Apakah untuk memperpanjang kekuasaan dan dapat meraup keuntungan yang lebih besar serta bertahan lama? Atau juga untuk memuluskan bisnis mereka saja? Jika benar motivasinya seperti itu, berarti sangat pantas untuk mereka digulingkan secara tidak hormat karena itu dapat menyengsarakan rakyat yang padahal harus mereka jamin kesejahteraan dan keamanan hidupnya. Tentu tidaklah boleh buta bahwa rakyat hakikatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam mengontrol serta menentukan arah kebijakan pemerintahan yang tidak jarang terkesan "ngawur" atau hanya menguntungkan segelintir orang saja.
Akibat dari peristiwa yang sering terjadi dalam permainan politik seperti itulah yang menjadikan hukum pemerintahan atau ketatanegaraan sering terbentur pada kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bisa bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada saat kondisi tertentu, para penegak hukum harusnya dapat bertindak tegas dalam menindak dan menghadapi penguasa.
Studi Purdey, Aspinall dan As’ad (2016) juga melengkapi pengertian dinasti politik, dan membedakannya dengan konsep political family (keluarga politik). Keluarga politik merujuk pada sebuah keluarga di mana lebih dari satu anggota keluarga memperoleh posisi politik dalam satu wilayah geografis (Daerah Otonom). Sedangkan kekuasaan keluarga politik ini merupakan suatu pengertian yang merujuk pada penyebaran anggota keluarga tersebut di berbagai tempat-tempat politik strategis baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif. Tidak hanya pada satu daerah otonom saja, akan tetapi juga daerah-daerah di sekitarnya (kabupaten/kota atau provinsi) juga ikut diduduki kekuasaannya oleh mereka. Keluarga politik dapat menjadi dinasti politik manakala mampu melebarkan kekuasaanya, sehingga ketika mengalami kekalahan kontestasi elektoral, yang bersangkutan akan diteruskan oleh pasangan (suami atau istri, atau), kerabat yang lain (intra-generational), atau oleh anak atau menantunya (inter-generational).
Fenomena pencalonan dan pengangkatan jabatan para pejabat negara yang berasal dari kerabat para tokoh politik dan pebisnis besar Indonesia tidak pernah sepi dari pembahasan populer di sosial media maupun media kabar lainnya baik nasional maupun internasional. Hal inilah yang menjadikan akademisi hingga lembaga hukum Indonesia maupun luar negeri kerap memberikan pandangan serta kritik yang terbuka untuk memvalidasi serta membantu menjawab keresahan rakyat agar tidak semakin diperkeruh dengan segala hoax yang cepat tersebar dan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Politik kekerabatan atau yang paling populer sering disebut sebagai politik dinasti belakangan ini telah menjadi permasalahan kritis yang sukses memicu perdebatan masyarakat khususnya di Indonesia sendiri sepanjang tahun 2024. Dimulai dari pencalonan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka yakni diketahui sebagai putra sulung Presiden Joko Widodo dinilai banyak memicu kontroversi dimulai dari polemik batas usia minimum yakni 40 tahun yang diloloskan oleh Mahkamah Konstitusi hingga keputusan rapat peraturan perundangan DPR-RI mengenai batas usia minimum kepala daerah yang disinyalir akan meloloskan Kaesang Pangarep sebagai calon atau kandidat kepala daerah yang akan diusung partai.
Indonesia sebagai negara yang menganut kehidupan bernegara berlandaskan demokrasi seharusnya menjadikan rakyat sebagai pihak yang paling berwenang dalam menentukan siapa calon terpilih yang pantas menjadi pemimpin mereka. Namun, jika dalam peraturan pencalonan awalnya saja sudah ada kesalahan atau cacat kriteria apalagi melibatkan dewan hukum tertinggi negara untuk meloloskan syarat ”dadakan” dan mengakibatkan berubahnya undang-undang secara cepat nan dramatis, maka kekuatan demokrasi dan kemurnian hukum sudah rusak di negara ini. Tampaknya, rakyat telah terbayang-bayang kembali dengan sejarah kelam di detik-detik lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto sebagai tanda berakhirnya pemerintahan orde baru yang dimana rakyat utamanya para mahasiswa pada Mei 1998 bergerak untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto saat itu karena syarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun lamanya yang sangat merugikan kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia saat itu.
Memang tidak ada yang salah dengan dinasti politik, undang-undang membuka ruang bagi siapa saja untuk dipilih dan memilih, dan sudah dilegalkan seperti yang dituangkan Para hakim MK dalam sidang pada tahun 2015 yang memutuskan dan melegalkan pencalonan keluarga petahana (incumbent) dalam pemilihan kepala daerah. Majelis konstitusi juga berpendapat dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang sebelumnya hal tersebut dilarang karena bertentangan dengan konstitusi, Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota juga disebutkan, “Calon kepala daerah harus tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Pasal ini lebih dikenal dengan penghapusan politik dinasti “ bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Yang menyatakan bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang yang dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan juga kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis“. Sampai saat ini, putusan MK ini terus menuai kritik serta menyebabkan pro serta kontra dikalangan para akademisi, elite politik, dan pakar hukum.
Akibat Dari Politik Dinasti ini, maka banyak pemimpin lokal maupun juga para pebisnis besar ikut menjadi politisi karena mereka merasa bahwa mereka memiliki pengaruh besar yang terikat pada sejarah, perekonomian, juga pembangunan sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan. Dalam Penegakan hukum di Indonesia, sering terbentur pada kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bisa bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada saat kondisi tertentu, para penegak hukum dapat cukup tegas menindak dan menghadapi penguasa. Namun, secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa. Menurut Zulkieflimansyah, setidaknya ada tiga dampak negatif yang sangat merugikan suatu negara dari maraknya sistem politik dinasti jika terus dibiarkan, yaitu:
Menjadikan partai sebagai wadah dan mesin politik semata yang akan menyumbat fungsi ideal partai yang seharusnya dapat menjadi perpanjangan tangan aspirasi dan kritik rakyat, akan terbelokkan menjadi haus kekuasaan semata. Dalam posisi ini, rekruitmen partai juga lebih terfokus pada mendasarkan popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pebisnis (darah hijau) atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi
sebagai konsekuensi logis dari kemunculan gejala pertama politik dinasti, maka sudah jelas akan menutup kesempatan masyarakat yang lebih berkompeten sebagai yang seharusnya merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan juga hanya berputar pada lingkungan elite dan pengusaha semata sehingga terwujudnya potensial negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan akan semakin melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme akan terus merajalela dalam kehidupan bernegara.
Seperti halnya Mahkamah Konstitusi (MK) secara mengejutkan membuat keputusan yang seolah menganulir putusan Mahkamah Agung (MA) mendapatkan penilaian negatif dari para pakar hukum Indonesia dimana ketua MK saat ini yang dipimpin oleh hakim Soehartoyo mengabulkan gugatan yang sebelumnya diajukan oleh dua mahasiswa Indonesia yakni Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee dari Podomoro University terkait kriteria calon atau kandidat yang akan berpatisipasi sebagai kepala atau perwakilan daerah.