"hahaha,.. tapi tetap sama kan? Mau nonton, mau baca buku, mau dengar cerita, semuanya akan terekam dalam pikiranmu. Bahkan imajinasimu akan sibuk memikirkan alur, mengingat pemerannya, tempat, kehebatan mereka. Ingat Pat, sinetron itu, cerita yang difilmkan."
"oohh,.." Sambil anggukan kepala. "Berarti ceritanya opa bisa difilmkan?"
"Tentu bisa."
"Pat. Habiskan nasi di piringmu. Lama sekali makannya. Cepat," perintah ibu sambilsibuk mengumpulkan piring-sendok dan perlengkapan makan.
Setelah makan malam. Di terangi lidah api pelita yang suram, yang tertatih-tatih melawan malam, Patrik membaringkan tubuhnya di samping opa. Dengan guling dipeluk, ia simak cerita opa. Opa di sebelahnya, masih duduk, tetap setia dengan rokok koli, melahap asap-asapnya dengan puas. Ia pun mamulai cerita dengan Patrik.
"Patrik"
"Ia opa"
"Patrik. Tikus putih itu bukan tikus sembarang.
Suatu ketika, saat masih muda, usia belasanlah. Tikus putih berjalan di tengah savana. Di antara pepohonan dan rumput-rumput yang hampir mengering di musim kemarau. Ia terobsesi dengan suatu kuil yang membuatnya penasaran. Dari luar, bangunan itu begitu sepi, tapi rupa terawat dengan baik. Ia pun meyakini, di situ pasti ada penghuninya. Mendekatlah ia ke sana.
Tikus putih mengetuk gerbang kuil itu. Dengan sopan ia mengulang mengetuk sampai tiga kali. Tidak puas. Berkali-kali ketukan ia gantikan dengan bunyi kasar. Digendor-gendor dengan kepalan tangan dan tendangan. Sia-sia. Tidak ada tanda-tanda penghuni. Namun, batinnya tetap yakin adanya penghuni.
Tanpa kenal lelah, sesekali ia mencari lubang-lubang kecil untuk meloi, lihat situasi di dalam bangunan itu. Lubang itu tidak berinya kepuasan. Kadang ia berjalan di depan gerbang tak tentu arah. Matanya amat-amati ke sekeliling, siapa tahu ada yang lewat, tetapi pupus. Di situ tidak ada orang.