Putusan tersebut seolah membawa angin segar untuk demokrasi Indonesia. Putusan MK No 70 meyatakan bahwa batas usia calon kepala daerah adalah 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati atau walikota terhitung sejak ditetapkannya sebagai calon oleh KPU. Â Tidak hanya mengabulkan putusan No 70, MK juga mengabulkan putusan No 60 yang sebelumnya diajukan oleh Partai Gelora dan partai Buruh.Â
MK memutuskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, mereka harus mendapatkan jumlah suara sah minimal tertentu dalam Pemilu DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Putusan MK ini tentu menjadi game changer dimana partai peserta pemilu yang sebelumnya tidak dapat mengikuti pencalonan kini bisa mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini tentunya dapat mencegah kemungkinan munculnya calon tunggal atau kotak kosong dikarenakan koalisi partai yang memberikan kesan terlalu gemuk.
Tentu, pada hakikatnya setiap warga negara Indonesia memiliki hak berpolitik dan diperbolehkan untuk mencalonkan diri baik sebagai perwakilan rakyat daerah atau sebagai pemimpin negara. Namun, hal yang perlu diingat dan diperhatikan adalah sejauh mana kepantasan seseorang apabila ingin terjun dalam dunia politik. Kita perlu melihat lebih jauh apakah orang yang akan menjadi pemimpin atau perwakilan adalah orang yang memiliki kemampuan yang mumpuni. Karena persoalan-persoalan kenegaraan harus berada ditangan yang tepat dan kompeten dibidangnya. Bukan hanya sekedar popularitas semata. Selain itu, partai politik dalam hal ini harusnya sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar dalam menentukan siapa orang yang pantas. Tentu, sangat tidak etis apabila partai politik hanya mementingkan popularitas dan elektabilitas semata tanpa mempertimbangkan kualitas atau kepantasan dari calon atau kader yang diusung.
Selain itu, politik dinasti dapat membuat orang yang tidak berkompeten menduduki kekuasaan. Begitupun sebaliknya, dimana orang yang benar-benar berkompeten dan memiliki integritas tinggi menjadi tidak mendapatkan kesempatan karena mereka bukan berasal dari kalangan elite. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak dapat terealisasikan dengan sempurna karena pemimpin atau pejabat negara tidak memiliki kapabilitas dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin negara atau daerah. Maka dari itu, politik dinasti  bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sebab, Indonesia merdeka dan berdaulat tidak lahir melalui sistem pemerintahan monarki yang mana pemimpin selanjutnya menjabat secara berurutan pada  garis keturunan atau kekerabatan melainkan atas persetujuan seluruh rakyat yang mempersilahkan mereka untuk mewakili kepentingan rakyat atau warga negara baik di tingkat nasional maupun internasional.
Tulisan ini adalah hasil kolaborasi antara penulis dan rekan sesama mahasiswa sekaligus peneliti, Muhammad Abdul Syukur Wahyu Utomo.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H