Kisah ini bermula dari hari pertama aku di sekolah. Mataku terantuk pada sosok jelita, rupawan dan cantik. Tubuhnya padat berisi, tinggi di atas rata-rata tubuh gadis Manggarai, rambut khas mirip orang bugis, berkulit putih tropis mirip kulit orang sunda. Sebagai lelaki normal, jujur aku bilang, "pesona kewanitaannya mencolok dibanding siswi lainnya."
Diriku berkecamuk, naluri didorong harus menjabat tangan dan dapatkan nomor hp-nya. Seterusnya dan seterusnya. Malang, bisikan moral buah dari norma-norma agama maupun sosial menghalang iming-iming kejantananku. Pikiranku yang busuk diserempet. Suara nurani manasehati; "ingat, kau baru sehari di sini. Kau tidak malu?" Ilmu yang aku sekolahkan masih polos dan lurus.
Iming-iming kelelakianku pun pupus,menyerah pada nurani: tidak baik seorang guru suka dengan murid. Itu pedofilia. Ribet jika prosesnya belanjut. "Mengapa aku dilahirkan terlalu cepat?" sesalku tanpa mengucapkan suara.Â
Seminggu berselang, ternyata bukan isi kepalaku saja yang terperangkap daya tarik wanita itu. Beberapa guru muda sudah berada dalam arena, siap memperebutkan. Bahkan, mereka terang-terangan bertaruh. Pada kesempatan berkumpul dan bercanda ria bersama mereka,ketika itu, seorang rekan guru mengucap namanya, siswi yang akan menjadi muridku: Alia.
"Alia Alia," sepontan pita suaraku mengucap nama itu, ketika badan kelelahan dibaringkan di atas kasur. Sepi dan sendiri, membuat khayalanku foya-foya berkeliaran membayangkan Alia. Wajahnya, matanya, bibirnya, rambut, leher, seluruh daya tarik wanitanya, inci per inci aku lahap dan babat. Suasana ini memperparah deras hanyut insting lelakiku untuk berburu. Alia. Gila aku dibuat hingga tersiksa.
Beruntung pintu kosku diketuk. Aku terbantu dibangunkan dari lamunan. Berangsur-angsur rupa Alia lenyap dilahap canda tawa bersama tamu. Saat mandi, aku seolah-olah beriman membenarkan diri: Tuhan telah mengirimkan malaikat untuk menyelamatkan aku dari godaan.
***
Gara-gara bertabarakan dan laptop pecah, aku mengenal Alia lebih dari cukup. Saat itu akhir jam pelajaran kedua. Aku berlangkah hendak mengajar di kelasnya. Ia berlari tanpa mata memperhatikan ke depan. Bahunya menabarak aku hingga tubuh terseok-seok pertahankan keseimbangan. Buku-buku berserakan. Laptop pecah. Tak digunakan lagi setelahnya.
Seketika, raut wajah berubah salah. Sambil memungut buku dan barang lain yang jatuh, kata maaf yang diucapkan, berulang-ulang berbunyi dari Alia. Bisa ditebak, hari itu bisa menjadi hari tersial dalam hidupnya. Atau mungkin, ia dibebani oleh harga laptop yang rusak. Tak punya uang untuk menggantinya.
"Sudah. Sudahlah, kamu kembali ke kelas', kataku bernada tenang, sembunyikan amukan emosi.
Ia berlangkah mendahului. Tapi, gestur jalannya indikasikan beban salah menyelimuti dirinya. Hingga di kelas saat pelajaran bahasa Inggris, ia tidak fokus. Matanya selalu berpaling. Ia takut menghadap meja guru dan whiteboard.