Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu: Pelanggaran Etika Berjenjang

20 Februari 2024   20:22 Diperbarui: 20 Februari 2024   23:27 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screen Shoot dari Channel Youtube Mtero TV

Pengantar

Pemilu 2024 di Indonesia telah berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024, dengan diikuti oleh tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Pemilu ini merupakan pemilu serentak, yang juga memilih anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah. Pemilu ini diharapkan dapat menjadi pemilu yang demokratis, transparan, dan akuntabel, sesuai dengan standar internasional dan nasional yang telah ditetapkan.

Namun, pemilu ini juga menimbulkan berbagai kontroversi dan konflik, terutama terkait dengan dugaan pelanggaran etika pemilu yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, hingga masyarakat. 

Pelanggaran etika pemilu adalah tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan aturan yang harus dipatuhi oleh penyelenggara pemilu, baik yang berasal dari lembaga internasional maupun lembaga nasional. Pelanggaran etika pemilu dapat mengancam kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu, serta mengganggu pemilu yang adil dan bermartabat.

Pelanggaran berjenjang

Pelanggaran etika pemilu di Indonesia 2024 dapat diduga berjenjang, yaitu pelanggaran yang terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga kelurahan/desa. Pelanggaran etika pemilu berjenjang ini dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti:

Aspek persiapan pemilu, yaitu aspek yang berkaitan dengan tahapan-tahapan sebelum pemilu dilaksanakan, seperti penetapan daerah pemilihan, penetapan calon, penetapan daftar pemilih tetap, dan penyusunan logistik pemilu. Pelanggaran etika pemilu dalam aspek ini antara lain adalah:

Pemerintah diduga berpihak kepada salah satu paslon, yaitu Paslon 02, dengan melakukan kebijakan-kebijakan yang bersifat massif sebelum pencoblosan. Kegiatan tersebut seperti pertemuan massal dengan kepala desa, pengumuman kenaikan gaji, pertemuan menteri BUMN dengan seluruh anak dan cucu perusahaannya, dan narasi pemilu satu putaran yang diterjemahkan melalui perintah lisan kepada ASN.

Pro dan Kontra Keputusan MK dan Ketua KPU

Dari berbagai sumber-sumber dirsebutkan bahwa DKPP memutuskan Ketua KPU dan enam komisioner KPU lainnya telah melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres dalam aturan yang ada. 

Sanksi yang diberikan kepada Hasyim Asy'ari adalah peringatan keras terakhir, sedangkan sanksi yang diberikan kepada komisioner KPU lainnya adalah peringatan keras. Putusan DKPP ini tidak akan berdampak kepada pencalonan Gibran, tetapi akan berdampak kepada penilaian publik tentang permasalahan proses pencalonan Gibran yang diawali dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman telah dicopot dari jabatannya oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena terbukti melanggar kode etik berat. 

Anwar Usman dianggap turun tangan dalam putusan MK yang mengubah syarat usia minimum capres-cawapres yang minimal 40 tahun dengan menambahkan persyaratan tambahan asal sudah peran terpilih menjadi kepala daerah melalui pemilu maka boleh walaupun umurnya kurang dari 40 tahun. Keputusan ini memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman dan putra Presiden Joko Widodo, menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Putusan MKMK ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Beberapa pihak mengapresiasi putusan MKMK sebagai bentuk penegakan etik dan hukum, serta sebagai upaya untuk menjaga kredibilitas dan independensi MK. Namun, beberapa pihak lain menilai putusan MKMK sebagai bentuk intervensi politik dan rekayasa hukum, serta sebagai upaya untuk menggagalkan pencalonan Gibran yang dianggap sebagai ancaman bagi lawan-lawannya.

Gibran Dapat Karpet Merah

Pembahasan tentang sanksi yang diterima oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) memunculkan pertanyaan yang menarik terkait dengan keabsahan dan akuntabilitas proses politik dalam konteks ilmiah. Pada dasarnya, dalam pemikiran ilmiah, proses yang cacat cenderung menghasilkan produk yang juga cacat dan sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, ketika kita melihat kasus Gibran, anak dari Presiden Jokowi yang maju sebagai Cawapres Prabowo, tampaknya ada ketidaksesuaian yang mencolok.

Gibran tetap melanjutkan perjalanannya dalam arena politik meskipun sejumlah pemimpin lembaga terkait telah dikenai sanksi etika yang berat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas proses politik dan keadilan dalam sistem demokrasi. Bagaimana mungkin seorang kandidat dapat terus berpartisipasi dalam proses politik ketika proses-proses yang menopangnya telah terbukti cacat atau tidak etis?

Faktor-faktor apa yang menyebabkan fenomena seperti ini terjadi? Apakah ada kelemahan dalam sistem penegakan hukum atau kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik? Apakah adanya pengaruh politik atau kepentingan tertentu yang mengabaikan prinsip-prinsip etika dan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah untuk menggali lebih dalam dan memahami dinamika politik serta kekuatan-kekuatan yang berperan di baliknya.

Selain itu, kasus Gibran juga menyoroti perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya integritas dan prinsip-prinsip etika dalam politik, baik dari calon pemimpin maupun dari masyarakat sebagai pengawasnya. Ini menegaskan bahwa demokrasi yang sehat dan berkelanjutan memerlukan partisipasi aktif dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, sementara kasus seperti Gibran dapat menimbulkan kekhawatiran tentang keadilan dan integritas dalam proses politik, hal itu juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat sistem demokrasi dengan memperbaiki aturan, penegakan hukum yang konsisten, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dan keadilan dalam tata kelola politik.

Beberapa Contoh Pelanggaran Etika yang Terjadi

Intimidasi dan ancaman terhadap anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang bertugas menghitung dan melaporkan hasil suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Anggota KPPS mendapatkan ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bahkan ada aksi kriminal dengan membakar kendaraan anggota KPPS. Hal ini mengancam keselamatan dan kesejahteraan anggota KPPS, serta mengganggu proses pemilu secara adil. Selain itu, sejumlah anggota KPPS juga mengalami kematian atau sakit selama proses pemilu, yang diduga akibat kelelahan, stres, atau penyakit. Hal ini merupakan serangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.

Pencoblosan sendiri oleh anggota KPPS, yang merupakan bentuk kecurangan dalam pemilu. Pencoblosan sendiri adalah tindakan mencoblos surat suara tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemilih. Pencoblosan sendiri dapat dilakukan oleh anggota KPPS sendiri atau orang lain yang bekerja sama dengan mereka. Pencoblosan sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mencoblos surat suara sebelum pemungutan suara dimulai, mencoblos surat suara lebih dari sekali, atau mencoblos surat suara untuk orang lain. Pencoblosan sendiri dapat mengubah hasil pemilu dan merugikan hak pemilih.

Serangan fajar, yang merupakan bentuk politik uang dalam pemilu. Serangan fajar adalah tindakan memberikan uang atau imbalan lainnya kepada pemilih agar memilih calon tertentu. Serangan fajar biasanya dilakukan menjelang hari pemungutan suara, di pagi atau subuh hari. Serangan fajar dapat dilakukan oleh calon sendiri atau tim suksesnya. Serangan fajar dapat mempengaruhi pilihan pemilih dan merusak prinsip demokrasi yang bebas dan adil.

Aksi tidak terpuji oleh calon legislatif (caleg), yang merupakan bentuk pelanggaran etik dalam pemilu. Aksi tidak terpuji adalah tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti melampiaskan kemarahan, menuntut kembali imbalan, atau melakukan hal-hal yang merendahkan martabat diri sendiri atau orang lain. Aksi tidak terpuji dapat dilakukan oleh caleg yang tidak puas dengan hasil pemilu, atau yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Aksi tidak terpuji dapat menciptakan ketegangan dan konflik dalam proses pemilu.

Penyelesaian sengketa pemilu

Penyelesaian sengketa pemilu dilakukan oleh lembaga yang berwenang, seperti Bawaslu, DKPP, MK, atau pengadilan. Penyelesaian sengketa pemilu ini dapat berupa pemeriksaan, penilaian, dan putusan terhadap tuntutan dan gugatan yang diajukan oleh paslon, serta penentuan sanksi atau tindakan yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar etika pemilu.

Pelanggaran etika pemilu berjenjang di Indonesia 2024 ini dapat berujung pada tiga skenario yang mungkin terjadi, yaitu:

Skenario 1: Pemilu 2024 tidak dilakukan ulang, karena hasil pemilu dianggap sah dan tidak ada bukti kecurangan yang signifikan. Ini mungkin terjadi jika perbedaan suara antara paslon sangat besar, atau jika tidak ada gugatan atau protes yang diajukan oleh paslon yang kalah, atau jika gugatan atau protes yang diajukan oleh paslon yang kalah ditolak oleh lembaga penyelesaian sengketa pemilu.

Skenario 2: Pemilu 2024 dilakukan ulang sebagian, yaitu hanya di daerah-daerah tertentu yang terdapat indikasi kecurangan atau pelanggaran etika pemilu. Ini mungkin terjadi jika perbedaan suara antara paslon sangat kecil, atau jika ada gugatan atau protes yang diajukan oleh paslon yang kalah, dan lembaga penyelesaian sengketa pemilu memutuskan bahwa ada kecurangan atau pelanggaran etika pemilu yang mempengaruhi hasil pemilu di daerah-daerah tertentu.

Skenario 3: Pemilu 2024 dilakukan ulang secara keseluruhan, yaitu di seluruh wilayah Indonesia. Ini mungkin terjadi jika perbedaan suara antara paslon sangat kecil, atau jika ada gugatan atau protes yang diajukan oleh paslon yang kalah, dan lembaga penyelesaian sengketa pemilu memutuskan bahwa ada kecurangan atau pelanggaran etika pemilu yang sistematis, masif, dan terorganisir, yang mempengaruhi hasil pemilu secara keseluruhan.

Dampak Pelanggaran

Skenario-skenario ini memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap stabilitas politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia, serta terhadap hubungan Indonesia dengan negara-negara lain. Beberapa dampak yang dapat diprediksi antara lain adalah:

Pelanggaran etika pemilu tahun2024 ini memiliki implikasi yang besar dan serius terhadap hasil pemilu, terutama jika pelanggaran tersebut bersifat sistematis, masif, dan terorganisir. Pelanggaran etika pemilu juga dapat mempengaruhi hasil pemilu, baik positif maupun negatif.

Dampak positif pemilu ulang atau tidak dilakukan ulang sebagian dapat menunjukkan bahwa proses pemilu di Indonesia berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan yang berlaku, serta bahwa lembaga penyelesaian sengketa pemilu bekerja dengan independen, profesional, dan netral. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan dan keterlibatan masyarakat terhadap pemilu, serta menghormati hak konstitusional rakyat Indonesia. Hal ini juga dapat meningkatkan citra dan reputasi Indonesia di mata dunia, sebagai negara demokratis yang mampu menyelenggarakan pemilu yang adil dan bermartabat.

Dampak negatif pemilu yang dilakukan ulang sebagian atau keseluruhan dapat menunjukkan bahwa proses pemilu di Indonesia bermasalah dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, serta bahwa lembaga penyelesaian sengketa pemilu tidak bekerja dengan independen, profesional, dan netral. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan dan keterlibatan masyarakat terhadap pemilu, serta mengabaikan hak konstitusional rakyat Indonesia. Hal ini juga dapat menurunkan citra dan reputasi Indonesia di mata dunia, sebagai negara demokratis yang tidak mampu menyelenggarakan pemilu yang adil dan bermartabat.

Berbagai Kasus Pelanggaran Etika dalam Pemilihan Umum di Luar Negeri

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan fondasi demokrasi yang penting, namun, di beberapa negara, kasus pelanggaran etika dalam konteks pemilu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pernah terjadi di berbagai negara di dunia. Berikut ini adalah beberapa kasus dimaksud:

Malawi (2019): Kasus pelanggaran etika pemilu muncul di Malawi pada tahun 2019, ketika seorang komisioner pemilu bernama Linda Kunje diduga menerima suap dari partai penguasa untuk mempengaruhi hasil pemilu presiden. Akibat tekanan dari masyarakat dan organisasi sipil, Kunje akhirnya mengundurkan diri.

Brasil (2018): Pada tahun 2018, Brasil mengalami kasus pelanggaran etika pemilu ketika seorang hakim pemilu bernama Luiz Fux diduga berpihak kepada calon presiden Jair Bolsonaro dan menghalangi penyelidikan terhadap dugaan kampanye ilegalnya. Fux akhirnya diberhentikan secara paksa oleh Mahkamah Agung Brasil setelah protes dari partai oposisi dan kelompok hak asasi manusia.

Filipina (2016): Kasus pelanggaran etika pemilu juga terjadi di Filipina pada tahun 2016, di mana seorang komisioner pemilu bernama Andres Bautista diduga menerima uang dari seorang pengusaha untuk memanipulasi hasil pemilu presiden. Bautista mengundurkan diri setelah desakan dari Kongres dan Presiden Rodrigo Duterte.

Prancis (2017): Pada tahun 2017, Prancis menghadapi kasus pelanggaran etika pemilu ketika seorang anggota dewan pemilu bernama Jean-Louis Debr diduga membocorkan informasi rahasia tentang hasil pemilu presiden kepada media. Debr akhirnya mengundurkan diri setelah mendapat kritik publik yang luas dan tekanan dari kandidat presiden.

Australia (2019): Di wilayah Oseania, Australia juga menghadapi tantangan serupa pada tahun 2019. Seorang anggota komisi pemilu bernama Tom Rogers diduga melanggar aturan kampanye dengan mengirim pesan teks yang mengandung informasi palsu tentang pemilu kepada pemilih. Rogers diberhentikan secara paksa oleh Perdana Menteri Scott Morrison setelah laporan dari partai oposisi dan lembaga pemantau pemilu.

Penutup

Pelanggaran etika pemilu 2024 ini merupakan ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia, karena dapat merusak legitimasi dan kredibilitas hasil pemilu, serta menimbulkan ketidakpuasan dan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama dari semua pihak, baik penyelenggara, peserta, pengawas, maupun pemilih pemilu, untuk mencegah dan menindak pelanggaran etika pemilu, serta untuk mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, dalam menghadapi ancaman serius ini. Selain itu, perlu juga ada edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya etika pemilu, serta partisipasi dan pengawasan aktif dari masyarakat terhadap proses pemilu.

Pelanggaran etika pemilu yang berjenjang di Indonesia pada tahun 2024 ini tidak hanya menimbulkan dampak secara langsung terhadap proses demokratis, tetapi juga berpotensi memicu serangkaian tuntutan dan gugatan dari pasangan calon yang merasa dirugikan oleh ketidakadilan tersebut. Tuntutan dan gugatan ini mencakup beragam aspek, mulai dari tingkat administrasi, hukum, hingga politik. 

Paslon yang merasa dirugikan dapat mengajukan permintaan untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proses pemilihan, penghitungan ulang suara, atau bahkan meminta pemungutan suara ulang baik secara sebagian maupun keseluruhan. Selain itu, mereka juga dapat menuntut tindakan disiplin terhadap penyelenggara pemilu yang terlibat dalam pelanggaran etika, bahkan hingga pemecatan atau penggantian mereka.

Melalui pemahaman yang mendalam tentang berbagai kasus pelanggaran etika pemilu di luar negeri, Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dalam upaya memastikan integritas dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan mempertimbangkan pengalaman negara lain, langkah-langkah preventif dan penegakan hukum yang efektif dapat diterapkan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Dengan demikian, Indonesia dapat menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang kuat dan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam setiap tahapan proses pemilihan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun