Hingga kehabisan harapan, pikiran untuk terus berjalan menghampiri dirinya. Matahari sudah di bibir peraduan, memamerkan kemerah-merahan. Isyarat ia harus mencari tempat untuk bernaung malam ini. Jika tidak, angin dingin malam dan binatang buas nokturnal, akan memangsa dirinya. Tamatlah riwayatnya.
Sebelum meninggalkan pintu gerbang, ia mengetuk sekali lagi. Tanpa ada pikiran agar pintu terbuka. Tindak itu seperti kata pamit untuk pergi. Ia pun berlangkah menjauhi pintu, menemukan tempat perlindungan. Beberapa meter berjalan tanpa menoleh, telinganya terganggu oleh bunyi engsel pintu terbuka. Dibaliknya badan dan melihat, ada seseorang tikus putih berumur menunggu di pintu, mencari yang mengetuk. Ia berlari terburu-buru menghampiri sosok itu.
"Tuan. Tuan, saya yang mengetuk pintu,"sambil memberikan tabik.
"Apa gerangan kamu mengetuk?"
"Tuan, izinkan saya bermalam. Saya sedang dalam perjalanan. Â Saya kelelahan dan mencari perlindungan. Bolehkan saya tidur di sini? Saya sangat membutuhkan." Tikus itu memohon.
"Kamu kotor. Bau. Tidak layak kamu di sini. Kamu bisa menodai tempat ini"
"Tuan, apapun syarat untuk tinggal di sini, akan aku lakukan." Nadanya memohon dengan sujud berlutut. Ia memeluk kaki.
Tikus putih berumur itu memikir-mikir. Di hati nuraninya bergema rasa iba. Â Ia tidak mau karena penolakan, tamunya akan mengalami celaka. Ia pun memandang dengan penuh curiga, melucuti keaslian tikus muda itu. Semenit ia lihat setiap inci tikus muda tanpa keluarkan kata. Lalu,
"jangan-jangan kamu pencuri?"
"Tidak. Tidak tuan. Saya pengembara. Percayalah."
"Baiklah. Ayo masuk," nada suara tikus putih berumur itu berubah lembut dan ramah, "Kamu tidur di gudang kerja. Di sana ada kamar yang pas untukmu. Tapi ingat: sebelum kau sentuh barang-barang di sini, bersihkan dirimu dahulu."