Mohon tunggu...
aufa ubaidillah
aufa ubaidillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - pecinta kuliner

hobi membaca menulis dan mengamati manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Absolutisme, Alternatif Lain Memandang Ahok

25 April 2016   07:22 Diperbarui: 25 April 2016   10:38 2389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ahok di balai kota,www.wowkeren.com"][/caption]Tepat pada 15 Mei 1963 Soekarno dilantik Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) sebagai presiden seumur hidup, dan cukup menjadikannya presiden dengan jabatan terlama yang dilegalkan secara konstitusional, walaupun akhirnya ditahun 20 Februari 1967 dimakzulkan.

Capaian Soekarno sulit ditandingi lawan politik manapun di seantero nusantara. Dalam otobiografinya yang ditulis wartawan Cindy Adams dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat si bung bercerita ketika ingin berkunjung ke Bali, orang setempat menahbiskan Soekarno sebagai titisan dewa Shiwa .

Pendapatnya yang menyatakan bahwa revolusi Indonesia belum berakhir dan masih harus terus berjalan selalu menjadi alasan adanya status quo. Berbagai kebijakan kontroversial dijalankannya, dia tidak segan memenjarakan sahabat – sahabatnya yang sekaligus menjadi lawan politiknya , membatasi dan membredel pers, dan semua yang dianggapnya tidak sesuai dengan cita – cita revolusi yang digagas si Bung. Dalam sebuah wawancara, Cindy Adams sempat menanyakan alasan si Bung yang membungkam Pers, si Bung berargumen “ karena ini adalah revolusi”.

Pasca orde lama tumbang, berganti orde baru, muncul secercah harapan yang dititipkan dipundak orde baru dengan nakhoda Soeharto. Soeharto muncul dan memposisikan dirinya sebagai antitesa orde lama yang lebih demokratis, egaliter, humanis, dan terbuka.

Dengan konsep pembangunan, Soeharto mampu menghipnotis jutaan rakyat Indonesia yang dipaksa mandiri dizaman bung Karno. Dimulai dari desa berupa pembangunan jalan, instalasi listrik di setiap pelosok, hingga pangan yang tak luput dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang prorakyat seperti PELITA (Pembangunan Tima Tahun) yang sempat bergulir hingga PELITA VI.

Pada tahun 1984 Indonesia berhasil untuk pertama kalinya swasembada beras, bahkan Indonesia sempat menyumbangkan 1 juta Ton beras ke benua Afrika. Perlu kita ketahui, pupuk urea, pestisida, dan segala macam pernak pernik obat pertanian pertama kali dikenalkan dan digalakkan zaman Soeharto. Tak pelak gelar “bapak pembangunan” membuat Soeharto dinina bobokkan dalam cengkraman absolutisme kekuasaan. UUD diamandemen sesuai kehendak, GBHN digalakkan, bahkan Pancasila tidak luput dari rekayasa Orde baru untuk melanggengkan status quo, melalui penataran PMP, yang berdampak segala lawan atau orang dicuragai sebagai “biang kerok” dapat dengan mudah dijatuhi hukuman atau dihilangkan dengan alasan tidak Pancasilais.

Yang menjadi sorotan keduanya, mereka sama-sama memiliki kekuasaan melampaui pejabat pada umumnya. Mereka berdua memiliki persamaan yang sulit dielakkan, sama - sama dipuja, disanjung, dan mengidap absolutisme kekuasaan.

Bercerita tentang pemimpin yang dipuja, disanjung, dielu - elukan, dan digadang - gadang sebagai pemimpin “ideal” masa depan yang mempunyai “Citra” bersih, jujur, tegas, berani , tanpa kompromi tidak bisa dilepaskan dari nama Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok.

Gaya komunikasi Ahok yang begitu khas, mendobrak sekat sekat ketabuan formal. Komunikasi politik ahok adalah sebuah dekonstruksi komunikasi politik antar lembaga pemerintah, legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang penuh ketenangan dan sensitifitas. Ahok tak segan membuka ruang konfrontasi antara dirinya dengan DPRD Jakarta terkait pengadaan UPS yang menyedot anggaran.

Transparansi publik mulai diberlakukan dalam pemerintahannya yang dimulai pada era gubernur Jokowi dengan sistem Lelang jabatan. E-badgeting dan impiannya menjadikan Jakarta Smart City yang terkoneksi dalam satu genggaman teknologi menjadi salah satu solusi nyata memotong kerumitan rantai birokrasi.

Naluri ahok sebagai pengusaha yang menerapkan pola “jual beli” diterapkan di semua lini pemerintahannya. Gaji PNS DKI dinaikkan 3 kali lipat, Ahok pun meminta tanggung jawab penuh atas tugas mereka. Ribuan PNS dimutasi dan distafkan jika tidak sesuai standar. Untuk kepala dinas, diberi waktu 6 bulan untuk membuktikan kelayakannya, jika dalam tenggat waktu yang ditentukan belum juga maksimal, sang kepala dinas akan distafkan. Bahkan pasukan pembersih sampah DKI sekarang dapat hidup layak dengan gaji diatas UMR. Istilah jalanannya “lu jual, gua beli” “gua beli, lu bohongi pergi Aja kelaut”

Tokoh yang Humanis, begitulah Ahok memposisikan dirinya dalam berbagai kesempatan wawancara terkait kebijakannya dalam penataan kota. Kebijkannya Gusur – bangun, gusur bangun tak hanya berhenti disitu, dia menyiapkan Rumah susun sederhana (Rusunawa) lengkap beserta prabotannya untuk fasilitas warga yang terkena penggusuran. Dalih Ahok, belum ada kebijakan gubernur yang sehumanis dia, bahasa Ahok adalah “memanusiakan Manusia).

Dalam ketegasan dan independensi tak perlu dipertanyakan, Ahok berani menentang dan dengan lantang menegaskan keluar dari partai Gerindra, yang ketika itu mengusulkan dan menyetujui pemilihan kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi melalui DPR seperti zaman Soeharto. Saat itu Ahok berdiri sendiri, dan menjadi satu-satunya pemimpin daerah secara de facto tidak tergabung dalam partai politik manapun.

Jurus mabuk Ahok terus dipertontonkan, ketika bursa calon kepala daerah bergema, dia memutuskan maju melalui jalur Independent, padahal banyak partai politik yang menginginkan Ahok. Sebagai syarat calon gubernur Independent, harus mengumpulkan Photo Copy KTP 6,5 dari DPT (daftar pemilih tetap ) DKI Jakarta yang berati mengumpulkan minimal 600 ribuan photo chopy KTP. Jurus mabuk Ahok untuk memutuskan bertarung secara Independent melahirkan komunitas TEMAN AHOK sebagai representasi masyarakat DKI yang menginginkannya tetap menjadi gubernur DKI pada tahun berikutnya.

Lengkap sudah alasan Ahok menjadi Incumben terkuat dan paling ideal, nyaris tanpa celah. Ahok bak Soekarno yang kebal kritik, kuat dan begitu superior. Siapapun yang mengkritik Ahok, pasukan Teman Ahok maupun simpatisannya akan memberi cap anti perubahan, katrok, bahkan argumen yang mengkritik Ahok selalu dicurigai sebagai musuh politik yang pasti salah. se-profesor apapun gelarnya, doktor manapun tak mampu merontokkan “sekat itu”, pada akhirnya lebih baik mundur dari pada dibully dimedia sosial.

Kontroversi Ahok berlanjut, keputusannya membeli sebagian lahan RS. Sumber waras seharga Rp. 755 Miliar dipersoalkan dan dipertanyakan lawan politiknya di DPRD - di sini saya tidak akan berbicara terkait muatan politis yang menungganginya, karena terlalu subyektif - Hingga Badan Pengaudit Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp.191 Miliar dengan gagah dan perkasa, Ahok berbicara lantang dalam berbagai wawancara dimedia “ BPK ngaco” dan dia hanya percaya kepada lembaga KPK, karena KPK pernah mengeluarkan Statemen resmi terkait kasus RS. Sumber Waras bahwa belum ditemukan indikasi penyelewengan.

Dari sini memunculkan opini apapun dan siapapun yang bertentangan dengan Ahok, akan menjadi musuh negara. Jadilah BPK menjadi bahan nikmat bullying dimedia sosial, segala aib dan “sangkaan” (pembuktian terbalik) terkait isu yang menjerat pejabat teras BPK menjadi viral dimedia Daring untuk mengkokohkan opini bahwa BPK adalah lembaga audit tidak independen, brengsek, penuh mafia, dan sarat dengan muatan politis. Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa BPK kok malah dibully, dihujat oleh pendukung setia Ahok, bukankah hal seperti ini hanya kontraproduktif, dan menimbulkan kesan bahwa pendukung Ahok hanya sekumpulan orang fanatik! Saya juga tidak tahu.

Drama masih berlanjut, Tepat tanggal 31 Maret 2016 KPK melakukan OTT (operasi tangkap tangan) anggota DPRD Sanusi dari fraksi Gerindra terkait suap Reklamasi laut Jakarta. Puluhan aktivis lingkungan, ribuan nelayan beberapa kali menyampaikan protes tentang proyek tersebut. Puncaknya, seperti temuat diKoran Kompas (18/04/2016) memuat Photo ratusan nelayan yang melakukan demonstrasi dipulau G dan dijadikan Headline.

Memang kebijakan terkait reklamasi dibuat jauh sebelum Ahok. Tetapi kementrian Kelautan dan DPRD sudah memberi rel omendasi terkait penundaan sementara pengerjaam proyek reklamasi, untuk memenuhi AMDAL, dan riset mendalam terkait izin. Hanya dihentikan sementara, bukan total, tetapi Ahokpun bergeming, dia menantang pihak manapun, institusi apapun yang menginginkan proyek reklamasi dihentikan harus merubah Undang Undang untuk mengehentikan proyek tersebut.

Dalam perda DKI, hanya memberi izin untuk reklamasi/pengurukan belum diatur tentang pendirian bangunan yang pastinya harus memerlukan IMB dan segala tetek bengeknya. Faktanya dipulau G sudah ada hunian ruko dan beberapa bangunan yang sudah terbangun bahkan sudah dipasarkan secara masif, tetapi apa yang diharapakan tak muncul datang, yaitu pemberhentian atau teguran langsung dari walikota setempat apalagi gubernur. Yang perlu dicatat, selain proyek reklamasi sangat merugikan banyak pihak dan menguntungkan sebagian kecil, juga sarat dengan aroma Suap, Korupsi dan lobi - lobi kotor.

Padahal Disinilah peran Ahok selaku gubernur DKI ditunggu keputusannya, dialah yang mempunyai wewenang untuk melanjutkan, atau menghentikan sementara. Andai dihentikan total, tidak akan mungkin, sebab pasti akan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Yang dibutuhkan hanyalah win win Solutions antara nelayan, alam dan pengembang.

Ajaibnya, tidak ada riak riak pembelaan atau sanggahan oleh teman Ahok, sunyi senyap, menghilang tanpa jejak. Seluruh masyarakat Indonesia dapat diapastikan mempunyai opini yang sama, kenapa pak Ahok kok ngotot reklamasi adalah harga mati ! kenapa gelombang protes nelayan Seolah hanya angin lewat! Jadi jangan salahkan, jika muncul opini bahwa kebijakan Ahok hanya runcing ke bawah tumpul ke atas.

Dititik inilah pengawasan dan kritik sangat perlu dilakukan, terutama bagi simpatisan TEMAN AHOK yang notabenenya sebagai basis pendukung yang menginkan Ahok kembali menjadi gubernur, mampu memposisikan diri sebagai sekumpulan orang yang memberi dukungan penuh berupa penggalangan suara, harus pula berupa kritikan konstruktif bagi calon yang dibela, bukan gerombolan pendukung fanatik yang bersembunyi tangan tanpa kontribusi ketika idolanya membutuhkan.

Absolutisme kekuasaan adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa bisa lagi ditangguhkan. Pujian, sanjungan yang melengkapi prestasi, acap kali membuatnya menjadi pahlawan tanpa bisa diganggu lawan. Kritik dan saran yang awalnya sangat dibutuhkan, kini menajdi ocehan dan tuduhan yang harus dilawan. Sudah tidak ada lagi benar atau salah, yang ada hanya lawan atau kawan. Jika dulu hanya hakim yang mampu memtuskan, sekarang opini juga mempunyai kuasa untuk mewakili suara kebenaran.

 

Salam dari penulis baru kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun