Pengajuan amicus curiae di bidang energi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak era 1950-an. Penggunaan amicus curiae di Indonesia pertama kali dicatat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 15/P/1954 dalam perkara "PT. Standard Oil Company of New Jersey vs. Pemerintah Republik Indonesia". Dalam perkara ini, beberapa organisasi profesional dan akademisi mengajukan amicus curiae untuk memberikan informasi kepada Mahkamah Agung tentang hukum minyak dan gas di negara lain.
Sayangnya, data statistik yang komprehensif tentang jumlah pengajuan amicus curiae di bidang energi di Indonesia belum tersedia. Sehingga sulit untuk mengukur secara konkret dampak dari setiap pengajuan amicus curiae. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa amicus curiae dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil perkara.
Sejak tahun tersebut, amicus curiae semakin sering digunakan dalam perkara-perkara terkait energi di Indonesia. Penggunaan amicus curiae semakin marak di era reformasi, dengan semakin banyak organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam isu-isu energi.
Pada tahun 2022, Koperasi Hukum Berkelanjutan (KLHK) dan sejumlah petani di Riau mengajukan gugatan terhadap PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) terkait pencemaran lingkungan akibat operasi pertambangan minyak dan gas. KLHK dan para petani mengajukan amicus curiae dalam kasus ini. Amicus curiae dari organisasi lingkungan dan akademisi mendukung KLHK dan para petani, dengan argumentasi bahwa CPI harus bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan dan memberikan kompensasi kepada para korban.
Kajian Saintifik dan Data
Studi ilmiah: Berbagai studi ilmiah menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan akibat operasi pertambangan minyak dan gas dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti kanker, penyakit pernapasan, dan gangguan reproduksi.
Data kesehatan masyarakat: Data menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar operasi CPI di Riau mengalami tingkat penyakit yang lebih tinggi daripada rata-rata nasional.
Laporan lingkungan: Laporan lingkungan menunjukkan bahwa operasi CPI telah mencemari tanah dan air di sekitar operasi mereka.
Kontribusi
Amicus curiae dari organisasi lingkungan, seperti Greenpeace Indonesia dan WALHI, mendukung KLHK dan para petani, dengan argumentasi bahwa CPI harus bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan dan memberikan kompensasi kepada para korban.
Amicus curiae dari akademisi, seperti pakar hukum lingkungan dan pakar kesehatan masyarakat, mendukung KLHK dan para petani, dengan argumentasi bahwa pencemaran lingkungan akibat operasi CPI telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan.
Dampak
Intervensi amicus curiae membantu Mahkamah Agung Indonesia dalam memahami dampak pencemaran lingkungan akibat operasi CPI terhadap masyarakat dan lingkungan.
Amicus curiae dari organisasi lingkungan dan akademisi membantu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menegakkan hukum lingkungan dan melindungi hak-hak masyarakat.