukses mengeksekusi penalti dan membawa timnya ke final. Sementara itu oleh Inggris, Moeller diharapkan gagal sehingga adu penalti berlanjut dan Inggris tetap memiliki peluang lolos. Singkat cerita, Moeller berhasil menyarangkan bola. Jerman lolos ke final dan Inggris terhempas.

"Anda mungkin berada dalam pertandingan terbesar yang dimiliki tim selama 30 tahun pada saat itu, negara ini berada dalam gelombang pasang surut emosi dan perasaan yang bagus, dan kemudian Anda meninggalkan stadion dengan perasaan bahwa Anda adalah orang yang pada akhirnya bertanggung jawab atas akhir yang terjadi," kata Southgate pada 2020 seperti dilansir Sky, mengenang momen yang dialaminya pada 1996 sekaligus mengakui perasaan bersalahnya.

"Saya tidak pernah merasa marah, saya hanya merasakan penyesalan, penyesalan mendalam, dan tanggung jawab," ujarnya.

***

Seperempat abad setelah momen tragis itu, Southgate kembali tampil di ajang Euro bersama Inggris. Tentu bukan sebagai pemain melainkan pelatih. Seperti biasa, ekspektasi besar dipikul Inggris dengan harapan juara dan mewujudkan slogan "Football is Coming Home."

Skuad Inggris besutan Southgate punya modal memadai untuk memenuhi ekspektasi itu. Keberadaan pemain-pemain top berpengalaman seperti Harry Kane dan Raheem Sterling hingga bintang muda seperti Mason Mount, Declan Rice, dan Phil Foden tampak lebih dari cukup untuk menaklukkan Eropa.  

Seperti yang sudah sering dilakukan Inggris, mereka tidak menemui hambatan berarti untuk lolos dari penyisihan grup menuju fase gugur. Kroasia, Skotlandia, dan Republik Ceska semua berhasil dilewati tanpa kekalahan. Angka Kebobolan pun nihil.

Dari perempat final hingga semifinal, secara berturut-turut Jerman, Ukraina, dan Denmark didepak. Setelah semifinal, slogan "Football is Coming Home" semakin kencang terdengar seakan-akan dunia sudah yakin akan menyaksikan sejarah Inggris mengangkat trofi lagi setelah sekian lama.

Keyakinan itu tampak semakin menebal saat pertandingan final belum lama berjalan. Di hadapan dukungan publiknya sendiri di Wembley, Inggris mencetak gol lewat aksi Luke Shaw saat pertandingan baru berjalan dua menit. Kendati demikian, Italia akhirnya mampu membalas pada menit ke-67 melalui Leonardo Bonucci sekaligus memaksa Inggris bermain hingga melewati perpanjangan waktu dan menentukan hasil pertandingan melalui adu penalti.

History repeats itself. Di adu penalti ini kejadian seperti tahun 1996 terulang kembali. Inggris tersungkur gara-gara adu penalti saat hanya tinggal selangkah menuju juara. Dua penendang penalti pertama Inggris, Kane dan Harry Maguire, sukses melaksanakan tugasnya. Namun tiga penendang berikutnya, Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka, gagal.

Jika dulu Southgate dulu merasa bertanggung jawab atas kegagalan Inggris di Euro 1996, pun demikian dengan kali ini. Pelatih kelahiran Watford itu mengakui jika penentuan penendang penalti adalah murni keputusannya dan bukan didasari oleh keinginan pemain.

"Siapa yang mengambil penalti adalah keputusan saya, ini bukan soal pemain yang tidak bersedia atau pemain yang lebih berpengalaman tidak mau menendang, mereka tidak berkesempatan (untuk membuat keputusan), itu adalah pekerjaan saya dan tidak ada orang lain," ujar Southgate yang dikutip Manchester Evening News.

"Memberi kesempatan kepada pemain yang menjadi penendang penalti adalah keputusan saya. Kami masih sangat percaya kepada mereka," pungkasnya.

Hantu adu penalti yang pernah membawa mimpi buruk bagi Southgate seperempat abad silam memang masih menggentayanginya, bersama Timnas Inggris, di Wembley. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun