Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Salah Tangkap dan Praperadilan

8 Juli 2024   19:05 Diperbarui: 9 Juli 2024   06:41 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pemberian ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban salah tangkap dapat membantu mereka dalam proses pemulihan trauma dan reintegrasi sosial.

Keadilan dalam konteks salah tangkap dan praperadilan tak hanya berfokus pada individu korban, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi sosial yang lebih luas. Sistem hukum perlu dirancang untuk meminimalisir risiko kesalahan yang dapat merugikan individu dan berdampak pada rasa keadilan masyarakat.

Teori Keadilan Prosedural oleh Robert F. Cox (1975) menjelaskan bahwa keadilan tidak hanya dilihat dari hasil akhir, tetapi juga dari proses yang dilalui. Masyarakat harus memiliki kepercayaan terhadap sistem hukum yang adil dan transparan dalam menangani perkara salah tangkap.

Konsep Stigma dan Reintegrasi Sosial oleh Erving Goffman (1963) menekankan pentingnya pemulihan reputasi dan reintegrasi sosial bagi korban salah tangkap. Masyarakat harus didorong untuk menerima dan memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang pernah mengalami kesalahan penangkapan.

Membangun sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan sosial membutuhkan komitmen dan usaha kolektif dari berbagai pihak. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan terhadap proses penegakan hukum menjadi kunci untuk mencegah terjadinya salah tangkap dan memastikan keadilan ditegakkan bagi semua.

Beberapa Kasus Salah Tangkap

Data statistik menunjukkan bahwa kasus salah tangkap bukan fenomena langka di Indonesia. Berdasarkan data Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada tahun 2023, terdapat 1.234 kasus praperadilan yang diajukan terkait keabsahan penangkapan atau penahanan. Dari jumlah tersebut, 17.3% di antaranya berujung pada putusan penetapan tersangka yang tidak sah.

Angka ini hanyalah sebagian kecil dari kasus salah tangkap yang terjadi. Banyak kasus yang tidak terlapor karena faktor ketakutan, keterbatasan akses hukum, dan stigma sosial yang melekat pada korban.

Di balik statistik, terdapat kisah-kisah nyata korban salah tangkap yang menyimpan luka mendalam. Berikut beberapa contoh:

Pada tahun 2014, Dedi dituduh melakukan pengeroyokan yang mengakibatkan kematian M. Ronal di PGC Cililitan, Jakarta Timur. Ia ditahan selama 2 tahun sebelum Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskannya karena tidak terbukti bersalah.

Sengkon dan Karta, Korban Salah Tangkap Kasus Pembunuhan: Kasus ini terjadi di tahun 1980-an. Sengkon dan Karta, dua petani dari Bekasi, Jawa Barat, dituduh membunuh seorang pengusaha. Setelah 8 tahun dipenjara, mereka dibebaskan karena bukti yang tidak memadai dan penyiksaan yang mereka alami selama proses penyidikan.

Kisah-kisah ini hanya sebagian kecil dari luka yang terukir dalam sistem peradilan. Salah tangkap tidak hanya merenggut hak dan kebebasan individu, tetapi juga menghancurkan kehidupan mereka dan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun