Tokoh yang Humanis, begitulah Ahok memposisikan dirinya dalam berbagai kesempatan wawancara terkait kebijakannya dalam penataan kota. Kebijkannya Gusur – bangun, gusur bangun tak hanya berhenti disitu, dia menyiapkan Rumah susun sederhana (Rusunawa) lengkap beserta prabotannya untuk fasilitas warga yang terkena penggusuran. Dalih Ahok, belum ada kebijakan gubernur yang sehumanis dia, bahasa Ahok adalah “memanusiakan Manusia).
Dalam ketegasan dan independensi tak perlu dipertanyakan, Ahok berani menentang dan dengan lantang menegaskan keluar dari partai Gerindra, yang ketika itu mengusulkan dan menyetujui pemilihan kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi melalui DPR seperti zaman Soeharto. Saat itu Ahok berdiri sendiri, dan menjadi satu-satunya pemimpin daerah secara de facto tidak tergabung dalam partai politik manapun.
Jurus mabuk Ahok terus dipertontonkan, ketika bursa calon kepala daerah bergema, dia memutuskan maju melalui jalur Independent, padahal banyak partai politik yang menginginkan Ahok. Sebagai syarat calon gubernur Independent, harus mengumpulkan Photo Copy KTP 6,5 dari DPT (daftar pemilih tetap ) DKI Jakarta yang berati mengumpulkan minimal 600 ribuan photo chopy KTP. Jurus mabuk Ahok untuk memutuskan bertarung secara Independent melahirkan komunitas TEMAN AHOK sebagai representasi masyarakat DKI yang menginginkannya tetap menjadi gubernur DKI pada tahun berikutnya.
Lengkap sudah alasan Ahok menjadi Incumben terkuat dan paling ideal, nyaris tanpa celah. Ahok bak Soekarno yang kebal kritik, kuat dan begitu superior. Siapapun yang mengkritik Ahok, pasukan Teman Ahok maupun simpatisannya akan memberi cap anti perubahan, katrok, bahkan argumen yang mengkritik Ahok selalu dicurigai sebagai musuh politik yang pasti salah. se-profesor apapun gelarnya, doktor manapun tak mampu merontokkan “sekat itu”, pada akhirnya lebih baik mundur dari pada dibully dimedia sosial.
Kontroversi Ahok berlanjut, keputusannya membeli sebagian lahan RS. Sumber waras seharga Rp. 755 Miliar dipersoalkan dan dipertanyakan lawan politiknya di DPRD - di sini saya tidak akan berbicara terkait muatan politis yang menungganginya, karena terlalu subyektif - Hingga Badan Pengaudit Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp.191 Miliar dengan gagah dan perkasa, Ahok berbicara lantang dalam berbagai wawancara dimedia “ BPK ngaco” dan dia hanya percaya kepada lembaga KPK, karena KPK pernah mengeluarkan Statemen resmi terkait kasus RS. Sumber Waras bahwa belum ditemukan indikasi penyelewengan.
Dari sini memunculkan opini apapun dan siapapun yang bertentangan dengan Ahok, akan menjadi musuh negara. Jadilah BPK menjadi bahan nikmat bullying dimedia sosial, segala aib dan “sangkaan” (pembuktian terbalik) terkait isu yang menjerat pejabat teras BPK menjadi viral dimedia Daring untuk mengkokohkan opini bahwa BPK adalah lembaga audit tidak independen, brengsek, penuh mafia, dan sarat dengan muatan politis. Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa BPK kok malah dibully, dihujat oleh pendukung setia Ahok, bukankah hal seperti ini hanya kontraproduktif, dan menimbulkan kesan bahwa pendukung Ahok hanya sekumpulan orang fanatik! Saya juga tidak tahu.
Drama masih berlanjut, Tepat tanggal 31 Maret 2016 KPK melakukan OTT (operasi tangkap tangan) anggota DPRD Sanusi dari fraksi Gerindra terkait suap Reklamasi laut Jakarta. Puluhan aktivis lingkungan, ribuan nelayan beberapa kali menyampaikan protes tentang proyek tersebut. Puncaknya, seperti temuat diKoran Kompas (18/04/2016) memuat Photo ratusan nelayan yang melakukan demonstrasi dipulau G dan dijadikan Headline.
Memang kebijakan terkait reklamasi dibuat jauh sebelum Ahok. Tetapi kementrian Kelautan dan DPRD sudah memberi rel omendasi terkait penundaan sementara pengerjaam proyek reklamasi, untuk memenuhi AMDAL, dan riset mendalam terkait izin. Hanya dihentikan sementara, bukan total, tetapi Ahokpun bergeming, dia menantang pihak manapun, institusi apapun yang menginginkan proyek reklamasi dihentikan harus merubah Undang Undang untuk mengehentikan proyek tersebut.
Dalam perda DKI, hanya memberi izin untuk reklamasi/pengurukan belum diatur tentang pendirian bangunan yang pastinya harus memerlukan IMB dan segala tetek bengeknya. Faktanya dipulau G sudah ada hunian ruko dan beberapa bangunan yang sudah terbangun bahkan sudah dipasarkan secara masif, tetapi apa yang diharapakan tak muncul datang, yaitu pemberhentian atau teguran langsung dari walikota setempat apalagi gubernur. Yang perlu dicatat, selain proyek reklamasi sangat merugikan banyak pihak dan menguntungkan sebagian kecil, juga sarat dengan aroma Suap, Korupsi dan lobi - lobi kotor.
Padahal Disinilah peran Ahok selaku gubernur DKI ditunggu keputusannya, dialah yang mempunyai wewenang untuk melanjutkan, atau menghentikan sementara. Andai dihentikan total, tidak akan mungkin, sebab pasti akan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Yang dibutuhkan hanyalah win win Solutions antara nelayan, alam dan pengembang.
Ajaibnya, tidak ada riak riak pembelaan atau sanggahan oleh teman Ahok, sunyi senyap, menghilang tanpa jejak. Seluruh masyarakat Indonesia dapat diapastikan mempunyai opini yang sama, kenapa pak Ahok kok ngotot reklamasi adalah harga mati ! kenapa gelombang protes nelayan Seolah hanya angin lewat! Jadi jangan salahkan, jika muncul opini bahwa kebijakan Ahok hanya runcing ke bawah tumpul ke atas.