Mohon tunggu...
Aulia Suciati
Aulia Suciati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tukang Cerita

Your local soft rebel | suciatiaulia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Tadi Pagi

26 Juni 2019   18:30 Diperbarui: 26 Juni 2019   18:33 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini terik betul, Kawan. Padahal tadi pagi hujan turun deras sekali. Memang aneh cuaca belakangan ini. Biarkan aku bermalas-malasan sambil memetik gitarku dulu sebelum kembali turun ke jalanan. Ya? Kenapa lagu romantis yang kupetik? Sebab, Kawan, aku bertemu dengan perempuan manis di bus tadi pagi. Tidak, aku tidak mengada-ada. Aku tahu ini terdengar menggelikan. Sungguh, dia itu manis sekali. Saat aku masuk ke dalam bus, aku melihat dia tertidur di salah satu bangku sebelah kanan, tepat dekat jendela.

Kudendangkan lagu terbaru yang kita pelajari. Tidak ada satu pun orang yang terlihat bersemangat mendengar lagu itu. Padahal kita tahu lagu itu sedang sangat populer.

Perempuan itu pun hanya tidur. Kepalanya terbalut jilbab merah jambu. Dia terbangun di pertengahan lagu. Ujung dari jilbab merah jambunya pun tersingkap dari wajahnya. Manisnya semakin terlihat. Maaf, aku bising sekali sampai-sampai kamu terbangun, ucapku dalam hati.

Aku pun berkeliling dengan plastik bekas ciki. Kusodorkan pada penumpang satu per satu. Ada yang memberi, ada yang tidak. Tidak masalah. Sampai aku pada perempuan itu. Aku tersenyum padanya, tetapi dia tidak melihatku. Dia asal memasukkan recehan ke dalam plastik lalu tidur lagi. Aku duduk di bangku paling belakang sebab bus ini seterusnya akan melaju di jalan tol. Aku harap tidurnya lebih nyenyak dan tidak terganggu lagi sampai di tujuannya.

Dari jendela, langit kelihatan sangat mendung. Perlahan air turun dari langit. semakin lama semakin deras. Bus keluar dari jalan tol. Aku melihat dia bergegas turun bersama beberapa penumpang lainnya. Aku juga turun, karena memang harus turun di sini. Bukan ingin mengikuti perempuan itu.

Hujan turun deras sekali, Kawan. Dia berlari ke jembatan penyeberangan. Aku merasa geli berjalan di belakangnya seperti penguntit. Kau tahu, aku juga perlu menyeberang supaya bisa kembali ke sini. Aku memang hanya lulusan SD, tapi aku tidak miskin moral.

Hujan masih deras sekali. Dia terjebak di ujung jembatan, berteduh bersama orang-orang lain. Dia berkali-kali menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menghela. Wajahnya cemas, jemarinya sesekali mengetuk besi jembatan.

Bagaimana aku tahan melihat dia begitu cemas? Barangkali dia hendak kuliah atau kerja. Kalau dia terlambat datang, karirnya akan hancur. Aku memutar otak sekeras mungkin.

Seorang bapak datang ke perempuan itu, bertanya, "Dek, punya HP? Saya mau telepon kerabat, saya tidak punya pulsa."

Seketika bapak itu jadi pusat perhatian. Semua menatapnya penuh curiga, termasuk aku. Sudah siap sekali aku menghantam bapak itu kalau sampai dia berbuat macam-macam.

Perempuan itu tanpa ragu memberikan HP-nya kepada si bapak. Malah aku yang deg-degan melihatnya. Kau tahu ada banyak penjahat di daerah sana. Polos betul perempuan itu.

"Halo, ini Heru. Pulsaku habis," seterusnya bapak itu bicara sampai dia mengucap perpisahan. Sambil senyum, dia berterima kasih pada perempuan itu. Dia menyodorkan uang kepadanya, tetapi ditolak secara halus. Setelah kembali berterima kasih, bapak itu naik ke jembatan, menyeberang.

"Mbak..." akhirnya aku sapa dia juga, Kawan.

Dia menoleh dengan menorehkan senyuman, "Ya?"

"Lain kali, hati-hati, Mbak. Di sini banyak orang jahat."

Senyumnya berubah penuh rasa malu, "Iya..."

Setidaknya untuk ke depannya dia bisa lebih memikirkan konsekuensi atas niat baiknya. Ah, tanggung betul, sudah sempat bicara dengannya lalu kembali diam. Maka aku berusaha untuk mengajak dia bicara lagi.

"Mbak orang mana?"

Dia menoleh lagi, "Ibu Sunda, Bapak Jakarta."

Hahaha, sebenarnya bukan itu yang aku maksudkan. Jadi aku coba tanya lagi, "Kalau Mbaknya tinggal di mana?"

"Di Ciputat."

"Mbak kuliah?"

Dia mengangguk, "Iya, kuliah," kali ini dia bertanya balik padaku, "Mas kuliah juga?"

Aku... kuliah? Aku bingung sekali. Tidak mengapa dia tidak tahu aku yang mengamen di bus yang dia naiki tadi, tapi apa pakaianku masih pantas untuk dipakai kuliah?

Ah, ya, hahaha betul juga kamu, barangkali aku terlihat seperti mahasiswa seni dengan gitarku yang kugendong di punggungku ini.

Kujawab dia sambil menahan geli, "Nggak..."

Kami diam lagi sejenak. Wajahnya menjadi cemas lagi, bahkan semakin cemas. Hujan turun deras sekali, tidak kunjung terlihat akan berhenti. Apa dia sudah terlambat masuk?

"Dari sini ke kampus, tinggal jalan kaki?"

"Bisa, tapi kalau deras begini, setidaknya harus naik metromini."

"Nunggu metromininya di mana?"

Dia ke arah pom bensin di seberang sana. Dari sini ke sana jauh juga kalau hujannya sederas sini. Bisa langsung basah kuyup.

Aku bergegas keluar dari jembatan, pergi ke warung sepetak di pinggir jalan, apakah mereka punya payung. Tidak, mereka tidak punya. Aku menyeberang jalanan besar yang semestinya kuseberangi dengan jembatan. Aku tidak mau bolak-balik di depan dia, Kawan. Jadi aku terobos saja.

Aku masuk ke sebuah warteg yang ibu dan bapaknya sudah mengenali aku, "Ibu, ada payung?"

Kening si Ibu mengernyit, "Buat apa, lu?"

"Aduh, nanti deh, Bu. Ada apa nggak, nih?"

Si Ibu masuk ke dalam sebentar, keluar dengan payung, "Nih, entar balikin, ya..."

Kuterima payung itu dengan suka cita, melebihi kalau si Ibu memberikan aku uang atau makanan gratis, "Iya Bu, makasih!"

Aku langsung buru-buru kembali ke jembatan. Hujan sudah tidak sederas tadi. Semoga dia masih ada di sana, kuharap. Untunglah, saat aku kembali, perempuan itu masih di sana.

"Mbak..."

Dia menoleh agak terperanjat. Aku buka payung lusuh berwarna merah dengan motif bunga-bunga itu, "Ayo, Mbak. Saya antar sampai dapat metromini."

Dia menatapku beberapa saat. Mungkin dia takut aku culik atau sejenisnya. Atau takut ternyata aku ojek payung jadi dia mesti bayar. Di satu sisi dia juga tidak punya pilihan lain. Jadi dia masuk ke bawah payung.

Kami berjalan berdua di bawah payung. Suara hunjaman hujan jadi begitu merdu. Aku melirik ke kiri, melihatnya yang lebih pendek dariku. Ingin rasanya menjadi seperti itu jauh lebih lama lagi. Kami menyeberang. Aku sedikit bersyukur, belum ada metromini yang lewat. Untuk beberapa lama, kami saling diam.

Aku pun bertanya supaya tidak terlalu canggung, "Sudah terlambat?"

"Sedikit lagi."

Tak lama, metromini datang. Aku menghentikan metromini itu, berpesan pada pak sopirnya untuk berhati-hati. Di atas metromini, perempuan itu memberikan senyumannya padaku yang kemungkinan besar adalah senyuman terakhir darinya yang akan kulihat.

"Terima kasih banyak..."

"Ya, sama-sama..."

Ah... Kenapa yang indah-indah harus berakhir begitu cepat?

Sebenarnya aku ingin sekali tahu namanya. Kuurungkan niat itu sebab rasanya terlalu lancang. Entahlah. Aku bahkan tidak tahu apa dia akan ingat di masa depan, ada orang asing yang pernah memayunginya saat berangkat kuliah. Oh, benar juga! Jadi penasaran. Apa tadi atau saat ini dia sedang menceritakan aku pada kawannya juga? Hahaha, betul, yang seperti dia, paling beranggapan aku sebagai angin lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun