Mohon tunggu...
Aula IzatulLailiah
Aula IzatulLailiah Mohon Tunggu... Lainnya - BANYUWANGI

Aula Izatul lailiah T20186022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dalil dan Sumber-sumber Ilmu Fiqh

21 Oktober 2020   15:48 Diperbarui: 4 Juni 2021   06:01 2584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalil dan Sumber-sumber Ilmu Fiqh. | pexels

Arti dalil menurut istilah adalah suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara'

Aula Izatul Lailiah

T20186022

A. Dalil dalam hukum Islam

Dalil berasal dari kata arab : artinya merupakan Jama  atau plural, menurut bahasa dalil itu sendiri petunjuk pada sesuatu baik yang bersifat material atau non material . Sedangkan menurut istilah, suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara' yang bersifat praktif, baik yang kedudukannya qathi (pasti) atau dhani ( relatif).

Dalam kajian hukum Islam ada dalil-dalil yang telah disepakati sumber hukumnya yaitu ada 4 :

Al-Quran, Hadist, Ijmak , Qiyas ke empat sumber hukum ini harus dilaksanakan dan diikuti aturannya  karena hukum ini berasal dari Allah SWT.

1. Al-Qur'an

Kata Al-Qur'an berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk  masdar dari kata qara'a yang bisa dimasukkan pada wajan fu' lan yang berarti bacaan atau apa yang tertulis. Al-Quran berisi Wahyu-wahyu dari Allah SWT yang telah diturunkan  secara berangsur-angsur (mutawati) kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril. 

Baca juga: Fiqh Muamalah: Harta dan Pemberian Tanpa Pengganti (Hibah, Sedekah, Hadiah)

Al-Quran diawali dengan surat Al-fatihah dan diakhiri surat An-nas. Membaca Al-Quran merupakan ibadah, Al-Quran adalah sumber hukum Islam yang pertama setiap muslim wajib bertegang teguh dengan Al-Quran, mengikuti hukum-hukum yang terdapat didalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.

Dalil-dalil Al-Quran sebagai  sumber hukum diposisikan sebagai suatu kepastian yang tidak mengandung keraguan mengenai datangnya Al-Quran dari Allah dan Rasul-Nya, dalil Al-Quran yang penunjuknya terhadap maksud suatu hukum masih bersifat interpreaktif di sana juga dijelaskan aturan dan larangan kit sebagai umat muslim.

Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-qur'an meliputi :

1. Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada rukun iman iman.

2. Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak

3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia seperti mengenai ibadah, mengenai muamalah dalam arti yang luas.

Hukum dalam Al-Quran sudah jelas bahwa kita harus percaya kepada rukun iman karena rukun iman itu ada dan salah satu kita untuk bertegang teguh dan harus mengikuti aturan dan laranganya karena didalam al-quran sudah jelas jika kita ingin memperelajarinya. Akhlak kepada orang tua dan orang yang sudah lebih tua kepada kita sudah jelas dijelaskan kedalam isi dalam Al-quran di sana sudah jelas adab kepada orang yang baru kenal, adab kertika bertamu disana sudah dijelaskan tinggal manusianya yang mau mempelajari atau tidak. 

Syarat ketika akan ibadah sudah jelas bahwa umat islam harus menjalankan sholat 5 waktu tanpa ada halangan, kalau wanita tidak dibolehkan shalat jika sedang menstruasi , kalau bagi seorang pria tidak ada kata tidak sholat maka hukumnya adalah dosa.

Kehujaan Al-Quran

Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-quran merupakan sumber utama hukum islam yang diturunkan oleh allah dan wajib dilaksanakan. Bagi manusia dimana hukum-hukum merupakan aturan yang wajib bagi manusia untuk diikuti, karena al-quran ini datang dari Allah dan disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti, tidak diragukan keabsahan dan kebenarannya.

B. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-qur'an, Allah SWT telah mewajibkan kita untuk menaati hukum-hukum yang sudah Allah turunkan kepada umatnya dan tidak boleh ragu kepada hadits yang telah diberikan oleh Allah Swt.

Banyaknya ayat-ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa hadits nabi merupakan salah satu sumber dari hukum islam. Kita diharuskan melaksanakan perintah-perintahnya serta menjauhi segala larangannya.

Fungsi Hadist sebagai sumber hukum yang kedua setalah al-quran menurut pandangan para ulama terdapat tiga, yaitu :

1. Hadits berfungsi untuk memperkuat al-qur;an kandunganya sejajar dengan al-qur'an dalam hal mujmal serta tafshilnya.

2. Hadits berfungsi untuk menjelaskan atau merinci aturan-aturan yang telah digariskan oleh Al-qur'an.

3. Hadits berfungsi untuk menetapkan hukum yang baru yang belum diatur secara eksplisit di dalam kita suci Al-Quran.

Di sana sudah jelas bahwa Allah telah memberikan fungsi Hadist yang telah bisa kita pelajari dan Pahami , Allah telah memberikan Atura-Aturan dan larangnya kalau kita mau pelajari.

Kehujjahan Hadist

para ulama sepakat bahwa hadis sahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan suatu hadis. Kebanyakan ulama hadis menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadis itu terbagi dalam mutawatir dan ahad, sedangkan hadis ahad itu terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu masyhur, 'aziz, dan gharib. Namun menurut Hanafiyah, hadis itu terbagi tiga bagian, yaitu: mutawatir, mashyur, dan ahad.

Baca juga: Nashaihul Ibad, Bukan Kitab Fiqh Biasa! Menasihati, Menenangkan, Meski Tanpa Suara

Ijma'

Ijma dalam pengertian Bahasa adalah ketepatan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Sedangkan ijma' secara terminologi adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid Muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.[1] Ijma' itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu dan bukan berarti kesepakatan semua mujtahid sampai hari kiamat.

Secara istilah, Ijma' adalah "Kesepakatan semua mujtahid dari ijma' umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Nabi Saw.  

Macam-macam Ijma'

1. Ijma' Sharih adalah yaitu ijma' yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut

2.  Ijma' sukuti ini Menurut Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma' sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.

Kehujjahan Ijma'

 Para ulama menjadikan dalil ijma' sebagai hujjah yang bersifat qath'i. Tentunya selama hal itu memang nyata terbukti sebagai ijma' dalam arti yang sebenarnya. Sebab kita tahu ada hal-hal yang sering diklaim sebagai sebuah ijma', namun ternyata masih diperselisihkan keijma'annya.

Qiyas 

 Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya yang berarti "saya mengukur baju dengan hasta" Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.

Rukun qiyas

Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi keabsahan atau kesempurnaan suatu hal, dengan kata lain rukun adalah elemen urgen yang dengannya suatu perkara menjadi sempurna.[1] Dalam segala hal, rukun merupakan elemen terpenting karena rukun memegang peranan sebagai penentu sah atau tidaknya; legal atau tidaknya sesuatu. Termasuk dalam hal ini, qiyas juga memiliki rukun-rukun yang harus terpenuhi. Jika rukun-rukun tersebut tidak dapat terpenuhi maka secara otomatis qiyas juga tidak dapat diterapkan. Rukun qiyas terdiri atas empat unsur berikut:

1. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).

 2. Far'u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya Far'u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. la disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyahbah (yang diserupakan). 

Baca juga: Penerapan Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyah Mengenai Riba

3. Far'u yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nassnya, artinya, kasus yang ada tidak diketahui hukumnya secara pasti. Al-SyafiI dalam hal ini mengatakan bahwa faru itu adalah suatu kasus yang tidak disebutkan hukumnya secara tegas dan di-qiyas-kan kepada hukum aslnya

4. Hukum Ashl, yaitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asl ke faru. menurut al-SyafiI, hukum di sini adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, baik secara tegas, maupun manawi. Ini berarti, hukumnya harus berdasarkan Alquran dan Hadis, harus dapat dicerna akal tentang tujuannya, dan hukum yang ditetapkan bukan masalah rukhshah dan khusus.

Kehujjahan Qiyas.

Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara'. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara. Berbeda dengan jumhur para 'ulama mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :

1. llatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isarat.

2. Hukum far'u harus lebih utama daripada hukum ashl. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama -- ulama syi'ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu'tazilah Irak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun