Mohon tunggu...
Cinta AurelliaAzzahra
Cinta AurelliaAzzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi angkatan 2021 Prodi S1 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbandingan dan Implikasi Desain Pembelajaran Setiap Generasi (Baby Boomers, Gen X, Y, Z dan milenial)

20 Desember 2023   00:41 Diperbarui: 20 Desember 2023   00:48 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kawasan teknologi pembelajaran meliputi desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, penilaian dan penelitian proses, sumber dan sistem untuk belajar.  Peran teknologi pembelajaran dalam pemecahan masalah-masalah pembelajaran merupakan kajian praktis dan terapan. Artinya berkaitan dengan pemanfaatan teknologi pembelajaran dalam memfasilitasi belajar manusia. Teknologi pembelajaran baik sebagai disiplin ilmu, program studi maupun profesi terus mengalami perkembangan yang pesat.

Perkembangan teknologi pembelajaran yang pesat ini dengan mengambil empat ciri utama, yaitu menerapkan pendekatan sistem, menggunakan sumber belajar seluas mungkin, bertujuan meningkatkan kualitas belajar manusia, dan berorientasi pada kegiatan instruksional individual (Suparman, 2004). Dengan indikator ini teknologi pembelajaran semakin memperhalus dan mempertajam kemampuannya dalam memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Selain itu, merangsang dan memperkuat perkembangan profesi dalam bidang teknologi pembelajar.

Dalam penerapan teknologi dalam pembelajaran, salah satunya melalui pembentukan dan perancangan strategi yang disebut strategi instruksional. Pengembangan sistem pembelajaran (instruksional) merupakan salah satu bentuk pembaharuan sistem instruksional yang banyak dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan, dengan maksud agar sistem tersebut dapat lebih serasi dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, serasi pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan utama meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses pembelajaran. 

Dalam prosesnya, saling berhubungan antara pengidentifikasian TIU, analisis instruksional, TIK, dan tes telah nampak sedemikian hebat. Pengembangan komponen-komponennya juga telah sistematis. Menurut Suparman (2014: 296-304) Pembuatan strategi instruksional harus berdasar atas tujuan instruksional yang akan dicapai sebagai kriteria utama. Susunan aktivitas instruksional pada tahap penyajian, contohnya belum tentu harus selalu UCL (diawali dengan uraian, diteruskan contoh, dan diakhiri latihan), bisa saja mewujud CUL.

Namun demikian, pendekatan yang sistematis dalam kegiatan instruksional ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, dan dengan sebutan yang berbeda-beda pula. Perbedaan ini menyesuaikan karakteristik masing-masing peserta didik yang diajar dalam beberapa kategori. 

Beberapa kategori yang dimaksud misalnya berdasarkan kepekaan, kemampuan, dan tingkat adaptif suatu generasi dengan teknologi serta kategori karakter mayoritas suatu generasi berdasarkan cara memandang kehidupan dan gaya belajarnya. Hal tersebut akan mempengaruhi komponen-komponen pembelajaran yang akan diterapkan dalam suatu pembelajaran. Karena setiap generasi memiliki karakter dan gaya belajar yang berbeda beda dilatarbelakangi berbagai aspek dan faktor yang menimbulkan karakter tersebut akhirnya muncul. Oleh karena itu, analisis perlu dilakukan sebelum menentukan strategi instruksional sebagai perwujudan teknologi dalam pembelajaran sebelum strategi tersebut diterapkan.

  1. Generational Analysis 

  1. Baby Boomers

Generasi Baby Boomers Generasi Baby Boomers adalah mereka yang lahir antara tahun 1946-1964, tepatnya setelah World War II berakhir. Generasi Baby Boomer pertama akan secara resmi memasuki awal usia tua pada tahun 2011 pada usia 65 tahun. Temuan penelitian terbaru menunjukkan bahwa jika anggota kelompok kelompok ini melakukan perilaku dan pola pikir sehat tertentu di usia pertengahan, mereka akan mengalami kehidupan yang vital dan memuaskan di usia 70-an dan seterusnya. Kabar baiknya bagi generasi Baby Boomer menunjukkan semakin banyak bukti bahwa perilaku mereka pada usia 50 tahun akan berdampak pada perasaan mereka pada usia 80 tahun. 

Istilah 'baby boom' sendiri berasal dari lonjakan angka kelahiran di seluruh dunia pasca berakhirnya Perang Dunia II, yang menyebabkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi meningkat sehingga pada akhirnya mendorong perekonomian. Mereka yang hidup di masa ekonomi yang hebat ini memperoleh manfaat dari peningkatan upah, berkembangnya bisnis, dan lebih banyak variasi dan kuantitas produk bagi konsumen. Di Inggris, generasi baby boomer adalah generasi pertama yang lahir di layanan kesehatan gratis (NHS) dan mampu membeli properti bahkan dengan upah paling rendah sekalipun.

Generasi ini tumbuh tanpa teknologi dan internet dan banyak yang berpendapat bahwa mereka enggan beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Secara umum, generasi Baby Boomer memiliki karakteristik sebagai berikut. : 

  • Sulit menerima kritik, namun suka mengkritik generasi muda akibat kurang komitmen dan etika kerja.

  • Memiliki rasa kompetitif yang tinggi.

  • Berorientasi pada pencapaian.

  • Punya rasa percaya diri yang tinggi.

  • Serba bisa.

  1. Gen X

Generasi X merupakan generasi baby boomers latchkey kids karena merasa kesepian lantaran ditinggal orang tuanya bekerja. Karakter ini dipengaruhi oleh kondisi dunia yang pada saat itu sedang mengalami beragam krisis ekonomi, sehingga mereka dituntut untuk mandiri dan pintar dalam mencari peluang. 

  • Dibandingkan dengan Baby Boomer, Gen X lebih memiliki kemampuan bisnis yang lebih baik.

  • Menyukai sesuatu yang tidak formal.

  • Membutuhkan validasi secara emosional.

  • Mandiri dan banyak akal

  • Dapat menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi

  1. Gen Z (Millennial)

Generasi Alpha atau yang dikenal juga sebagai 'anak-anak milenial' merupakan generasi termuda saat ini. Mengingat generasi ini masih berada di usia anak-anak, maka karakteristik umumnya masih belum terlihat jelas. Namun menurut seorang peneliti sosial Mark McCrindle, generasi ini akan menjadi kelompok yang sangat besar dengan hak mereka sendiri. Generasi Alpha juga menjadi generasi yang melek teknologi dan lebih cerdas secara digital dari generasi sebelum mereka. Namun, hal tersebut tentunya dapat menjadi concern bagi orang tua. Pasalnya, dibutuhkan strategi khusus untuk mendidik anak-anak yang lahir pada generasi ini agar mereka menjadi anak yang mahir teknologi namun tetap menghargai nilai-nilai kekeluargaan. Begini karakteristik yang dimiliki oleh Generasi Alpha pada umumnya.

  • Memiliki potensi untuk membawa pembaruan bagi kehidupan sosial dan memajukan masyarakat.

  • Memiliki pemikiran dan opini yang kuat.

  • Tidak suka dibatasi dengan aturan.

  • Senang berinovasi. Mereka tidak takut untuk mencari sesuatu yang baru dan tanpa ragu akan beralih pada hal tersebut.

Dapat dibandingkan bahwa setiap generasi memiliki perbedaan dalam sikap, preferensi, dan gaya belajar mereka. Generasi Baby Boomers cenderung lebih tradisional, Generasi X lebih independen dan fleksibel, sementara Generasi Alpha akan tumbuh dalam lingkungan yang sangat terhubung secara digital. 

  1. Digital Immigrant vs. Digital Native

  1. Digital Immigrant

 Istilah "imigran digital" mengacu pada mereka yang lahir sebelum sekitar tahun 1964 dan tumbuh di dunia pra-komputer. Istilah "imigran digital" dan "penduduk asli digital" dipopulerkan dan diuraikan oleh Dr. Mark Prensky (2001). Dalam istilah yang paling umum, imigran digital tidak akan pernah berurusan dengan teknologi secara alami seperti mereka yang tumbuh bersama teknologi. Dalam artian, generasi ini tidak terlalu adaptif dengan penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka cenderung melakukan aktivitas dengan cara dan pola pikir tradisional.

Sandford (2006) menyatakan bahwa generasi tua lebih berperan aktif. Ia mendukung posisi yang kurang menentukan terhadap teknologi: 'tidak ada dunia baru yang berani, tidak ada hal baru untuk ditaklukkan: apa pun yang kita miliki, kita bangun sendiri dan kita bisa terus membentuk diri kita sendiri'. Orang-orang lanjut usia akan selalu tertinggal/tertinggal dalam berurusan dengan dunia digital. Mereka lebih memilih gaya hidup yang relatif bebas teknologi atau minim teknologi. Mereka cenderung memiliki sambungan telepon rumah, tidak memiliki telepon seluler, dan tidak memiliki akun email. 

Mereka tidak menggunakan sosial media dan hal yang sangat ilustratif. bagi kelompok ini mereka tidak melihat banyak manfaat dari aktivitas ini. Menyadari bahwa teknologi adalah bagian dari dunia saat ini dan mereka mencoba untuk terlibat dengannya, namun teknologi tersebut terasa asing dan tidak intuitif. Kelompok ini sangat beragam dan mungkin mencakup sebagian besar kelompok imigran digital. Meskipun mereka mungkin memiliki telepon seluler biasa, mereka tidak mengirim pesan teks jika dapat membantu. Mereka mungkin menggunakan Google sesekali, tidak memiliki akun Facebook, sesekali memeriksa email, dan mungkin sudah menyerah pada perbankan online. Kelompok ini lebih ditentukan oleh sikap mereka yang berhati-hati dan tentatif terhadap teknologi digital dibandingkan dengan kesediaan mereka untuk menggunakan teknologi tersebut. Immigrant native cenderung mengerjakan suatu hal satu persatu namun ditekuni hingga benar-benar menghasilkan sesuatu yang maksimal. hal tersebut dikarenakan mereka hanya mengenal cara konvensional yang kurang efisien dan memakan waktu yang lebih lama.

Kesimpulannya, Immigrant native cenderung melakukan sesuatu termasuk belajar dengan cara dan sistem yang konvensional tanpa banyak melibatkan teknologi. Mereka cenderung menghargai proses dalam hal tersebut daripada hasil. Sehingga pekerjaan yang mereka lakukan akan cenderung memakan waktu lebih lama namun positifnya output yang dihasilkan juga lebih spesifik dan maksimal.

  1. Digital Native

"Digital native" adalah sebutan untuk orang-orang yang lahir di era digital, yaitu Generasi X ke bawah. Kelompok ini juga disebut sebagai "iGeneration" atau digambarkan terlahir dengan "DNA digital". Digital native merupakan generasi atau golongan peserta didik maupun masyarakat yang terbiasa dan telah beradaptasi dengan teknologi dan globalisasi. Penduduk asli digital berbicara dan menggunakan bahasa komputer dan budaya web tempat mereka dilahirkan. Dengan kata lain digital natives adalah golongan yang lahir di tengah kemajuan penggunaan ilmu teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut kemudian mempengaruhi cara berpikir, tingkah laku, dan kemampuan mereka dalam mempelajari sesuatu.

 Generasi ini tumbuh bersama dengan komputer dan internet sehingga secara alami mahir dengan teknologi dan ruang digital baru, Terlebih lagi, keterlibatan pelajar muda dalam teknologi digital menciptakan pendekatan pembelajaran yang sangat berbeda, yang terutama berkaitan dengan kecepatan akses, kepuasan instan, ketidaksabaran terhadap pemikiran linier, dan kemampuan melakukan banyak tugas.

Studi-studi menyoroti cara kerja kategorisasi 'digital native' yang berupaya untuk menyeragamkan beragam kelompok individu, dengan menggunakan kategorisasi generasi untuk terlalu menentukan karakteristik siswa dan hubungannya dengan teknologi (misalnya Littleton dkk 2005). Berdasarkan penelitian ia menyimpulkan bahwa Studi yang lebih baru (JISC, 2007), meskipun penggunaan teknologi internet, khususnya untuk jejaring sosial, hampir terjadi di mana-mana di kalangan anak usia 16-18 tahun, hal ini tidak berarti bahwa kelompok ini menginginkan pendekatan yang lebih berfokus pada teknologi. pengajaran dan pembelajaran di universitas. Sebaliknya, 'pada dasarnya, kelompok usia ini menduga bahwa jika semua pembelajaran dimediasi melalui teknologi, hal ini akan mengurangi nilai pembelajaran. 

Sebagai gambaran sekilas, nenek moyang kita mungkin akan terkejut dengan cara kita menggunakan telepon daripada bertemu langsung. Jadi mungkin masalahnya adalah penyesuaian terhadap perubahan, bukan kemajuan teknologi terkini. Penduduk asli digital sering dikritik oleh imigran digital karena kebiasaan mereka melakukan banyak tugas.

Berbeda dengan pandangan umum mengenai multitasking, ketika menyangkut tugas-tugas yang lebih kompleks, orang tidak benar-benar melakukan banyak tugas, mereka hanya berpikir mereka melakukannya. Otak tidak dapat memproses dua tugas kognitif tingkat tinggi atau kompleks secara bersamaan. Ketika menghadapi tugas-tugas kompleks, otak berosilasi (beralih) di antara dua tugas atau lebih. Dalam bahasa umum, otak "melompat" dari satu tugas ke tugas lainnya. Mengemudi sambil berbicara di telepon atau membaca sambil mendengarkan musik adalah contoh multitasking. Sebaliknya, mengirim SMS, menonton YouTube, dan memperbarui profil Facebook seseorang dilakukan secara berurutan, dan satu aktivitas dalam satu waktu, sehingga dianggap sebagai 'peralihan tugas' atau berpindah-pindah. Penduduk asli digital tumbuh di dunia yang penuh dengan rangsangan - warna-warna mencolok di TV dan Internet, game yang bergerak cepat, ponsel, dll. Otak mereka - seperti yang mungkin diketahui oleh banyak imigran - "melompat" lebih cepat dibandingkan otak orang dewasa. Ini adalah kombinasi dari fungsi usia mereka (waktu respons yang lebih cepat bagi generasi muda pada umumnya) dan generasi mereka (dibesarkan di dunia di mana lompatan cepat adalah "norma")

  1. Implications for Instructional Design

Implikasi dari perbedaan generasi Baby Boomers, Generasi X, dan Generasi Alpha terhadap desain instruksional adalah bahwa perlu mempertimbangkan preferensi, pengalaman, dan karakteristik khusus dari setiap generasi untuk menciptakan pengalaman pembelajaran yang efektif dan relevan. Berikut adalah beberapa implikasi khususnya:

  • Generasi Baby Boomers (Kelahiran sekitar 1946-1964):

Generasi baby boomer mandiri dan mandiri karena mereka tumbuh di era reformasi dan percaya bahwa mereka mampu mengubah dunia. Mereka sudah terbiasa mempertanyakan pihak berwenang dan mengubah status quo, yang berarti menantang praktik di tempat kerja dan tidak takut akan konfrontasi. Saat merancang kursus e-learning untuk generasi baby boomer, para profesional harus menciptakan sistem umpan balik yang memungkinkan kekhawatiran mereka didengar. Ketika mereka ingin belajar, mereka dengan senang hati melakukannya sendiri, yang berarti ketika merancang sistem pembelajaran, para profesional e-learning harus memberi mereka kendali atas pengalaman belajar mereka sendiri dengan membiarkan mereka memilih modul mana yang ingin mereka selesaikan. Bagi banyak orang di generasi ini, posisi, tunjangan, dan prestise memotivasi mereka untuk bekerja keras dan ditentukan oleh pencapaian profesional mereka. Mereka percaya kesuksesan datang ketika seseorang mendedikasikan waktu dan upaya untuk kariernya, seringkali dengan mengorbankan keseimbangan kehidupan kerja yang baik.

  1. Pendekatan Tradisional: Baby Boomers cenderung merespon baik pada pendekatan pembelajaran yang lebih formal dan tradisional. Oleh karena itu, desain instruksional dapat mencakup kuliah tatap muka, panduan cetak, dan buku teks.

  2. Penghargaan pada Pengalaman: Karena generasi ini memiliki banyak pengalaman hidup, mengintegrasikan pengalaman mereka ke dalam pembelajaran dapat membantu menarik perhatian dan memotivasi mereka.

  3. Umpan Balik Personal: Mereka mungkin lebih menghargai umpan balik langsung dari instruktur, jadi penting untuk menyediakan waktu untuk konsultasi individu dan diskusi.

  • Generasi X (Kelahiran sekitar 1965-1980):

  1. Fleksibilitas dalam Pembelajaran: Generasi X lebih terbuka terhadap berbagai macam pendekatan pembelajaran, termasuk pembelajaran online dan mandiri. Oleh karena itu, desain instruksional harus lebih fleksibel.

  2. Pendekatan Interaktif: Mereka mungkin merespon lebih baik pada pembelajaran yang interaktif dan kolaboratif. Penggunaan diskusi kelompok, studi kasus, dan proyek bersama bisa efektif.

  3. Teknologi: Generasi X mungkin lebih nyaman dengan teknologi, jadi desain instruksional harus mencakup penggunaan alat-alat teknologi seperti platform e-learning dan sumber daya online.

  • Generasi Alpha (Kelahiran sekitar 2010-an):

  1. Pembelajaran Digital: Generasi Alpha akan sangat terbiasa dengan teknologi, jadi pembelajaran berbasis digital akan menjadi norma. Desain instruksional harus mencakup penggunaan aplikasi edukasi, video interaktif, dan platform online.

  2. Pembelajaran Visual: Mereka mungkin cenderung belajar melalui gambar dan video, jadi menggunakan elemen visual dalam desain instruksional dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran.

  3. Kolaborasi dan Jaringan: Konektivitas digital adalah bagian alami dari hidup mereka, jadi pembelajaran yang berfokus pada kolaborasi dan jaringan dengan teman sebaya bisa sangat efektif.

  4. Pemahaman Terhadap Kepemimpinan: Generasi Alpha juga bisa memahami dan merespon pada pelatihan kepemimpinan yang lebih dini.

Dalam semua kasus, penting untuk mengambil pendekatan yang inklusif dan mempertimbangkan variasi individu dalam preferensi dan gaya pembelajaran, bahkan dalam generasi yang sama. Dalam desain instruksional, fleksibilitas adalah kunci untuk memenuhi kebutuhan beragam generasi dan siswa.

  1. Proposed Instructional Strategies

Untuk menentukan strategi instruksional yang akan diterapkan, terdapat Komponen utama dalam strategi instruksional yang secara garis besar harus diperhatikan meliputi urutan kegiatan instruksional, garis besar isi instruksional dan sistem peluncuran yang terdiri dari metode instruksional, media dan alat instruksional, serta alokasi waktu. Pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan instruksional. Semua komponen sistem ini (tujuan, materi, media, alat, evaluasi) dalam hubungannya satu sama lain dipandang sebagai kesatuan yang teratur sistematis. Prinsip pengembangan sistem instruksional tentunya mempunyai prinsip dasar yang sama dengan teknologi pendidikan, yakni: berfokus pada siswa, menggunakan pendekatan sistem, dan berupaya memaksimalkan penggunaan berbagai sumber belajar.

  1. Baby Boomers

Baby Boomers cenderung tidak mau menerima kritik, melihat uang dan pengakuan dari lingkungan adalah target mereka. Generasi ini menganggap hidup untuk bekerja dan menjunjung tinggi loyalitas serta dedikasi. Dalam hal pembelajaran, generasi baby boomer menyukai lingkungan yang kompetitif dan memiliki tujuan yang sudah jelas. Mereka adalah generasi yang terbiasa dengan struktur hierarki dan kesulitan menghadapi tren fleksibilitas tempat kerja saat ini karena mereka lebih percaya untuk bertemu rekan kerja secara langsung dibandingkan bekerja dari jarak jauh. Generasi baby boomer belajar dengan baik dari permainan yang mendorong persaingan, perolehan poin, dan lencana. Ketika mereka di peringkat melawan rekan-rekannya, persaingan akan mendorong mereka untuk meningkat.

Daripada membaca sekilas topik dan mendapatkan gambaran umum tentang suatu bidang tertentu, generasi baby boomer lebih memilih untuk membahas topik tertentu secara mendalam sebelum melanjutkan ke topik berikutnya. Dengan etos kerja yang kuat, generasi ini termotivasi untuk belajar sebanyak-banyaknya, meskipun hal ini secara tidak sengaja membebani proses mental mereka. Saat merancang kursus e-learning, generasi baby boomer akan menyimpan informasi dengan lebih baik dalam modul yang ringkas, sehingga mereka tidak merasakan tekanan untuk menyelesaikan semua pekerjaan mereka sekaligus.

Mayoritas generasi baby boomer terorganisir dengan baik dan menyukai struktur, karena struktur adalah sesuatu yang sudah mereka miliki sejak kecil. Meskipun mereka menyukai kemandirian e-learning, penting juga untuk memberi mereka kursus pembelajaran terstruktur yang menyediakan jadwal dan tenggat waktu untuk menyelesaikan tugas.

Sehingga strategi yang cocok digunakan adalah strategi yang terstruktur dan terancang dengan baik serta terdapat sistem reward yang mampu meningkatkan bersaing mereka secara individu. dalam kasus tersebut diperlukan model Model Pengajaran Transmisi yang Berpusat pada Guru. Selain itu, memiliki sistem tenggat yang pasti dalam penugasannya. Dalam hal tersebut, strategi yang cocok digunakan adalah Strategi Pembelajaran Ekspositori dengan model Blended Learning Model  dan Problem Based Learning karena generasi ini suka mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan pengalaman pribadi mereka dan cenderung menyukai pekerjaan yang bersifat individu serta mengizinkan siswa untuk merancang pengalaman pendidikan mereka dengan memilih kursus online tertentu untuk melengkapi pengalaman mereka kursus tradisional di sekolah. Teknik yang dapat digunakan adalah Scaffolding dan Concept Mapping.

  1. Generation X

Fauziah dan Prabowo (2017) mengungkapkan bahwa tantangan yang dirasakan pada generasi X berbeda walau teknologi sudah mulai bermunculan, namun kesadaran individu akan hal itu masih minim. Pada Gen X, perkembangan teknologi belum sedemikian pesat seperti saat ini. Generasi X dibesarkan oleh orang tua (baby boomers) yang gila kerja (workaholic). Kondisi tersebutlah yang membuat generasi X tumbuh sebagai generasi yang mandiri, pekerja keras, berorientasi pada karier, fleksibel, dan problem solver (pemecah masalah) yang baik. Melihat kedua orang tuanya banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah, para generasi X mulai berpikir untuk mencari alternatif selain pekerjaan formal, seperti dengan berwirausaha atau bekerja di rumah. Generasi ini cenderung tidak suka pembelajaran yang bertele-tele dan cenderung mempelajari hal dalam konteks tertentu saja tanpa harus terpecah kemana-mana. artinya, mereka mengutamakan efisiensi dan hal yang cenderung simple. Sehingga strategi yang cocok untuk digunakan adalah Strategi Pembelajaran Kontekstual (CTL) dengan model Blended Learning Model dengan teknik Concept Mapping dan Case Study.

  1. Millennials / Gen Y

Berbeda dari generasi sebelumnya, para milenial lebih suka belajar secara berkelompok dibanding belajar secara individu. Mereka menyukai aktivitas pemecahan masalah dalam kelompok kecil. Teknologi merupakan suatu hal yang akrab bagi kehidupan para milenial. Oleh sebab itu, mereka juga sebisa mungkin akan menggunakan teknologi saat belajar. Contoh paling sederhana adalah dengan melakukan browsing internet saat belajar atau mengerjakan tugas. 

Mereka tumbuh di dunia yang telah mahir menggunakan media sosial dan juga smartphone, sehingga mereka dikenal dapat diandalkan dalam hal pemanfaatan teknologi (tech-savvy). Generasi ini sering dinilai sebagai generasi yang malas karena sering bermain ponsel. Namun, sebenarnya generasi ini adalah generasi yang memiliki keingintahuan tinggi, percaya diri, dan merupakan generasi yang paling banyak membaca. Dikutip dari Forbes, generasi yang lebih dikenal sebagai milenial ini mempunyai passion yang besar dan sangat kreatif untuk membuat passion mereka menjadi sumber penghidupan. Mereka suka bekerja, suka berpetualang, dan penuh gairah untuk melakukan hobi yang menjadi bagian penting dari pertumbuhan dan perkembangan pribadinya.

Experiential learning merupakan metode ajar di mana siswa belajar dari pengalaman. Jadi, guru tidak lagi hanya mengajar teori, tetapi juga mengajak siswa untuk praktek. Dengan demikian, siswa lebih aktif dan mendapat tambahan ilmu dari pengalamannya. Sehingga model yang tepat untuk digunakan adalah Problem Based Learning dan Project Based Learning dalam Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) dengan menggunakan teknik Think-Pair-Share, Jigsaw. dan Case study.

  1. Generation Z

Karena karakteristik Generasi Z yang lebih menyukai metode belajar learning by doing sebagaimana generasi sebelumnya, mereka lebih suka bereksperimen atau melakukan praktek, dibanding duduk di kelas saja. Dengan hal ini, guru-guru pun harus lebih kreatif saat mengajar para generasi Z. Multitasking menjadi salah satu hal yang dikuasai oleh generasi Z. Multitasking adalah mengerjakan berbagai tugas dalam satu waktu. Kemampuan multitasking Gen Z ini disebabkan oleh seringnya mereka membagi waktu dengan banyaknya tugas yang ada.

Pada karakter ini, generasi Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan sejawatnya. Dalam pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa dan mengkondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Dunia pendidikan harus berkesempatan merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan. Kenyamanan belajar merupakan hal utama yang harus dirasakan oleh generasi Z. Generasi Z memiliki karakter hiperkustomisasi atau penyesuaian identitas mereka sendiri agar dikenal dunia. Sebagai peserta didik karakter ini menyebabkan mereka menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang digunakannya. Sehingga strategi yang cocok digunakan adalah Strategi Pembelajaran Kooperatif / SPK atau Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) dalam model Problem Based Learning atau Project Based Learning. Teknik yang dapat digunakan adalah Peer Teaching, Jigsaw, dan Case Study.

  1. Generasi Alpha

Generasi alpha terbiasa memiliki akses langsung ke informasi yang dibutuhkan, sehingga membuat metode pembelajaran lama menjadi hal yang kuno baginya. Anak-anak generasi ini pun akan belajar dengan kecepatan mereka sendiri, pengalaman belajar yang dipersonalisasi dan ditargetkan untuk mengimbangi kemampuannya. Bersama dengan ruang kelas, modul, dan tutorial pembelajaran online akan memfasilitasi pendekatan mereka terhadap pendidikan. Generasi alpha akan berinteraksi serta bersosialisasi secara dominan dengan teman dan rekannya melalui media sosial. Dengan media sosial, anak-anak ini akan selalu terhubung sepanjang hari, dan membawa serta kekhawatiran tentang privasi dan bullying di media online. Penerimaan seorang siswa untuk bersosialisasi pun dihitung dengan seberapa besar mereka disukai secara online, Bunda. Meskipun hal ini kini menjadi norma, anak generasi alpha perlu diajari tentang pentingnya interaksi dengan orang lain secara langsung dengan bertatap muka. 

Mereka hidup di dunia dengan stimulasi kognitif yang konstan, sehingga anak generasi alpha membutuhkan lebih banyak struktur dalam hari-hari mereka agar tidak gelisah. Selain itu, anak generasi alpha juga khawatir terhadap adanya tekanan dari teman sebayanya. Untuk itu, mereka berlomba agar bisa berprestasi di sekolah dan menginvestasikan waktu demi mengikuti kegiatan ekstrakurikuler agar berprestasi. Bagi generasi ini, artificial intelligence (AI) mendominasi realitas mereka dan merupakan bagian alami dari kehidupan mereka. Ini juga menjadi faktor bagaimana mereka akan melihat dunia dengan banyaknya informasi yang disajikan. Generasi ini sangat bergantung pada sistem pembelajaran yang tidak formal dan tidak terikat serta peran internet, sosial media, dan AI sebagai sumber belajar mereka. Model inquiri, discovery, dan PBL cocok untuk generasi ini. Metode Jigsaw dan resitasi melalui blended learning dapat digunakan untuk mengurangi rasa bosan dan pembagian peran dalam kelompok belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun