Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dinamika Baru Pilkada: Peluang Demokrasi yang Lebih Inklusif dan Tantangan bagi Partai Besar

22 Agustus 2024   18:11 Diperbarui: 22 Agustus 2024   20:54 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) -- Putusan MK soal pencalonan kepala daerah | Kompas.com/Fitria Chusna Farisa

Pembuka

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan aturan Pilkada menjadi sorotan dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Putusan ini membuka peluang lebih besar bagi partai kecil dan kandidat independen untuk ikut bersaing dalam Pilkada, terutama di daerah-daerah strategis seperti Jakarta. Sementara itu, partai besar yang sebelumnya mendominasi jalur pencalonan dihadapkan pada tantangan baru dalam menjaga kontrol politik mereka. 

Artikel ini akan mengupas bagaimana keputusan MK memengaruhi lanskap politik Indonesia, khususnya dalam Pilkada, serta dampaknya bagi kandidat potensial seperti Anies Baswedan.

Putusan MK: Membuka Jalan bagi Demokrasi yang Lebih Dinamis

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan aturan pencalonan dalam Pilkada memberikan ruang yang lebih inklusif bagi partisipasi politik. 

Dalam aturan baru ini, MK melonggarkan ambang batas pencalonan bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPRD, yang memungkinkan mereka untuk mengusung calon tanpa harus memenuhi syarat yang lebih ketat seperti yang berlaku pada partai besar. Sebaliknya, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara sah untuk mencalonkan kandidat mereka (Katadata) (Solopos.com).

Keputusan ini memiliki dampak besar pada dinamika politik lokal, terutama dalam hal pencalonan kepala daerah. Banyak pengamat melihat langkah ini sebagai upaya untuk menciptakan kesetaraan yang lebih besar dalam proses Pilkada, di mana partai kecil yang sebelumnya kesulitan mencalonkan kandidat kini memiliki peluang lebih besar. Hal ini membuka kesempatan bagi calon-calon alternatif yang mungkin lebih mewakili kepentingan masyarakat atau menawarkan ide-ide yang lebih segar.

Tidak hanya itu, MK juga menyesuaikan persyaratan usia minimal bagi calon kepala daerah. Calon gubernur dan wakil gubernur kini harus berusia minimal 30 tahun, sementara calon bupati, wali kota, serta wakilnya harus berusia minimal 25 tahun. Penyesuaian ini diharapkan dapat memperluas partisipasi politik dari generasi muda dan menciptakan regenerasi kepemimpinan di tingkat lokal (Solopos.com).

Respons DPR terhadap Putusan MK: Cepat tapi Tidak Selalu Mendukung

Menariknya, putusan MK ini langsung disambut dengan respons cepat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Biasanya, sebelum menindaklanjuti putusan MK, DPR melakukan kajian mendalam apakah keputusan tersebut harus diterima atau direspons dengan peraturan tambahan. Namun, dalam kasus ini, ada beberapa alasan mengapa DPR bergerak lebih cepat dari biasanya.

Pertama, keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga DPR tidak memiliki banyak ruang untuk menunda atau menolak penerapan putusan tersebut. Selain itu, Pilkada yang sudah dekat dengan batas waktu pendaftaran calon gubernur pada akhir Agustus 2024 memaksa DPR untuk segera menyesuaikan aturan guna memastikan pelaksanaan Pilkada tidak terganggu (Katadata) (TV One News). Tekanan waktu ini memaksa DPR untuk mengambil langkah cepat.

Kedua, respons cepat DPR juga dipengaruhi oleh tekanan publik. Banyak elemen masyarakat yang menolak revisi undang-undang Pilkada yang dianggap bertentangan dengan keputusan MK. Demonstrasi besar-besaran dan protes dari berbagai kelompok masyarakat memberikan tekanan tambahan pada DPR untuk segera merespons keputusan tersebut. Jika DPR tidak bertindak cepat, ini bisa memicu ketidakstabilan politik dan krisis konstitusi (TV One News).


Namun, meskipun respons DPR tampak cepat, masih ada resistensi dari beberapa partai besar yang cenderung menolak putusan ini. Mereka melihat adanya potensi kerugian, terutama dalam hal pengaruh politik dan kontrol mereka di tingkat lokal.

Kerugian bagi Partai Besar: Kehilangan Dominasi dan Pengaruh Politik

Bagi partai besar, keputusan MK ini bisa menghadirkan tantangan signifikan. Ada beberapa potensi kerugian yang dihadapi partai besar jika harus tunduk pada aturan baru ini:

  1. Kehilangan Kontrol dan Dominasi Politik: Partai besar sering kali memanfaatkan ambang batas pencalonan yang tinggi untuk mempertahankan kontrol mereka dalam pemilihan kepala daerah. Dengan ambang batas yang lebih rendah, partai kecil atau independen lebih mudah mencalonkan kandidat, sehingga mengurangi dominasi partai besar. Hal ini juga dapat mengurangi kekuatan partai besar dalam menentukan calon yang mereka dukung di daerah-daerah strategis seperti Jakarta.

  2. Terganggunya Aliansi Politik: Banyak partai besar membangun koalisi untuk memenuhi syarat pencalonan. Dengan adanya perubahan ini, partai kecil mungkin tidak lagi membutuhkan aliansi dengan partai besar untuk mencalonkan kandidat. Ini mengubah dinamika politik di mana partai besar mungkin harus menyesuaikan ulang strategi koalisi mereka agar tetap relevan.

  3. Risiko Kehilangan Pemilih Tradisional: Partai besar biasanya memiliki basis pemilih yang loyal, tetapi munculnya calon independen atau dari partai kecil yang lebih segar dan populer bisa menggeser dukungan pemilih. Ini bisa melemahkan kekuatan partai besar dalam pemilihan di tingkat lokal, terutama di wilayah-wilayah yang lebih kompetitif seperti Jakarta (Solopos.com).

  4. Sumber Daya dan Investasi Politik: Partai besar menghabiskan banyak sumber daya untuk mendukung calon-calon mereka dalam Pilkada. Jika partai kecil dapat mencalonkan kandidat dengan lebih mudah, ini dapat mengurangi pengaruh partai besar meskipun mereka telah menginvestasikan banyak uang dan upaya dalam kampanye.

Kasus Jakarta: Peluang Baru bagi Anies Baswedan

Contoh yang paling menonjol dari pengaruh keputusan MK ini adalah kemungkinan besar Anies Baswedan untuk maju dalam Pilkada Jakarta. Dengan rekam jejak yang kuat selama masa jabatannya sebagai gubernur, Anies memiliki tingkat popularitas yang tinggi di Jakarta. 

Namun, di bawah aturan lama, dia mungkin kesulitan maju kembali karena tidak mendapat dukungan dari partai besar. Partai besar seperti Gerindra atau NasDem mungkin lebih memilih untuk mendukung kandidat yang lebih mudah dikendalikan atau yang sesuai dengan agenda politik mereka.

Keputusan MK ini memberikan peluang baru bagi Anies. Dengan pelonggaran syarat pencalonan, partai kecil atau koalisi partai nonparlemen dapat mengusung Anies sebagai calon. Hal ini membuka kemungkinan bagi partai seperti PDIP untuk mendukung Anies, meskipun mereka bukan pendukung tradisionalnya. Koalisi antara partai kecil dan PDIP bisa menjadi strategi yang kuat dalam memenangkan Pilkada di Jakarta.

Jika Anies berhasil maju dengan dukungan partai kecil dan PDIP, ini bisa merubah peta politik Jakarta secara drastis. Partai besar yang sebelumnya mendominasi pencalonan di ibu kota akan menghadapi tantangan serius dari seorang kandidat yang memiliki daya tarik besar di kalangan pemilih (Katadata) (Solopos.com) (TV One News).

Penutup

Keputusan MK terkait perubahan aturan Pilkada menciptakan dinamika politik yang lebih terbuka dan kompetitif. Dengan memberikan ruang lebih besar bagi partai kecil dan calon independen untuk bersaing, demokrasi Indonesia menjadi lebih inklusif dan dinamis. Partai besar kini harus menghadapi tantangan dalam mempertahankan dominasi mereka di tingkat lokal.

Kasus Jakarta menjadi contoh paling jelas dari perubahan ini, di mana Anies Baswedan, dengan rekam jejaknya yang kuat, memiliki peluang besar untuk maju kembali dalam Pilkada meskipun tanpa dukungan penuh dari partai besar. Hal ini mencerminkan bagaimana keputusan MK bisa membuka ruang bagi kandidat alternatif dan menciptakan kompetisi yang lebih sehat di panggung politik lokal.

Bagi pengamat, politisi, dan akademisi, keputusan ini adalah langkah penting menuju demokrasi yang lebih matang dan beragam. Partai besar harus belajar beradaptasi dengan realitas baru ini, sementara partai kecil dan calon independen kini memiliki kesempatan untuk memainkan peran lebih besar dalam menentukan masa depan politik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun