Mohon tunggu...
Audrey Pasha
Audrey Pasha Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Hobi: menulis, travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Hitam

9 Oktober 2023   14:51 Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:10 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pixabay/ PublicDomainPictures

Ibuku meninggal saat aku berusia lima tahun karena kecelakaan tragis. Dua tahun kemudian, ayahku menikah lagi. Aku hidup bersama seorang ibu tiri yang usianya jauh lebih muda dari ibuku, dengan gaya hidupnya yang glamor hingga menguras harta ayahku yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. 

Ayahku lebih banyak bertugas di luar negeri. Ia seorang koki yang bekerja di sebuah restoran terkenal di Paris. Aku tahu ia mencintaiku dan karenanya ayahku memutuskan menikah lagi agar aku mendapatkan kasih sayang seorang wanita yang seharusnya pantas kusebut sebagai seorang ibu.

Namun tidaklah demikian yang terjadi. Wanita itu tak ubahnya seperti seekor lintah penghisap darah. Setiap kali ayahku berangkat ke Paris, ibu tiriku akan mengundang teman-temannya untuk berpesta di rumah. Mereka menghabiskan malam dengan makan, meminum minuman keras, berjoget seperti orang gila dengan musik keras yang mengganggu telinga.

Aku lebih sering mengurung diri di dalam kamar, menyibukkan diri dengan boneka beruang pemberian mendiang ibuku. Seorang pengasuh ditugaskan untuk menemaniku namun saat malam hari, pengasuhku pulang ke rumahnya, dan aku akan kembali kesepian.

Suatu ketika saat usiaku menginjak empat belas tahun, aku merasa penasaran dengan suasana pesta yang digelar oleh ibu tiriku. Diam-diam aku keluar dari kamarku yang berada di lantai dua untuk mengintip ke bawah. Aku memberanikan diri karena jika sampai ibu tiriku melihatku, ia pasti akan membentakku hingga jantungku mencelos dari tubuhku yang kurus.

Alunan musik berdengung di lantai bawah. Sepasang pria dan wanita berdansa saling berpelukan seolah saling mencintai. Lampu yang temaram ditambah hawa dingin yang meremukkan tulang membuat suasana semakin mendukung dua insan yang dimabuk asmara. Tubuh keduanya menempel, sesekali tampak saling berbisik, hingga tangan sang pria merajai punggung pasangannya yang terbuka. Adegan yang membuat naluriku bergerak ingin mencari tahu lebih dalam.

Aku bergerak perlahan, menjejakkan kakiku di anak tangga yang terbuat dari batu marmer pilihan mendiang ibuku. Kusembunyikan tubuhku yang kurus di balik tiang besar saat aku tiba di bawah. Aku mengintip seperti seekor tikus kelaparan yang hendak memangsa daging merah beraroma rempah. Dan saat itulah aku melihat tikus raksasa menyantap hidangan lezat bergaun merah gelap beraroma moringa yang menusuk hidung. Pria itu meniduri istri ayahku.

Aku terkesiap. Mataku terbelalak, nafasku hampir sesak. Aku menyaksikan adegan yang seharusnya tidak pantas untuk usiaku yang masih empat belas tahun. Aku merayap ke bawah tangga, berusaha bersembunyi, dengan kulit merinding akibat ketakutan, juga rasa panas akibat kemarahan. Marah karena wanita busuk itu mengkhianati ayah kandungku.

Duduk seperti seekor anjing yang menunggui majikannya yang sedang bersenang-senang dengan cara yang tidak pantas, kusembunyikan wajahku di lipatan lututku. Aku tidak sanggup menyaksikan apapun yang ada di rumah ini, di ruang tengah, di tempat terbuka yang biasanya kugunakan untuk menghabiskan waktu bersama mendiang ibuku.

Hingga beberapa lama kemudian, lampu menyala begitu terang, membuat mataku yang sembab terbuka lebar. Sosok wanita mengenakan pakaian dalam berdiri menjulang di hadapanku. Di sebelahnya sosok pria mengenakan celana pendek bertelanjang dada memandangku dengan tatapannya yang licik. Dan bisa ditebak apa yang selanjutnya terjadi. Wanita yang hidup dari kekayaan ayahku, menarik tubuhku keluar dari bawah tangga, lalu melemparku ke lantai. Tersungkur seperti boneka usang yang tiada harganya.

Tidak sampai disitu saja. Aku mendapatkan tamparan keras dari ibu tiriku. Bibirku berdarah, pipiku lebam. Aku berusaha berlari, namun wanita jahat itu menangkapku dengan mudah. Ia kembali menghajarku, mengambil sebuah sapu, lalu memukulku tanpa ampun.

Sang pria diam, tidak berusaha memberiku pertolongan, tidak pula berusaha menghentikan kekejaman wanitanya yang kerasukan iblis. Aku berteriak memanggil mendiang ibuku, berharap ia hadir memberiku pertolongan. Pandanganku gelap, aku kembali terjatuh di lantai, setelah kepalaku membentur kaki meja yang terbuat dari akar kayu. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi kemudian sampai aku membuka mataku kembali, saat matahari mengintip dari celah jendela kamarku.

Ibu tiri mengancamku agar tidak menceritakan kejadian malam itu kepada ayahku. Ia mengancam akan menghabisi nyawaku dengan racun jika aku menolak perintahnya. Saat itu aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin mati sia-sia karena aku tahu, kematianku hanya akan membuat wanita jahat itu merasa senang.

Ibu tiriku terus mengulangi pengkhianatannya. Ia bahkan sering berganti pasangan, seperti layaknya wanita nakal yang menjajakan diri demi uang. Aku tahu bukan uang yang diinginkan ibuku, melainkan kepuasan, kesenangan duniawi, yang mungkin disebabkan rasa kesepian akibat ayahku yang sering meninggalkannya untuk bekerja dalam waktu yang lama.

Suatu malam ibu tiriku dalam keadaan mabuk. Ia masuk ke dalam kamarku lalu menarikku keluar. Ia menyuruhku menyaksikan perbuatan gilanya bersama kekasih gelapnya. Setelah selesai, ia akan menghajarku. Ia memukul wajahku, menarik tubuhku, dan membenturkannya ke tembok. Ia memakiku, menyebutku sebagai gadis pembawa sial. Dan setelah puas menyiksaku, ibu tiriku akan meninggalkanku di lantai. Ia berjalan ke kamar bersama kekasihnya yang tidak tahu malu untuk melanjutkan aksi bejatnya.

Kejadian itu berlangsung terus menerus. Aku tersiksa dan rasanya ingin menyusul ibuku ke alam keabadian. Seringkali aku bertanya pada diriku sendiri. Untuk apa aku dilahirkan di muka bumi ini jika hanya untuk mendapatkan ketidakadilan. Demi apa ibuku bersusah payah mengandung perempuan sepertiku, yang setiap kali dilanda kesedihan, penderitaan, juga rasa sakit hati yang tak berkesudahan. Aku bukan gadis pembawa sial seperti yang dituduhkan wanita itu karena sesungguhnya akulah gadis yang mendapatkan kesialan karena kehadirannya.

Pengasuhku yang terus mendampingiku sekalipun aku sudah beranjak remaja, yang selama ini menjadi tempatku mencurahkan isi hatiku, lebih banyak diam. Ia hanya menyarankanku untuk menutup mulut, demi keselamatanku, juga demi masa depanku. Ia berkata, akan tiba saatnya bagiku membalas kekejaman ibu tiriku, membuka pikiran ayahku mengenai kenyataan pahit yang terjadi tanpa sepengetahuannya selama ini.

Menginjak usia tujuh belas tahun, aku mulai menikmati kebebasan. Ibu tiriku yang tidak pernah memperhatikanku, tentu saja tidak peduli saat teman-teman mengajakku menikmati dunia malam yang gemerlap. Aku pergi ke sebuah club malam, menghabiskan waktu dengan bersendau gurau, sambil sesekali mencicipi wine. Dan di tempat itulah aku bertemu dengan Kenzo, pria tampan yang memperlakukan aku seperti seorang ratu.

Setelah lulus dari bangku SMA, aku memutuskan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Aku berhasil masuk ke universitas favorit di Amerika dengan jalur bea siswa. Ayahku sangat bangga dengan keberhasilanku dan ia justru memberikan pujian pada ibu tiriku yang dianggap mampu mendidikku dengan baik. Ayahku memberikan sebuah mobil mewah untuk ibu tiriku sebagai hadian dan hal itu membuat ambisiku untuk menghancurkan wanita penyihir itu semakin meningkat.

Aku sengaja mengambil kuliah di tempat yang sangat jauh dari negara asalku. Alasan utama adalah untuk menjauh dari ibu tiriku yang jahat. Alasan berikutnya adalah untuk mempersiapkan masa depanku. Aku mempunyai misi untuk membalas kekejaman ibu tiriku, membongkar aibnya di hadapan ayahku, bahkan jika bisa, aku ingin mengusirnya dari kehidupan kami. Aku ingin melihatnya hidup sengsara seperti budak kelaparan yang disiksa majikannya.

Hubunganku dengan Kenzo berjalan dengan lancar. Sesekali ia mengunjungiku di negeri Paman Sam. Kenzo memilih untuk kuliah di Indonesia sembari menjalankan bisnis ayahnya di bidang tekstil. Kenzo pria yang sangat baik. Bahkan menginjak ketiga tahun hubungan kami, Kenzo sudah melamarku. Ia ingin menikahiku dan tentu saja aku merasa bahagia dengan lamarannya.

Lima tahun berlalu. Aku lulus dengan nilai yang membanggakan. Perusahaan kelas atas menawariku pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku menabung, membuka toko untuk menambah penghasilanku, hingga pada akhirnya aku kembali ke tanah air untuk membeli sebuah perusahaan di Indonesia yang hampir bangkrut.

Aku bekerja keras, bahkan sangat keras. Kadangkala aku tidak tidur hingga pagi kembali menjelang. Aku hampir tidak punya waktu untuk menikmati kesenangan bersama teman-temanku. Aku bersusah payah menghidupkan kembali perusahaan yang hampir mati, menarik kepercayaan konsumen untuk memakai produk yang kami hasilkan, dan sampai pada akhirnya akupun mulai menikmati hasilnya.

Pernikahanku dengan Kenzo akhirnya berlangsung. Aku tidak mengundang banyak orang, hanya beberapa kerabat, juga teman dekat yang masih sering menghubungiku. Ayahku tentu saja hadir untuk menikahkan kami berdua. Pria yang terlihat semakin tua itu datang bersama ibu tiriku yang tampak mempesona dengan gaun malam berwarna gelap. Gaun malam yang memperlihatkan belahan dadanya yang bagiku amatlah menjijikkan.

Kenzo. Pria berdarah timur tengah dengan hatinya yang sebersih kapas putih. Pria yang memikat hatiku pada pandangan pertama, pria yang membuatku merasakan jatuh cinta hingga aku rela menyerahkan hidupku padanya. Pria tampan berambut coklat tembaga, dengan matanya yang tajam memancarkan ketegasan seorang pelindung. Pria dengan tubuh berotot yang sangat maskulin, yang mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Pria tampan yang berada bersamaku di atas ranjang pengantin bertabur kelopak bunga mawar.

Aku dan Kenzo sepakat untuk menunda kehamilan. Kami masih ingin menikmati kebersamaan, meniti karir, dan menghabiskan waktu untuk sekedar duduk berdua di sebuah kafe sembari menikmati alunan musik jazz.

Beberapa tahun berlalu. Secangkir kopi hitam tanpa pemanis menemani malam yang kelam dengan rintik hujan yang turun membasahi pertiwi. Duduk termenung di sudut ruangan seraya memikirkan hal-hal yang sudah menimpaku selama lebih dari seperempat abad aku menghirup nafas di dunia yang teramat membingungkan.

Aku menarik nafas panjang, kuteguk minumanku, hingga kurasakan hawa hangat mengalir melalui pundakku yang terbuka. Aku menatap langit yang tak juga berubah warnanya. Gelap, suram, seperti yang kualami saat ini. Aku kesepian. Sudah hampir sebulan lamanya ia menghabiskan waktunya di Kairo untuk mengibarkan sayap bisnisnya.

Gaun malam berwarna hijau lumut, dengan kalung berliontin berlian berbentuk prisma menghiasi leherku yang kuning langsat. Gaun yang kubeli beberapa bulan yang lalu dari sebuah butik terkenal di Kota Jakarta, untuk kukenakan di perayaan ulang tahun pernikahanku yang ketiga.  

Aku menghirup aroma kopi yang kubuat dengan tanganku sendiri. Di tengah malam buta, di saat orang-orang mulai terlelap dalam tidurnya yang penuh kedamaian, aku membuka jendela kamarku, sekedar untuk menikmati angin sepoi yang bertiup terlalu lambat.

Tidak ada suara yang selama ini kurindukan. Tidak ada ucapan dari pria yang seharusnya merayakan malam ini bersamaku. Aku menjadi sangat melankolis sejak menikah dengan Kenzo. Pria itu menjadikanku perempuan yang rapuh saat berjauhan dengannya.

Terdengar suara ketukan pintu. Aku mengabaikannya. Pelayan tahu jika aku tidak menjawab, artinya aku sedang tidak ingin diganggu. Aku kembali meneguk kopi hitam lalu meletakkannya perlahan di atas meja. Aku ingin duduk di tempat ini hingga pagi menjelang, hingga matahari menyapa, hingga aku sadar bahwa hari ulang tahun pernikahanku telah berlalu.

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Aku berdiri dengan malas. Gaunku kubiarkan terseret di lantai. Salah satu pelayanku berdiri dengan matanya yang mengantuk. Rambutnya tampak kusut, pakaian tidurnya terlihat kumal. Menyedihkan sekali. Padahal aku sudah memberinya gaji yang cukup. Tapi memang seperti itulah Bi Idah. Dia lebih suka menyimpan uangnya dalam bentuk perhiasan daripada membeli pakaian baru.

"Nyonya, ada kabar penting. Nyonya diminta untuk segera pergi ke rumah sakit. Ayah Nyonya baru saja menghubungi melalui nomor telepon rumah."

"Memangnya apa yang terjadi? Bukankah ayahku masih di Paris?"

"Ia hanya mengatakan jika ibu sedang sekarat."

"Benarkah? Berita baik. Biarkan saja. Jika ayahku menghubungi lagi, katakan aku sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit."

"Jadi Nyonya tidak akan pergi malam ini?"

"Tentu saja tidak. Aku akan menghabiskan waktuku di kamar."

Aku menutup kembali pintu kamarku, mengacuhkan Bi Idah yang menatapku dengan bingung. Malam ini aku memang gagal merayakan ulang tahun pernikahanku bersama Kenzo, tapi setidaknya aku bisa merayakan berita bahagia yang baru saja kudengar dari pelayan terbaikku.

Ibu tiriku mengidap kanker serviks stadium empat. Dia sudah menjalani kemoterapi beberapa kali namun penyakit ganas itu masih saja berdiam diri di dalam tubuhnya. Mungkin Tuhan sedang menghukumnya, atau mungkin membersihkannya dari dosa-dosa di masa lalu melalui penyakitnya. Entahlah. Aku tidak terlalu paham. Hanya saja aku merasa senang karena pada akhirnya, aku tidak perlu bersusah payah membalas dendam padanya.

Kunyalakan alunan musik jazz, keteguk kembali kopi pahit yang terasa manis di mulutku. Aku berdiri menatap langit malam yang tak lagi suram. Sebentar lagi cahaya merah akan muncul bersama matahari pagi dan aku akan menanggalkan gaunku, melepaskan berlianku, dan menggantinya dengan pakaian serba hitam, untuk mengunjungi ibu tiriku di rumah sakit. Wanita itu akan segera dikebumikan jasadnya dan aku tidak perlu mengotori tanganku untuk membalas dendam. Tuhan punya cara sendiri untuk menyelamatkanku dari dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun