Mohon tunggu...
Aulia Fajarianti
Aulia Fajarianti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Peneliti

Menggeluti penelitian/riset dan jurnal ilmiah mengenai politik- hukum nasional dan internasional, pendidikan, dan masyarakat. Pemakalah dalam Webinar Pendidikan Sendiksa IV Universitas Sultan Agung Semarang, Puisi (Air Mata Pertiwi) termuat dalam buku antologi puisi (Jerit Hening, Binarmedia), Alumni Kampus Mengajar 5, Artikel (Manuver Mette Frederiksen Demi Kursi Sekjen NATO, Omong-Omong Media)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Luntur Kualitas dan Integritas Calon Pemimpin Akibat Elite Politik

30 Agustus 2024   10:31 Diperbarui: 31 Agustus 2024   08:54 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan umum di Indonesia sedang berlangsung sepanjang tahun ini. Berbagai informasi dan isu kontroversial yang ikut meramaikan pesta demokrasi tersebut sudah berlalu-lalang. Dimulai dari sejumlah artis dan selebritis tanah air  hingga kerabat para elite politik lainnya saling bersaing memperebutkan kursi pemerintahan. Tentu ada pro dan kontra terkait fenomena-fenomena yang telah menjadi umum atau marak di tahun ini  karena kian banyaknya partai dan elite politik bahkan lembaga hukum terkesan lebih menitikberatkan  ketenaran  atau popularitas dan kekerabatan kandidat pemimpin yang akan diusung. 

Dimulai dari artis dan selebritis tanah air yang ikut mencalonkan diri mereka sebagai calon legislatif (caleg). Keikutsertaan artis atau selebritis dalam pemilu sudah turut menghiasi pesta demokrasi di Indonesia sejak reformasi. Sejak tahun 2004, keterlibatan artis dan selebritis yang ikut berpatisipasi dalam memperebutkan kursi pemerintahan mulai tampak. Saat itu, sebanyak 38 orang ikut menjadi partisipan. Lalu, pada pemilu tahun 2009, terdata sebanyak 61 orang ikut berpatisipasi. Pada pemilu tahun 2014, partisipasi artis dan selebritis melonjak naik hingga menyentuh angka sebanyak 71 orang. Puncaknya, pada tahun 2019,  partisipasi artis dan selebritis dalam mengikuti pemilu maupun berpolitik menyentuh angka sebanyak 91 orang. Namun, pada  pemilu tahun 2024 ini, tercatat angka partisipasi artis maupun selebritis mengalami penurunan yaitu hanya terdapat  62 artis maupun selebritis yang ikut serta.

Keterlibatan para artis maupun selebritis di panggung politik tampaknya selalu menjadi momok dalam perdebatan sekaligus kritik baik dari masyarakat, ahli politik dan hukum ketatanegaraan, hingga para akademisi baik di media sosial maupun platform media informasi maupun dalam intitusi pendidikan lainnya. Mengutip informasi dari Silvanus Avin (Kompas.com, 2023), Setidaknya ada tiga alasan mengapa partai politik turut menerima dan mendukung  mereka dalam berpartisipasi politik:

Pertama, popularitas dan daya tarik mereka yang telah lama tersorot oleh media menjelman menjadi aset yang berharga dalam pemasaran atau pengenalan kebijakan politik terutama pada masa-masa kampanye. Kehadiran mereka dapat menarik para pemilih yang tidak terlalu memiliki minat pada cara partisipasi politik tradisional. Apalagi dalam lingkungan politik yang semakin kompetitif, kehadiran mereka dapat memberikan angin segar dalam meraup keuntungan elektoral serta perhatian dari para pemilih yang tidak jarang berasal dari kalangan penggemar mereka.

Kedua, partai politik dapat memanfaatkan mereka sebagai peluang untuk memobilisasi massa yang berasal dari banyaknya para penggemar serta dalam mendukung segala agenda politik lainnya dalam partai tersebut.

Ketiga, partai politik juga sering mengajak para artis maupun selebritis dari berbagai sektor atau kelompok masyarakat (utamanya etnis dan agama) sebagai cermin dari keaneka ragaman latar belakang juga kepentingan individu maupun sekelompok masyarakat. Dengan melibatkan mereka, partai politik dapat menunjukkan komitmen mereka dalam mewakili seluruh spektrum masyarakat serta memperluas dukungan serta partisipasi masyarakat.

Setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa para artis maupun selebritis secara sukarela berpartisipasi dalam panggung politik: 

1. Pertama, ada isu penting yang hendak diperjuangkan oleh partai atau lingkungan politik. Kita seringkali melihat bahwa jika negara atau suatu daerah sedang alam suatu isu penting dalam masyarakatnya, maka mereka akan ikut bersuara dan tidak jarang bergerak dengan bermodal kesadaran sosial yang tinggi, mereka menggunakan platform yang mereka miliki untuk memperjuangkan berbagai isu yang mereka anggap penting. Mereka juga melihat bahwa lingkungan politik sebagai saluran yang efektif untuk memengaruhi kebijakan negara (publik) dan diharapkan membawa perubahan positif dalam masyarakat.  Mereka yang memiliki modal dan pengaruh yang kuat menjadikan mereka seringkali memberikan perhatian yang lebih kepada publik seperti pada isu lingkungan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, kesehatan, pendidikan, atau masalah sosial lainnya. Tidak jarang juga mereka ingin memanfaatkan posisinya sebagai tokoh publik dengan pengaruh serta popularitas mereka yang kuat, mereka seringkali menganggap hal itu dapat dengan mudah untuk mereka mengajak para masyarakat dalam membangun kesadaran serta mendorong tindakan mereka dalam isu-isu yang mereka ikuti perkembangannya. 

2. Kedua, mencari kepuasan pribadi. Bagi beberapa artis maupun selebritis, bergabung kedalam dunia politik merupakan tantangan baru yang sangat menarik. Setelah mereka mencapai kesuksesan besar dalam kesenian, tak jarang mereka juga ingin memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat dan ingin banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan orang banyak. Karena bagi mereka, terlibat secara aktif dalam politik dapat memberikan rasa kepercayaan diri dan pencapaian pribadi yang sangat memuaskan, serta memungkinkan mereka untuk merasakan dampak secara lebih langsung dalam upaya mereka memperjuangkan segala perubahan positif dalam kehidupan masyarakat. Apalagi, tidak jarang pula kita temui bahwa suara mereka sering diminta oleh masyarakat dalam pemberian pandangan atau dukungan kepada suatu isu. Untuk itu, masyarakat dihimbau untuk terus berpikir kritis dan berhati-hati dengan tipe mereka yang hanya ingin mencari sensasi, popularitas semata, bahkan tambahan penghasilan dengan cara yang ”haram” di panggung politik.

Selanjutnya, fenomena pencalonan dan pengangkatan jabatan para pejabat negara yang berasal dari kerabat para tokoh politik Indonesia tidak pernah sepi dari pembahasan populer di sosial media maupun media kabar lainnya baik nasional maupun internasional. Hal inilah yang menjadikan para akademisi hingga lembaga hukum Indonesia maupun luar negeri kerap memberikan pandangan serta kritik yang terbuka untuk memvalidasi serta membantu menjawab keresahan rakyat agar tidak semakin diperkeruh dengan segala hoax yang cepat menyebar hingga dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa.

Politik semacam itu sering disebut sebagai politik dinasti atau kekerabatan yang belakangan ini telah menjadi permasalahan kritis yang sukses memicu perdebatan masyarakat khususnya di Indonesia sendiri sepanjang tahun 2024. Para elite politik berlomba untuk menjadikan keluarga dan kerabat mereka dicalonkan sebagai kepala daerah maupun dalam tingkat pemerintahan paling tinggi entah mengapa dan apa motivasi mereka melakukannya. 

Apakah untuk memperpanjang kekuasaan dan dapat meraup keuntungan yang lebih besar serta bertahan lama? Atau juga untuk memuluskan bisnis mereka saja? Jika benar motivasinya seperti itu, berarti sangat pantas untuk mereka digulingkan secara tidak hormat karena itu dapat menyengsarakan rakyat yang padahal harus mereka jamin kesejahteraan dan keamanan hidupnya. Tentu tidaklah boleh buta bahwa rakyat hakikatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam mengontrol serta menentukan arah kebijakan pemerintahan yang tidak jarang terkesan "ngawur" atau hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Akibat dari peristiwa yang sering terjadi dalam permainan politik seperti itulah yang menjadikan hukum pemerintahan atau ketatanegaraan sering terbentur pada kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bisa bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada saat kondisi tertentu, para penegak hukum harusnya dapat bertindak tegas dalam menindak dan menghadapi penguasa. 

Studi Purdey, Aspinall dan As’ad (2016) juga melengkapi pengertian dinasti politik, dan membedakannya dengan konsep political family (keluarga politik). Keluarga politik merujuk pada sebuah keluarga di mana lebih dari satu anggota keluarga memperoleh posisi politik dalam satu wilayah geografis (Daerah Otonom). Sedangkan kekuasaan keluarga politik ini merupakan suatu pengertian yang merujuk pada penyebaran anggota keluarga tersebut di berbagai tempat-tempat politik strategis baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif. Tidak hanya pada satu daerah otonom saja, akan tetapi juga daerah-daerah di sekitarnya (kabupaten/kota atau provinsi) juga ikut diduduki kekuasaannya oleh mereka. Keluarga politik dapat menjadi dinasti politik manakala mampu melebarkan kekuasaanya, sehingga ketika mengalami kekalahan kontestasi elektoral, yang bersangkutan akan diteruskan oleh pasangan (suami atau istri, atau), kerabat yang lain (intra-generational), atau oleh anak atau menantunya (inter-generational).

Fenomena pencalonan dan pengangkatan jabatan para pejabat negara yang berasal dari kerabat para tokoh politik dan pebisnis besar Indonesia tidak pernah sepi dari pembahasan populer di sosial media maupun media kabar lainnya baik nasional maupun internasional. Hal inilah yang menjadikan akademisi hingga lembaga hukum Indonesia maupun luar negeri kerap memberikan pandangan serta kritik yang terbuka untuk memvalidasi serta membantu menjawab keresahan rakyat agar tidak semakin diperkeruh dengan segala hoax yang cepat tersebar dan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Politik kekerabatan atau yang paling populer sering disebut sebagai politik dinasti belakangan ini telah menjadi permasalahan kritis yang sukses memicu perdebatan masyarakat khususnya di Indonesia sendiri sepanjang tahun 2024. Dimulai dari pencalonan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka yakni diketahui sebagai putra sulung Presiden Joko Widodo dinilai banyak memicu kontroversi dimulai dari polemik batas usia minimum yakni 40 tahun yang diloloskan oleh Mahkamah Konstitusi hingga keputusan rapat peraturan perundangan DPR-RI mengenai batas usia minimum kepala daerah yang disinyalir akan meloloskan Kaesang Pangarep sebagai calon atau kandidat kepala daerah yang akan diusung partai.  

Indonesia sebagai negara yang menganut kehidupan bernegara berlandaskan demokrasi seharusnya menjadikan rakyat sebagai pihak yang paling berwenang dalam menentukan siapa calon terpilih yang pantas menjadi pemimpin mereka. Namun, jika dalam peraturan pencalonan awalnya saja sudah ada kesalahan atau cacat kriteria apalagi melibatkan dewan hukum tertinggi negara untuk meloloskan syarat ”dadakan” dan mengakibatkan berubahnya undang-undang secara cepat nan dramatis, maka kekuatan demokrasi dan kemurnian hukum sudah rusak di negara ini. Tampaknya, rakyat telah terbayang-bayang kembali dengan sejarah kelam di detik-detik lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto sebagai tanda berakhirnya pemerintahan orde baru yang dimana rakyat utamanya para mahasiswa pada Mei 1998 bergerak untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto saat itu karena syarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun lamanya yang sangat merugikan kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia saat itu. 

Memang tidak ada yang salah dengan dinasti politik, undang-undang membuka ruang bagi siapa saja untuk dipilih dan memilih, dan sudah dilegalkan seperti yang dituangkan Para hakim MK dalam sidang pada tahun 2015 yang memutuskan dan melegalkan pencalonan keluarga petahana (incumbent) dalam pemilihan kepala daerah. Majelis konstitusi juga berpendapat dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang sebelumnya hal tersebut dilarang karena bertentangan dengan konstitusi, Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota juga disebutkan, “Calon kepala daerah harus tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Pasal ini lebih dikenal dengan penghapusan politik dinasti “ bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Yang menyatakan bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang yang dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan juga kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis“. Sampai saat ini, putusan MK ini terus menuai kritik serta menyebabkan pro serta kontra dikalangan para akademisi, elite politik, dan pakar hukum.

Akibat Dari Politik Dinasti ini, maka banyak pemimpin lokal maupun juga para pebisnis besar ikut menjadi politisi karena mereka merasa bahwa mereka memiliki pengaruh besar yang terikat pada sejarah, perekonomian, juga pembangunan sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan. Dalam Penegakan hukum di Indonesia, sering terbentur pada kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bisa bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada saat kondisi tertentu, para penegak hukum dapat cukup tegas menindak dan menghadapi penguasa. Namun, secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa. Menurut Zulkieflimansyah, setidaknya ada tiga dampak negatif yang sangat merugikan suatu negara dari maraknya sistem politik dinasti jika terus dibiarkan, yaitu: 

Menjadikan partai sebagai wadah dan mesin politik semata yang akan menyumbat fungsi ideal partai yang seharusnya dapat menjadi perpanjangan tangan aspirasi dan kritik rakyat, akan terbelokkan menjadi haus kekuasaan semata. Dalam posisi ini, rekruitmen partai juga lebih terfokus pada mendasarkan popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pebisnis (darah hijau) atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi 

sebagai konsekuensi logis dari kemunculan gejala pertama politik dinasti, maka sudah jelas akan menutup kesempatan masyarakat yang lebih berkompeten sebagai yang seharusnya merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan juga hanya berputar pada lingkungan elite dan pengusaha semata sehingga terwujudnya potensial negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan akan semakin melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme akan terus merajalela dalam kehidupan bernegara.

Seperti halnya Mahkamah Konstitusi (MK) secara mengejutkan membuat keputusan yang seolah menganulir putusan Mahkamah Agung (MA) mendapatkan penilaian negatif  dari para pakar hukum Indonesia  dimana ketua MK saat ini yang dipimpin oleh hakim Soehartoyo mengabulkan gugatan yang sebelumnya diajukan oleh dua mahasiswa Indonesia yakni Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee dari Podomoro University terkait kriteria calon atau kandidat yang akan berpatisipasi sebagai kepala atau perwakilan daerah. 

Putusan tersebut seolah membawa angin segar untuk demokrasi Indonesia. Putusan MK No 70 meyatakan bahwa batas usia calon kepala daerah adalah 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati atau walikota terhitung sejak ditetapkannya sebagai calon oleh KPU.  Tidak hanya mengabulkan putusan No 70, MK juga mengabulkan putusan No 60 yang sebelumnya diajukan oleh Partai Gelora dan partai Buruh. 

MK memutuskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, mereka harus mendapatkan jumlah suara sah minimal tertentu dalam Pemilu DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Putusan MK ini tentu menjadi game changer dimana partai peserta pemilu yang sebelumnya tidak dapat mengikuti pencalonan kini bisa mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini tentunya dapat mencegah kemungkinan munculnya calon tunggal atau kotak kosong dikarenakan koalisi partai yang memberikan kesan terlalu gemuk.

Tentu, pada hakikatnya setiap warga negara Indonesia memiliki hak berpolitik dan diperbolehkan untuk mencalonkan diri baik sebagai perwakilan rakyat daerah atau sebagai pemimpin negara. Namun, hal yang perlu diingat dan diperhatikan adalah sejauh mana kepantasan seseorang apabila ingin terjun dalam dunia politik. Kita perlu melihat lebih jauh apakah orang yang akan menjadi pemimpin atau perwakilan adalah orang yang memiliki kemampuan yang mumpuni. Karena persoalan-persoalan kenegaraan harus berada ditangan yang tepat dan kompeten dibidangnya. Bukan hanya sekedar popularitas semata. Selain itu, partai politik dalam hal ini harusnya sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar dalam menentukan siapa orang yang pantas. Tentu, sangat tidak etis apabila partai politik hanya mementingkan popularitas dan elektabilitas semata tanpa mempertimbangkan kualitas atau kepantasan dari calon atau kader yang diusung.

Selain itu, politik dinasti dapat membuat orang yang tidak berkompeten menduduki kekuasaan. Begitupun sebaliknya, dimana orang yang benar-benar berkompeten dan memiliki integritas tinggi menjadi tidak mendapatkan kesempatan karena mereka bukan berasal dari kalangan elite. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak dapat terealisasikan dengan sempurna karena pemimpin atau pejabat negara tidak memiliki kapabilitas dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin negara atau daerah. Maka dari itu, politik dinasti  bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sebab, Indonesia merdeka dan berdaulat tidak lahir melalui sistem pemerintahan monarki yang mana pemimpin selanjutnya menjabat secara berurutan pada  garis keturunan atau kekerabatan melainkan atas persetujuan seluruh rakyat yang mempersilahkan mereka untuk mewakili kepentingan rakyat atau warga negara baik di tingkat nasional maupun internasional.

Tulisan ini adalah hasil kolaborasi antara penulis dan rekan sesama mahasiswa sekaligus peneliti, Muhammad Abdul Syukur Wahyu Utomo. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun