"Opa, bagaiman dengan tikus putih?" tagih Patrik.
Tiba-tiba, terdengar mesin generator berbunyi. Hati Patrik tidak tenang. Ia berlari ke luar rumah, melihat apa yang terjadi. Listrik menyala. Neon-neon rumah seorang guru SD-nya berpijar.
Kegiranganmengebu-ngebu di hatinya.Tak tahan ia kekang, ia melompat-lompat sambil berteriak. "Yeee yeee, listrik menyala. Huuu..., Nonton... Nonton. Hu huuu. Malam ini nonton."
Dari dalam rumah mama berteriak, "Patrik... Cepat masuk rumah. Buat apa kau teriak-teriak di luar. Cepat."
Dengan semangat ia masuk rumah. Bayangan Kian Santang yang tertunda 2 episode mengisi kepalanya. Wajahnya pancarkan kebahagiaan besar. Ia ingin nonton sepuasnya. Sedangkan, ibu bingung melihat wajahnya.
"Listrik menyala, ma. Sebentar saya nonton. Hehehe."
"Hei, kau tidak lihat di rumah gurumu? Malam ini mereka ada acara keluarga. Pikir nonton saja," jelas ibu dengan sedikit nada marah.
Tak ada kata yang keluar dari mulut Patrik. Pikiran gembiranya buyar. Bayangan Kian Santang sirna. Raut wajah berubah rupa jadi asam.Isi hatinya beralih mengumpat listrik sialan. Gara-gara nyala neon-neon, harapan berjumpa Kian Santang pupus.
Wajah cemberutnya dibaca opa saat makan bersila di atas tikar anyaman daun pandan. Patrik yang biasanya penuh dengan pertanyaan, jadi bisu. Hanya bunyi sendok bertemu pering terdengar darinya.
Opa pun angkat bicara, mengganggu hatinya yang risau, "Sudahlah Patrik.Jangan pasang asam mukamu, awas cepas tua. Lihat opamu ini, masih segar, karena selalu ceriah dan senyum. Besok-besok juga, tv gurumu akan menyala. Biarlah kita lanjutkan cerita tikus putih malam ini. Bagaimana?"
"Tapi saya rindu nonton Kian Santang, opa."