Mohon tunggu...
Audrey Pasha
Audrey Pasha Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Hobi: menulis, travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Hitam

9 Oktober 2023   14:51 Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:10 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pixabay/ PublicDomainPictures

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Aku berdiri dengan malas. Gaunku kubiarkan terseret di lantai. Salah satu pelayanku berdiri dengan matanya yang mengantuk. Rambutnya tampak kusut, pakaian tidurnya terlihat kumal. Menyedihkan sekali. Padahal aku sudah memberinya gaji yang cukup. Tapi memang seperti itulah Bi Idah. Dia lebih suka menyimpan uangnya dalam bentuk perhiasan daripada membeli pakaian baru.

"Nyonya, ada kabar penting. Nyonya diminta untuk segera pergi ke rumah sakit. Ayah Nyonya baru saja menghubungi melalui nomor telepon rumah."

"Memangnya apa yang terjadi? Bukankah ayahku masih di Paris?"

"Ia hanya mengatakan jika ibu sedang sekarat."

"Benarkah? Berita baik. Biarkan saja. Jika ayahku menghubungi lagi, katakan aku sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit."

"Jadi Nyonya tidak akan pergi malam ini?"

"Tentu saja tidak. Aku akan menghabiskan waktuku di kamar."

Aku menutup kembali pintu kamarku, mengacuhkan Bi Idah yang menatapku dengan bingung. Malam ini aku memang gagal merayakan ulang tahun pernikahanku bersama Kenzo, tapi setidaknya aku bisa merayakan berita bahagia yang baru saja kudengar dari pelayan terbaikku.

Ibu tiriku mengidap kanker serviks stadium empat. Dia sudah menjalani kemoterapi beberapa kali namun penyakit ganas itu masih saja berdiam diri di dalam tubuhnya. Mungkin Tuhan sedang menghukumnya, atau mungkin membersihkannya dari dosa-dosa di masa lalu melalui penyakitnya. Entahlah. Aku tidak terlalu paham. Hanya saja aku merasa senang karena pada akhirnya, aku tidak perlu bersusah payah membalas dendam padanya.

Kunyalakan alunan musik jazz, keteguk kembali kopi pahit yang terasa manis di mulutku. Aku berdiri menatap langit malam yang tak lagi suram. Sebentar lagi cahaya merah akan muncul bersama matahari pagi dan aku akan menanggalkan gaunku, melepaskan berlianku, dan menggantinya dengan pakaian serba hitam, untuk mengunjungi ibu tiriku di rumah sakit. Wanita itu akan segera dikebumikan jasadnya dan aku tidak perlu mengotori tanganku untuk membalas dendam. Tuhan punya cara sendiri untuk menyelamatkanku dari dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun