Pikiran Patrik penuh khayal, sibuk dijejali kisah tikus. Ia jalan dengan kepala dimiringkan, pandangan diarahkan ke atas, sedangkan pada kedua tangannya digenggam tangkai ember berisi pakan.
"Praaak."Kakinya terantuk kayu menghalang jalan. Kayu patah. Ia jatuh. Pakan babi dari cincangan batang pisang dan daun ubi tumpah berserakan. Wajah mencium tanah, lutut dan siku digores, menyisakan luka berdarah.
Ia merintih. Kayu penghalang itu dicacimakinya bertubi-tubi, lalu diinjak dan dipatahkan.
"Puki mai,[1] kayu acu[2]. Anjing kau. Kayu setan. Moyet kau. Sial apa, sampai kau disimpan di sini." Dilemparnya kayu itu jauh-jauh dengan amarah meledak-ledak.
"Patrik,kenapa? Kau baik-baik? Jangan maki-maki sembarang," Opa menyapanya dari jauh, tanpa tahu apa yang terjadi.
"Tidak apa-apa. Saya emosi dengan kayu ini."
Patrik memungut cincangan pakan di tanah. Lalu disapunya gunakan sapu lidi, hilangkan jejak dari mata mamanya. Pakan itu kemudian dicampur dengan dedak dan dibagikan kepada babi.
Patrik ceroboh, ia lupa menyeka darah luka di lutut dan siku tangannya. Setelah pulang mencuci, dengan ember berisi cucian masih dijunjung, mamanya terkejut lihat lukanya. Mamanya mengomel-omel tanpa putus, hingga Patrik mengucap  jujur.
"Patrik, kenapa kakimu. Kamu jatuh?"
"Tidak mama, ini goresan."
"Goresan apa?"Dijewernya telinga Patrik, minta kejujuran. "Ini luka besar, kador[3]."Â