Pengantar
Saya dan Anda sudah hampir dapat memprediksi bagaimana perilaku seorang presiden, gubernur, pemerintah daerah, bahkan hingga tingkat RT sebelum dan setelah dipilih oleh masyarakat. Terdapat variasi dalam tingkat kecocokan dengan harapan dan kekecewaan, yang tercermin dalam berbagai ekspresi. Rasa sukacita dan kekecewaan diekspresikan dalam berbagai bentuk, ada yang meledak-ledak dan ada yang tenang, ada yang menggunakan kata-kata sopan dan juga yang memilih kata-kata kasar dan sumpah serapah.
Dalam era digital ini, jejak digital mudah ditemukan melalui berbagai media online dan platform media sosial, yang memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat merespons figur publik, seperti halnya yang terjadi pada Ahok dan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI. Begitu pula, kita dapat melihat respon masyarakat terhadap Joko Widodo sebagai Presiden, serta terhadap tiga calon presiden dan calon wakil presiden, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo pada pemilihan umum tahun 2024.
Ungkapan dan curahan perasaan, serta pandangan pemilih, menjadi salah satu cermin dan dinamika dari proses demokrasi di Indonesia. Bagaimana masyarakat merespons pemimpin mereka mencerminkan keberagaman opini dan aspirasi di tengah kompleksitas masyarakat yang heterogen. Proses ini memberikan gambaran tentang kualitas dan vitalitas demokrasi kita, sekaligus memperlihatkan bagaimana setiap individu merasakan dan menanggapi langkah-langkah yang diambil oleh para pemimpin yang mereka pilih. Oleh karena itu, perhatian terhadap dialog dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat menjadi kunci untuk memperkuat dasar demokrasi di negeri ini.
Banyak pemilih di Indonesia yang merasa kecewa dengan hasil pemilu, baik karena pilihan mereka kalah, mengecewakan, atau bergabung dengan pihak yang berseberangan. Kekecewaan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kinerja dan kredibilitas pemimpin yang terpilih, serta ketidakpercayaan terhadap proses pemilu yang dianggap tidak adil dan transparan. Kekecewaan ini juga berdampak pada menurunnya partisipasi pemilih, apatisme politik, dan polarisasi masyarakat.
Contoh KasusÂ
Prabowo Subianto, mantan calon presiden yang kalah dalam Pemilu 2019, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan di kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Keputusan Prabowo ini menuai kritik dari sebagian pendukungnya yang merasa kecewa.
Megawati Soekarnoputri, mantan presiden yang kalah dalam Pemilu 2004, yang kemudian menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati juga mendukung pemerintahan Joko Widodo sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
Wiranto, mantan calon presiden yang kalah dalam Pemilu 2004, yang kemudian menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di era Joko Widodo. Wiranto juga pernah menjadi calon wakil presiden Jusuf Kalla pada Pemilu 2009.
Bentuk ungkapan kekecewaan pemilih Prabowo
Berikut adalah beberapa ungkapan kekecewaan pemilih Prabowo setelah dia bergabung dengan kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan, yang saya kutip dari berbagai media sosial:
"Saya sangat kecewa dengan Pak Prabowo yang memilih gabung dengan Pak Jokowi. Saya merasa dikhianati oleh Pak Prabowo yang sudah saya dukung sejak 2014. Saya merasa Pak Prabowo tidak konsisten dengan prinsip dan ideologinya. Saya merasa Pak Prabowo tidak menghargai suara dan perjuangan rakyat." (Facebook, 23 Oktober 2019)