Sertifikasi teknisi operator di bidang kelistrikan dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah mendapatkan akreditasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lembaga sertifikasi tersebut bertanggung jawab untuk menyelenggarakan uji kompetensi, menerbitkan sertifikat kompetensi, dan melakukan pemeliharaan kompetensi bagi teknisi operator di bidang kelistrikan.
Dari perspektif sertifikasi teknisi operator, ledakan di SPH dapat dipandang sebagai sebuah indikasi bahwa ada kekurangan dalam sistem sertifikasi yang berlaku di Indonesia. Kekurangan tersebut antara lain adalah:
- Tidak adanya standar kompetensi yang jelas dan konsisten untuk teknisi operator di bidang kelistrikan, terutama untuk bidang keahlian yang berkaitan dengan perbaikan AC.
- Tidak adanya mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang efektif untuk memastikan bahwa teknisi operator di bidang kelistrikan memiliki sertifikat kompetensi yang valid dan sesuai dengan bidang keahliannya.
- Tidak adanya insentif dan sanksi yang memadai untuk mendorong teknisi operator di bidang kelistrikan untuk mengikuti sertifikasi dan memelihara kompetensinya secara berkala.
- Tidak adanya koordinasi dan kerjasama yang baik antara pemerintah, lembaga sertifikasi, asosiasi profesi, dan pengguna jasa teknisi operator di bidang kelistrikan untuk meningkatkan kualitas dan akuntabilitas sertifikasi.
Perkiraan Kerugian Akibat Ledakan
Ledakan di SPH tidak hanya menimbulkan korban luka-luka, tetapi juga kerugian materiil dan nonmaterial yang cukup besar. Diperkirakan kerugian akibat ledakan tersebut bisa mencapai milyaran rupiah. Kerugian tersebut meliputi kerusakan bangunan, peralatan medis, instalasi listrik, dan AC. Selain itu, kerugian juga terjadi akibat terganggunya pelayanan kesehatan di SPH, yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan di Kota Padang. Pasien yang sedang dirawat di SPH terpaksa dipindahkan ke rumah sakit lain, yang tentunya membutuhkan biaya tambahan.
Ledakan di SPH juga menimbulkan dampak psikologis bagi masyarakat, khususnya bagi pasien, pegawai, dan pengunjung rumah sakit. Mereka mengalami trauma, ketakutan, dan kecemasan akibat ledakan yang tiba-tiba dan mengancam keselamatan mereka. Beberapa di antara mereka membutuhkan bantuan psikologis untuk mengatasi dampak tersebut.
Ledakan di SPH juga menimbulkan pertanyaan dan kritik dari berbagai pihak, terutama terkait dengan standar keselamatan dan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Beberapa pihak menuntut agar pihak rumah sakit dan teknisi bertanggung jawab atas kejadian tersebut, serta memberikan kompensasi yang layak kepada korban dan keluarganya6 . Beberapa pihak juga menyoroti perlunya peningkatan pengawasan dan regulasi terhadap praktik keinsinyuran dan sertifikasi teknisi operator di bidang kelistrikan, agar dapat mencegah terjadinya kejadian serupa di masa depan .
Pengalaman Traumatik Pasien dan Keluarga
Video yang beredar memperlihatkan suasana yang mencekam di Rumah Sakit Semen Padang (SPH) setelah ledakan terjadi. Keluarga dan pasien terlihat berusaha menyelamatkan diri dari akibat bunyi ledakan yang keras. Salah satu momen yang terekam adalah seorang ibu bersama bayinya, siap untuk melompat dari lantai atas ke lantai dasar akibat kepanikan yang melanda. Untungnya, ada yang menenangkan dan mengurungkan niatnya. Terlihat juga korban luka yang meminta dievakuasi dengan segera.
Dari video tersebut, terlihat kesan bahwa petugas SPH tidak sepenuhnya siap menghadapi kejadian darurat seperti ini. Hal ini menjadi pembelajaran penting tentang perlunya memperhatikan faktor keselamatan dan keamanan di sebuah objek vital seperti rumah sakit. Kepanikan yang melanda ratusan bahkan mungkin ribuan orang dapat menimbulkan masalah baru. Misalnya, jika akses tangga darurat tidak memadai, situasinya akan semakin rumit dan berpotensi mengakibatkan kerugian yang lebih besar.
Hal ini menunjukkan pentingnya perencanaan dan pelatihan untuk menghadapi situasi darurat di semua fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit. Petugas dan staf harus dilatih secara rutin tentang prosedur evakuasi dan penanganan darurat. Sistem peringatan dan evakuasi yang efektif juga harus dipasang dan diuji secara berkala. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan rumah sakit dapat lebih siap menghadapi situasi darurat dan melindungi keselamatan serta keamanan pasien, staf, dan pengunjung.
Pertanggungjawaban Hukum
Dalam kasus seperti ini, siapa yang bertanggung jawab? Dari pandangan hukum, pertanggungjawaban dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban perdata. Pertanggungjawaban pidana adalah tanggung jawab yang ditetapkan oleh undang-undang kepada pelaku tindak pidana yang melanggar norma hukum yang berlaku1. Pertanggungjawaban perdata adalah tanggung jawab yang ditetapkan oleh undang-undang kepada pelaku perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Dari perspektif pertanggungjawaban pidana, teknisi yang melakukan perbaikan AC dapat dipidana jika terbukti bersalah melakukan kelalaian yang menyebabkan ledakan. Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya atau luka berat orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Selain itu, Pasal 193 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) mengatur bahwa setiap tenaga kesehatan yang melakukan praktik kesehatan dengan sengaja atau karena kelalaian yang menyebabkan kematian atau luka berat pada pasien, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
Dari perspektif pertanggungjawaban perdata, rumah sakit dapat dituntut ganti rugi oleh korban atau keluarganya jika terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa barang siapa secara melawan hukum melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain, wajib mengganti kerugian tersebut5. Selain itu, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) mengatur bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh sumber daya manusia kesehatan rumah sakit.