Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Efek Cetirizine dan Parasetamol terhadap Fungsi Kognitif

7 Agustus 2024   11:58 Diperbarui: 7 Agustus 2024   12:21 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi/dibuat dengan AI

 

Pengantar

Saya telah menderita alergi sejak tahun 1992, yaitu sekitar 32 tahun yang lalu. Sejak saat itu, saya terbiasa mengonsumsi CTM atau cetirizine untuk meredakan gejala alergi yang ringan hingga moderat. Jika gejala menjadi lebih parah, saya sering menambahkan parasetamol untuk membantu meredakan gejalanya. Ketika gejala alergi terlalu berat, saya perlu beristirahat dan tidur setidaknya selama 1 jam untuk menguranginya. Sejauh ini, saya tidak memiliki keluhan penyakit lain.

Sering muncul pertanyaan tentang apakah konsumsi CTM dan cetirizine yang telah berlangsung selama bertahun-tahun akan berdampak pada kesehatan tubuh dan organ saya. Mengingat bahwa saya telah menggunakan obat-obatan ini dalam jangka panjang untuk mengelola gejala alergi, penting untuk mempertimbangkan potensi efek samping yang mungkin timbul.

Sebagai seseorang yang menderita alergi, Saya memahami betapa pentingnya mengelola gejala agar dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan nyaman. Alergen seperti kelelahan, lapar, udara berdebu, angin dingin, dan kelembapan dapat memicu reaksi alergi yang memerlukan penggunaan obat seperti CTM (chlorpheniramine maleate) atau cetirizine.

Meskipun obat ini efektif dalam meredakan gejala alergi seperti bersin dan hidung tersumbat, mereka juga dapat menyebabkan kantuk, yang bisa menjadi tantangan, terutama saat harus berfungsi secara optimal pada siang hari.


Penggunaan CTM dan cetirizine adalah solusi yang umum bagi banyak orang yang mengalami alergi mendadak. CTM, sebagai antihistamin generasi pertama, dikenal efektif tetapi juga memiliki efek samping berupa kantuk. Ini seringkali cocok untuk penggunaan di malam hari ketika kantuk tidak menjadi masalah.

Cetirizine, antihistamin generasi kedua, meskipun lebih ringan dalam menyebabkan kantuk, tetap bisa mempengaruhi beberapa individu tergantung pada sensitivitas masing-masing. Dalam konteks pekerjaan atau aktivitas siang hari, efek sedatif ini dapat mengganggu konsentrasi dan kinerja.

Cetirizine adalah antihistamin generasi kedua yang sering digunakan untuk mengatasi gejala alergi seperti bersin dan gatal. Meskipun umumnya dianggap kurang menyebabkan kantuk dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama, beberapa penelitian menunjukkan bahwa cetirizine masih dapat menyebabkan kantuk dan gangguan kognitif pada beberapa individu.

Kantuk yang disebabkan oleh cetirizine dapat mengganggu konsentrasi dan fungsi kognitif, yang dapat berdampak signifikan terutama pada mereka yang terlibat dalam kegiatan yang memerlukan perhatian penuh seperti mengemudi atau mengoperasikan alat berat. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa dosis cetirizine 10 mg per hari tidak secara signifikan meningkatkan kantuk dibandingkan dengan plasebo dalam penelitian dengan periode run-in plasebo, yang menunjukkan bahwa efek sedatifnya mungkin minimal dalam beberapa konteks (Verster et al., 2003).

Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa cetirizine dapat menyebabkan perubahan pola EEG yang konsisten dengan kantuk pada subjek yang melaporkan rasa kantuk setelah mengonsumsi obat ini (Bender et al., 2007). Efek sedatif cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama lebih rendah, tetapi tetap ada bila dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya seperti fexofenadine dan loratadine (Simons, 2004).

Di sisi lain, parasetamol (acetaminophen) digunakan secara luas sebagai analgesik dan antipiretik, tidak secara langsung mempengaruhi fungsi kognitif. Parasetamol bekerja dengan memodulasi tingkat neurotransmitter di otak, terutama di area yang terkait dengan pemrosesan rasa sakit, tanpa memiliki dampak signifikan pada domain kognitif seperti memori atau perhatian (Gonzalez, 2014).

Menggabungkan cetirizine dengan parasetamol umumnya tidak menyebabkan gangguan kognitif yang signifikan pada sebagian besar orang, karena parasetamol tidak memperburuk efek sedatif cetirizine. Namun, respons terhadap obat dapat bervariasi di antara individu. Beberapa orang mungkin mengalami kantuk yang lebih jelas atau efek kognitif lainnya, sebagaimana dibuktikan dalam studi tentang sedasi antihistamin yang menunjukkan variasi individual yang besar dalam pengalaman kantuk (Taglialatela et al., 2000).

Faktor-faktor seperti dosis, durasi penggunaan, dan sensitivitas individu dapat memengaruhi dampak cetirizine pada fungsi kognitif. Penggunaan antihistamin jangka panjang, termasuk cetirizine, telah dikaitkan dengan perubahan dalam kinerja kognitif dan psikomotorik, terutama dalam tugas-tugas yang membutuhkan perhatian berkelanjutan dan fungsi eksekutif (Kay & Harris, 1999).

Oleh karena itu, disarankan untuk memantau reaksi individu terhadap obat ini dan berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk mendapatkan saran yang dipersonalisasi, terutama jika Anda terlibat dalam aktivitas yang memerlukan fungsi kognitif penuh. Profesional kesehatan dapat memberikan panduan tentang dosis yang tepat dan alternatif potensial jika gangguan kognitif yang signifikan diamati.

Kesimpulannya, sementara cetirizine dapat menyebabkan kantuk dan mempengaruhi konsentrasi pada beberapa individu, parasetamol tidak mengganggu fungsi kognitif. Pemantauan individu dan konsultasi dengan penyedia layanan kesehatan dapat membantu mengelola efek kognitif potensial saat menggunakan obat ini secara bersamaan.

Apakah Penggunaan Jangka Panjang Cetirizine Berpengaruh Terhadap Kesehatan Otak?

Penggunaan jangka panjang cetirizine dan pengaruhnya terhadap kesehatan otak merupakan topik yang mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan dan praktisi medis. Sebagai antihistamin generasi kedua, cetirizine lebih disukai daripada antihistamin generasi pertama karena efek sedatifnya yang lebih minimal. Namun, kekhawatiran tentang dampak jangka panjangnya tetap ada, terutama terkait dengan fungsi kognitif dan kesehatan otak secara keseluruhan.

Beberapa studi telah meneliti efek penggunaan jangka panjang antihistamin terhadap fungsi kognitif. Sebuah penelitian oleh Bender et al. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan cetirizine dapat menyebabkan kantuk dan perubahan dalam pola elektroensefalografi (EEG) pada beberapa individu. Meskipun perubahan ini tidak selalu berarti ada kerusakan permanen pada otak, ini menunjukkan bahwa obat tersebut dapat memengaruhi fungsi otak sementara waktu.

Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan antihistamin jangka panjang dapat memengaruhi kinerja kognitif dan psikomotorik, terutama dalam tugas-tugas yang membutuhkan perhatian berkelanjutan dan fungsi eksekutif (Kay & Harris, 1999). Namun, efek ini lebih umum terkait dengan antihistamin generasi pertama, yang dikenal lebih sedatif dan memiliki penetrasi lebih tinggi ke sistem saraf pusat dibandingkan dengan cetirizine. Dalam konteks cetirizine, efek sedatif dan kognitifnya umumnya dianggap lebih ringan.

Dalam populasi lansia, penggunaan antihistamin telah dihubungkan dengan peningkatan risiko penurunan kognitif dan demensia. Antihistamin dapat memiliki efek antikolinergik yang berpotensi memperburuk fungsi kognitif pada individu yang rentan. Namun, cetirizine memiliki aktivitas antikolinergik yang rendah, sehingga risiko ini lebih terkait dengan antihistamin lain yang lebih kuat aktivitas antikolinergiknya.

Penting bagi individu yang menggunakan cetirizine secara rutin untuk memantau diri mereka sendiri terhadap tanda-tanda gangguan kognitif atau perubahan dalam fungsi mental. Diskusi dengan dokter atau profesional kesehatan adalah langkah penting jika ada kekhawatiran mengenai efek jangka panjang cetirizine. Bagi mereka yang mengalami gangguan kognitif yang signifikan, dokter mungkin akan merekomendasikan penyesuaian dosis atau mengganti dengan antihistamin lain yang memiliki risiko lebih rendah terhadap fungsi otak. Selain itu, penilaian rutin terhadap kebutuhan penggunaan obat juga dapat membantu meminimalkan potensi risiko jangka panjang.

Secara keseluruhan, meskipun cetirizine dapat memiliki beberapa efek pada fungsi otak, terutama jika digunakan dalam jangka panjang, risiko tersebut umumnya lebih rendah dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama. Pengawasan medis dan penggunaan obat yang bijaksana adalah kunci dalam mengelola potensi risiko dan memaksimalkan manfaat cetirizine dalam mengelola gejala alergi.

Cara Mengatasi Kantuk Akibat Penggunaan Cetirizine

Kantuk yang disebabkan oleh penggunaan cetirizine, antihistamin generasi kedua, dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bagi beberapa individu. Meskipun cetirizine umumnya dianggap lebih aman dan kurang menyebabkan kantuk dibandingkan antihistamin generasi pertama, efek sedatif masih dapat terjadi. Berikut beberapa strategi yang dapat membantu mengatasi kantuk akibat cetirizine:

Mengatur Waktu Pemberian Obat: Jika Anda mengalami kantuk setelah mengonsumsi cetirizine, cobalah untuk mengonsumsi obat ini pada malam hari sebelum tidur. Hal ini dapat membantu meminimalkan dampak kantuk di siang hari, memungkinkan Anda untuk mendapatkan manfaat anti-alergi saat tidur dan mengurangi kantuk saat beraktivitas di siang hari (Simons, 2004).

Menyesuaikan Dosis: Konsultasikan dengan dokter atau profesional kesehatan untuk menyesuaikan dosis cetirizine. Terkadang, dosis yang lebih rendah dapat efektif dalam mengontrol gejala alergi tanpa menyebabkan kantuk yang signifikan. Pastikan untuk tidak mengubah dosis tanpa saran dari dokter.

Menggunakan Alternatif Antihistamin: Jika kantuk menjadi masalah utama, pertimbangkan untuk beralih ke antihistamin generasi kedua lainnya yang memiliki profil sedasi yang lebih rendah, seperti fexofenadine atau loratadine. Studi menunjukkan bahwa antihistamin ini cenderung kurang menyebabkan kantuk dibandingkan cetirizine (Kay & Harris, 1999).

Mengonsumsi Kafein Secara Moderat: Mengonsumsi kafein dalam jumlah moderat, seperti kopi atau teh, dapat membantu mengatasi kantuk. Namun, hindari konsumsi kafein berlebihan karena dapat menyebabkan efek samping seperti gelisah atau gangguan tidur.

Memastikan Tidur Cukup: Pastikan Anda mendapatkan tidur yang cukup setiap malam. Kurang tidur dapat memperburuk kantuk yang disebabkan oleh cetirizine, jadi usahakan untuk tidur selama 7-9 jam per malam.

Mengonsumsi Suplemen Peningkat Energi: Beberapa suplemen, seperti vitamin B kompleks atau ginseng, dapat membantu meningkatkan energi dan mengurangi rasa kantuk. Namun, sebaiknya konsultasikan dengan dokter sebelum mengonsumsi suplemen ini.

Memantau dan Mencatat Efek Samping: Buat catatan tentang waktu dan tingkat kantuk yang Anda alami setelah mengonsumsi cetirizine. Informasi ini dapat membantu dokter menentukan solusi terbaik dan menyesuaikan pengobatan sesuai kebutuhan Anda.

Konsultasi dengan Profesional Kesehatan: Jika kantuk tetap menjadi masalah, konsultasikan dengan dokter atau apoteker Anda. Mereka dapat menawarkan solusi alternatif dan menilai apakah ada faktor lain yang mungkin berkontribusi terhadap kantuk yang Anda alami.

Alternatif Antihistamin yang Tidak Menyebabkan Kantuk

Bagi mereka yang mengalami kantuk sebagai efek samping dari penggunaan cetirizine, ada beberapa alternatif antihistamin generasi kedua dan ketiga yang dikenal memiliki efek sedatif yang lebih rendah. Dua antihistamin populer dalam kategori ini adalah fexofenadine dan loratadine. Kedua obat ini dirancang untuk mengatasi gejala alergi tanpa menimbulkan kantuk yang sering dialami dengan antihistamin generasi pertama seperti diphenhydramine atau chlorpheniramine.

Fexofenadine adalah antihistamin non-sedatif yang bekerja dengan memblokir reseptor H1 yang bertanggung jawab atas gejala alergi. Penelitian menunjukkan bahwa fexofenadine tidak menembus sawar darah-otak dengan baik, sehingga kecil kemungkinannya menyebabkan efek sedatif (Simons, 2004). Hal ini membuatnya menjadi pilihan yang baik bagi mereka yang memerlukan antihistamin yang tidak mengganggu fungsi kognitif sehari-hari, seperti bekerja atau mengemudi.

Loratadine juga merupakan antihistamin yang memiliki profil non-sedatif. Seperti fexofenadine, loratadine memiliki kemampuan terbatas untuk melewati sawar darah-otak, sehingga efek kantuknya minimal dibandingkan dengan cetirizine. Sebuah studi oleh Church dan Gradman (1999) menunjukkan bahwa loratadine memiliki efek sedatif yang rendah, menjadikannya pilihan yang sering direkomendasikan untuk penderita alergi yang membutuhkan antihistamin tanpa efek samping yang mengantuk (Church & Gradman, 1999).

Selain itu, desloratadine, metabolit aktif loratadine, juga dianggap sebagai antihistamin non-sedatif dengan efektivitas yang sebanding dan profil keamanan yang baik. Desloratadine menawarkan perbaikan dalam gejala alergi tanpa menyebabkan kantuk yang signifikan, seperti yang dilaporkan dalam tinjauan literatur oleh Frossard dan Stearns (2001) (Frossard & Stearns, 2001).

Secara keseluruhan, fexofenadine, loratadine, dan desloratadine adalah alternatif yang efektif dan kurang sedatif dibandingkan cetirizine bagi individu yang memerlukan pengobatan alergi tetapi ingin menghindari gangguan kognitif atau kantuk. Namun, seperti biasa, konsultasi dengan profesional kesehatan sangat disarankan untuk menentukan antihistamin yang paling sesuai berdasarkan kebutuhan individu dan riwayat medis.

Daftar Pustaka:

Bender, B. G., Berning, S., Dudden, R., Milgrom, H., & Tran, Z. V. (2007). Sedation and performance impairment of diphenhydramine and second-generation antihistamines: A meta-analysis. The Journal of Allergy and Clinical Immunology, 119(3), 742-752. Link.

Church, M. K., & Gradman, J. (1999). Safety and efficacy of desloratadine. Clinical and Experimental Allergy: Journal of the British Society for Allergy and Clinical Immunology, 29(1), 75-80. Link.

Frossard, P. M., & Stearns, T. H. (2001). A review of desloratadine for the treatment of allergic rhinitis, chronic idiopathic urticaria, and asthma. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 109(3), 549-557. Link.

Gonzalez, S. (2014). Acetaminophen: A review of the pharmacological properties and clinical efficacy in pain and temperature control. The Journal of Clinical Pharmacology, 54(8), 867-875. Link.

Kay, G. G., & Harris, A. G. (1999). Loratadine: a nonsedating antihistamine. Clinical Therapeutics, 21(5), 867-876. Link.

Simons, F. E. R. (2004). Advances in H1-antihistamines. New England Journal of Medicine, 351(21), 2203-2217. Link.

Taglialatela, M., Timmerman, H., & Annunziato, L. (2000). Cardiotoxic potential and CNS effects of first- and second-generation antihistamines: a review. Pharmacology & Therapeutics, 85(2), 213-228. Link.

Verster, J. C., & Volkerts, E. R. (2003). Antihistamines and driving ability: evidence from on-the-road driving studies during normal traffic. Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 91(3), 250-257. Link.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun