Dia mengangguk, "Iya, kuliah," kali ini dia bertanya balik padaku, "Mas kuliah juga?"
Aku... kuliah? Aku bingung sekali. Tidak mengapa dia tidak tahu aku yang mengamen di bus yang dia naiki tadi, tapi apa pakaianku masih pantas untuk dipakai kuliah?
Ah, ya, hahaha betul juga kamu, barangkali aku terlihat seperti mahasiswa seni dengan gitarku yang kugendong di punggungku ini.
Kujawab dia sambil menahan geli, "Nggak..."
Kami diam lagi sejenak. Wajahnya menjadi cemas lagi, bahkan semakin cemas. Hujan turun deras sekali, tidak kunjung terlihat akan berhenti. Apa dia sudah terlambat masuk?
"Dari sini ke kampus, tinggal jalan kaki?"
"Bisa, tapi kalau deras begini, setidaknya harus naik metromini."
"Nunggu metromininya di mana?"
Dia ke arah pom bensin di seberang sana. Dari sini ke sana jauh juga kalau hujannya sederas sini. Bisa langsung basah kuyup.
Aku bergegas keluar dari jembatan, pergi ke warung sepetak di pinggir jalan, apakah mereka punya payung. Tidak, mereka tidak punya. Aku menyeberang jalanan besar yang semestinya kuseberangi dengan jembatan. Aku tidak mau bolak-balik di depan dia, Kawan. Jadi aku terobos saja.
Aku masuk ke sebuah warteg yang ibu dan bapaknya sudah mengenali aku, "Ibu, ada payung?"