Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cawe-cawe Mr. Presiden: Skandal atau Strategi? (Bagian 2)

5 Februari 2024   10:45 Diperbarui: 5 Februari 2024   10:49 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, di sisi lain, gelombang positif tersebut tidak berdiri sendiri. Terhembus juga angin yang menusuk, membawa ancaman dan hujatan kepada Budi dan kawan-kawan yang berani mengeluarkan suara kritis. Masyarakat yang terikat dengan dukungan terhadap Mr. Wanomo, Gigi, dan Mr. Purli merasa tersentuh secara emosional oleh pernyataan sikap tersebut. Mereka merasa seperti diserang secara langsung dalam keyakinan politik mereka. Dalam pandangan mereka, para kritikus adalah musuh, pihak yang menghasut kebencian, bersembunyi di balik tirai kebohongan, dan mencoba menghancurkan fondasi politik yang telah dibangun dengan susah payah.

Perdebatan pun menghangat, melebihi batas-batas wajar dan mengarah ke arah yang tidak produktif. Pergolakan di ranah sosial media memperlihatkan betapa polarisasi politik mampu memecah belah masyarakat. Tautan-tautan emosi terus bergelombang, menciptakan jurang yang semakin dalam antara pendukung dan penentang, tanpa melihat lagi substansi dari pernyataan sikap yang telah diungkapkan.

Namun, di balik sorotan terang dan gelap yang menjadi bagian dari setiap pernyataan sikap kontroversial, terbuka ruang bagi refleksi yang lebih dalam. Dampaknya tidak hanya terasa di permukaan, melainkan menggali ruang-ruang tersembunyi di dalam diri masing-masing individu dalam masyarakat. Dari sini, muncullah pertanyaan-pertanyaan yang mengundang introspeksi: apakah kita masih mampu mendengar suara kritis tanpa terjebak dalam kemarahan? Apakah kita dapat menghargai perbedaan pendapat tanpa harus merasa terancam? Dan pada akhirnya, apakah kita masih mampu membangun dialog yang konstruktif di tengah ketegangan politik yang mengemuka?

*****

Hamdi menatap mata Prof. Dr. Budi, mencermati setiap kata yang diucapkan dengan seksama. Di ruangan yang sepi, hanya terdengar desiran angin yang lembut menyapu ruang kantor Budi. Udara terasa tegang, seolah beratnya beban moral menyelimuti percakapan mereka. Tapi Hamdi tak gentar, dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi momen ini, momen di mana kebenaran harus terkuak dari balik tirai-tirai kegelapan yang telah mengaburkan pandangan masyarakat.

"Hubungannya adalah bahwa data dan video tersebut adalah salah satu bukti yang kami gunakan untuk menguatkan pernyataan sikap kami," jawab Prof. Dr. Budi dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, seakan menyiratkan bahwa kebenaran adalah senjata yang paling ampuh dalam pertempuran pikiran.

Hamdi mengangguk pelan, menyerap setiap kata dengan penuh perhatian. "Dari mana Anda mendapatkan data dan video tersebut?" tanyanya, mencoba mengetahui asal-usul bukti yang begitu vital itu.

"Kami mendapatkan data dan video tersebut dari sumber yang terpercaya, yaitu dari seorang mantan staf khusus Mr. Wanomo yang tidak mau disebutkan namanya," jawab Prof. Dr. Budi, menyampaikan informasi yang membuat suasana semakin mencekam. "Dia mengirimkan data dan video tersebut kepada kami melalui email. Kami memverifikasi kebenaran data dan video tersebut dengan cara mengecek CCTV dan handphone Mr. Wanomo. Kami juga membandingkan data dan video tersebut dengan berita-berita yang ada di media online. Kami menemukan bahwa data dan video tersebut adalah asli dan bukan hasil rekayasa."

Sebuah rahasia yang terkuak, terungkap di depan mata Hamdi. Dia bisa merasakan getaran kebenaran yang mengalir melalui kata-kata Prof. Dr. Budi, seperti deru ombak yang membawa pesan dari lautan kejelasan. Namun, di balik kejelasan itu, tersirat juga ketidakpastian yang menggelitik, seakan mengajaknya untuk lebih jauh menyelami misteri yang masih tersimpan dalam lipatan sejarah.

Hamdi menarik nafas dalam-dalam, menyadari bahwa perjalanan menuju kebenaran belum berakhir. Pertanyaan-pertanyaan masih menggeliat di benaknya, menuntut jawaban-jawaban yang belum terungkap sepenuhnya. Tapi saat ini, dalam ruang kantor Budi yang sunyi, mereka berdua terpaku pada momen yang berat, momen di mana fakta dan bukti menjadi senjata utama dalam perjuangan mencari keadilan.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun