Mohon tunggu...
Aurelius Haseng
Aurelius Haseng Mohon Tunggu... Freelancer - AKU yang Aku tahu

Mencari sesuatu yang Ada sekaligus tidak ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyotaimori: Duyun Labuan Bajo

30 Desember 2020   11:29 Diperbarui: 30 Desember 2020   12:00 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini bermula dari hari pertama aku di sekolah. Mataku terantuk pada sosok jelita, rupawan dan cantik. Tubuhnya padat berisi, tinggi di atas rata-rata tubuh gadis Manggarai, rambut khas mirip orang bugis, berkulit putih tropis mirip kulit orang sunda. Sebagai lelaki normal, jujur aku bilang, "pesona kewanitaannya mencolok dibanding siswi lainnya."

Diriku berkecamuk, naluri didorong harus menjabat tangan dan dapatkan nomor hp-nya. Seterusnya dan seterusnya. Malang, bisikan moral buah dari norma-norma agama maupun sosial menghalang iming-iming kejantananku. Pikiranku yang busuk diserempet. Suara nurani manasehati; "ingat, kau baru sehari di sini. Kau tidak malu?" Ilmu yang aku sekolahkan masih polos dan lurus.

Iming-iming kelelakianku pun pupus,menyerah pada nurani: tidak baik seorang guru suka dengan murid. Itu pedofilia. Ribet jika prosesnya belanjut. "Mengapa aku dilahirkan terlalu cepat?" sesalku tanpa mengucapkan suara. 

Seminggu berselang, ternyata bukan isi kepalaku saja yang terperangkap daya tarik wanita itu. Beberapa guru muda sudah berada dalam arena, siap memperebutkan. Bahkan, mereka terang-terangan bertaruh. Pada kesempatan berkumpul dan bercanda ria bersama mereka,ketika itu, seorang rekan guru mengucap namanya, siswi yang akan menjadi muridku: Alia.

"Alia Alia," sepontan pita suaraku mengucap nama itu, ketika badan kelelahan dibaringkan di atas kasur. Sepi dan sendiri, membuat khayalanku foya-foya berkeliaran membayangkan Alia. Wajahnya, matanya, bibirnya, rambut, leher, seluruh daya tarik wanitanya, inci per inci aku lahap dan babat. Suasana ini memperparah deras hanyut insting lelakiku untuk berburu. Alia. Gila aku dibuat hingga tersiksa.

Beruntung pintu kosku diketuk. Aku terbantu dibangunkan dari lamunan. Berangsur-angsur rupa Alia lenyap dilahap canda tawa bersama tamu. Saat mandi, aku seolah-olah beriman membenarkan diri: Tuhan telah mengirimkan malaikat untuk menyelamatkan aku dari godaan.

***

Gara-gara bertabarakan dan laptop pecah, aku mengenal Alia lebih dari cukup. Saat itu akhir jam pelajaran kedua. Aku berlangkah hendak mengajar di kelasnya. Ia berlari tanpa mata memperhatikan ke depan. Bahunya menabarak aku hingga tubuh terseok-seok pertahankan keseimbangan. Buku-buku berserakan. Laptop pecah. Tak digunakan lagi setelahnya.

Seketika, raut wajah berubah salah. Sambil memungut buku dan barang lain yang jatuh, kata maaf yang diucapkan, berulang-ulang berbunyi dari Alia. Bisa ditebak, hari itu bisa menjadi hari tersial dalam hidupnya. Atau mungkin, ia dibebani oleh harga laptop yang rusak. Tak punya uang untuk menggantinya.

"Sudah. Sudahlah, kamu kembali ke kelas', kataku bernada tenang, sembunyikan amukan emosi.

Ia berlangkah mendahului. Tapi, gestur jalannya indikasikan beban salah menyelimuti dirinya. Hingga di kelas saat pelajaran bahasa Inggris, ia tidak fokus. Matanya selalu berpaling. Ia takut menghadap meja guru dan whiteboard.

"Alia, get up and describe your village to your classmate in front of the class?" Aku coba menetralkan rasa berkecamuk di hatinya.

Ia bangun dan berikan performa yang unggul. Ia pandai berbahasa Inggris. Lancar dan atraktif. Menurutku, dia anak yang cerdas.

Benar menurut guru-guru, bukan hanya tubuh yang menarik dari Alia. Seluruh dirinyalah yang menarik. Kecerdasan dan cara bicaranya membuatnya berbeda dan lebih dari siswa/siswi umumnya di sekolah.

Di depan gerbang setelah pulang sekolah, ia menunggu menanti aku lewat untuk mengatakan maaf yang kesekian kalinya. Bukanya hanya beri maaf kesekian kalinya, aku beri dia bonus boncengan, yang sebenarnya sembunyikan niat beri kepuasan bagi jiwa lelakiku. Disaat itu, ia beranikan diri meminta WA, dengan alasan untuk konsultasi bahasa Inggris.

***

Di balik pesona wanita dan kecerdasan, Alia menyimpan misteri bagi orang-orang. Hidup dalam dua dunia bertentangan. Dunia tabu. Dunia yang dibenci pada umumnya.

Tak banyak yang tahu. Rahasia itu dibungkus dengan rapi, tak dibiarkan kusut untuk dipandang mata, termasuk keluarganya sendiri. Aktris yang pandai melakoni dua peran berbeda.

Ia bergentayangan dalam remang-remang yang ditakutkan orang. Warna hidup yang menyajikan hedonisme di tengah kesepian. Tempat yang paling dibenci sekaligus dirindukan. Laut.

Aku penasaran dengan dunia ini. Ya, memang pernah sebelumnya, digoda oleh rekan, yang katanya doyan mencicipi enaknya. Berkali-kali. Mungkin karena tembok pertahanan agamaku cukup kuat, malaikan-malaikat penyelamat selalu memenangkan pertarungan sengit di kepala.

Tibalah waktu yang kesekian kalinya, tawaran itu sampai di telingaku. Bayang-bayang kenikmatan dan kesenangan meluluhlantahkan pertahananku. Aku putuskan ikut nimbrung bareng sahabat karibku. Si Cimeng. Itu nama samarannya. Nama yang teman-teman seangkatan sematkan, karena perawakannya yang keras dan menakutkan.

www.cnnindonesia.com
www.cnnindonesia.com
Saat matahari terbenam, ketika orang-orang merindukan rumah, aku bersama si Cimeng melawan arus tinggalkan empuknya kasur, menunggu gelap dimulai, siap-siap menuju kapal Pinisi. Di pantai Pede, kala semilir angin dingin, tiga speadboat mendekati bibir pantai, mendapati beberapa tamu yang baru tiba diantar.

Si Cimeng berbisik, "satu aturan penting buatmu: jangan banyak tanya." Lalu ia mencolek sikuku dengan tatapan menuju mini bus yang menepi di pantai, "itu para tamu spesial kita."

Mulut ku katup erat-erat. Aku mengikuti langkah si Cimeng ke dalam speadboat, bersama dua teman lainnya. Sedangkan tamu lainnya, sudah mendahului, tinggalkan pantai tanpa gaduh.

Ketika semua tiba, kapal itu membawa kami menjauhi pantauan cahaya kota. Perlahan-lahan mencari sunyi di balik pulau Kanawa. Tak diendus oleh mata-mata para pendakwah surga.

Dengan menjadi pelayan, aku leluasa saksikan. Remang-remang cahaya dan alunan musik riang terukur. Pesta di atas Penisi itu dimulai. Gadis-gadis lokal pilihan, bertelanjang, berbaris menari di atas deck kapal. Sementara para tamu duduk memandang dengan mata berburu. Melucuti gadis-gadis itu seperti seorang juri.

Pada dada gadis-gadis itu ditempelkan nomor. Lenggak-lenggok menggoda para tamu untuk memilih. Tidak sesederhana dugaanku: ternyata ada pelelangan. Berdiri di hadapan tamu, seorang perempuan paruh baya, mematok harga dengan tawaran tinggi. Gadis-gadis itu tidak semurah yang dipikirkan. Suara sahut-menyahut terdengar, tamu hamburkan dolar tanpa kalkulasi.

Aku dan pelayan-pelayan datang membawakan meja berukuran besar. Berantrian kemudian, bahan-bahan makanan, peralatan dan pakaian chef. Gadis-gadis itu tidur terlentang di atas meja. Pajangkan tubuh mulus dan elok, mengganti piring.

Lima orang dari tamu itu mengenakan pakaian chef, menyajikan masakan dan makanan di atas tubuh gadis-gadis itu. Titik-titik intim tubuh dihiasi dengan makanan. Nyotaimori. Suguhan istimewa dari kaum sosialita. Ya, pikiran akademisku terbuka: mereka adalah sashimi girl, wanita yang tubuh dihidangkan sushi sambil telanjang.

Saat itu, langkahku terhenti. Tanpa aku sadari, bola mataku berbenturan dengan gadis yang akrab dalam pandangan dan ingatanku. Siswiku. Alia. Mata kami beradu pandang, seperti tak menyangka bahwa perjumpaan ini bisa terjadi. Cahaya matanya seperti mengucapkan risih dengan keadaannya. Tapi ia tak berdaya.

Ya. Alia bukan Alia yang aku kenal di sekolah. Alia yang ini, Alia lain. Sisi kedua dan berbeda, yang aku jumpai dari Alia. Aku kagum. Ia sungguh profesional. Raut wajahnya langsung berubah rupa menjadi adam, berseri-seri tanpa tinggalkan ketegangan. Aku pun tak mau kalah. Aku juga mesti profesional, alihkan perhatian seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Dari kejauhan, di kumpulan pelayan, mataku hanya terarah pada Alia. Antara sisi kejantanan versus kemanusiaan berselisih pendapat hingga mendera pikiranku. Satu sisi aku puas lahap kemolekan tubuh tanpa benang, tampilkan titik-titik betina yang sering terlintas dalam khayalan-khayalan liarku. Pada sisi kemanusiaan, aku seperti dicaci-maki tidak berguna, sebab tak mampu melindungi kewanitaannya.

Para tamu melingkari barisan tubuh-tubuh telanjang, melahap habis suguhan sashimi. Mereka tampak puas, terdengar dari cekikan dan tawa terbahak-bahak. Dari krumunan suara jantan itu, beberapa suara gadis sashimi merintih sakit, juga keluar suara-suara desahan, yang menambah riuh canda tawa mereka.    

Semakin larut. Suasana semakin gemuruh. Alunan musik keras dipasang. Minuman-minuman beralkohol disaji. Wajah-wajah mabuk mulai tunjukkan tanda-tanda pada tubuh yang sempoyongan. Tamu-tamu itu menari dengan gadis-gadis sashimi pilihannya.

Aku yang melawan ngantuk berusaha keras melek. Mataku tetap tertuju pada Alia. Tak biarkan berpaling. Seorang bule berumur 40-an membabat habis pesona kewanitaannya. Aku marah. Sakit hati. Lalu, Pedih itu semakin gila kala Alia dibawa masuk ke dalam kamar.

Si Cimeng tak tahu akan pergulatan itu. Ia larut dalam keasikan. Alunan musik keras, berecampur alkohol merangsangnya semakin terbuai. Ia berjingkrak-jingkrak ikuti iringan lagu. Bersama yang lain terhipnotis dalam euforia. Kecuali aku. Aku yang patah. Aku yang tak berdaya.

Ketika semuanya larut dalam lelap, aku beranikan diri dekati wanita yang duduk di anjong pinisi. Ditemani rokok, ia hangatkan tubuh menghalau dinginnya angin laut. Tak berpikir banyak, aku duduk bersebelahan. Aku pun tahu tarif. Dan itu sungguh gila. Alia bersama rekan sashimi girl dibendrol dengan harga 25 juta semalam per orang. Bukan kelas ku.

***

dokpri
dokpri
Bunyi diesel perahu nelayan, menghentak lelap Alia. Bisingannya menggetarkan gendang, hingga sembunyikan telinga di balik bantal. Lalu ia menekan bantal ke lubangnya, tak membiarkan suara masuk ke gendang.

Namun, sadar akan hari ini adalah awal pekan, dipaksakannya tubuh bangun meninggalkan kamar menuju deck. Mata sayup-sayupnya memeriksa langit. Tak kuasa melototi cakrawala terang, mata telanjangnya mengedip-ngedip, coba sembunyikan bola mata ayu.

Lalu ditolehnya mata ke perahu yang baru melintas, tampak sudah mencapai sandaran dermaga, disambut suara rebutan para pedagang ikan. Pada jejaknya, tersisa hanya buih ombak dan gelombang arus kecil yang berantrian menggulung lalu menghilang.

Alia berlangkah kembali ke dalam kamar, memeriksa hp. Pada layar terpampang angka 05.45. Jam yang  cukup limpah mencapai rumah dan sekolah.Di atas meja, bertengger amplop yang bertulis, "terima kasih".Memang tidur di kepal penisi selayaknya berada di hotel, olengannya tak dirasakan. Fasilitaspun lengkap sebagaimana halnya hotel.

Alin mengganti pakaian, mengubah penampilan sebagai remaja normal. Semua bawaannya bersatu dalam tas punggung dan bergegas keluar dari kamar menuju buritan kapal. Di sana seorang ABK dengan speadboat siap mengantarnya menuju pantai Pede yang semenit jaraknyadari kapal yang membuang jangkar dekat pulau monyet.

Sore, ketika berbelanja di Denis Mart di persimpangan patung caci, aku berpapasan dengan Alia. Manis. Cara berpakaiannya pamerkan tubuh berisi dengan celana pendek berhiaskan paha dan tungkai, kakinya berlindung pada sneakers abu-abu. Bukanya tegur, ia malah menarik lengan dan menggiring aku ke rak dagangan paling belakang. Di situ, kejantananku dicobainya.

Ia merapatkan tubuhnya. Hawa hangat tubuhnya merangsang niat-niat jahat uratku. Di telinga ia berbisik, "kaka lihat kan di kapal. Suka? Kaka suka kan dengan saya?"

Hembus nafasnya melemahkan saraf-sarafku. Kelelakianku dibuatnya kalah. Mati kutu. Aku tak menjawab. Tunduk pada keberaniannya.

***

dokpri
dokpri
Kembali ke Kos, seperti kewajiban, setiap tinggal kosong, facebook dan youtube adalah teman yang setia untuk usir kebosanan. Di halaman facebook, aku baca-baca setiap status, hingga sebuah postingan di group PARIWISATA LABUAN BAJO, seseorang mengumbar Labuan Bajo undercover: Duyun-duyun laut, yang dijemput kala malam untuk senangi doyan-doyan berduit. Hati-hati. Gadis-gadis kita berada dalam ancaman. Jangan biarkan mereka masuk dalam perangkap kenikmatan ini.

Mataku terbelalak. Pikiran langsung teringat pada Alia. Alia siswiku adalah seorang duyun. Layakah aku membencinya, yang ikut mencicipi dengan mata dan pikiran? Aku sadar, aku adalah seorang "doyan" mengingini "duyun" lokal. Alia. 

Alia maafkan laki-laki seperti aku, yang tak sangggup beri perlindungan dan keamanan.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun