Keberadaan pemain asing di Liga Indonesia sering menjadi perbincangan hangat. Wacana untuk mengurangi atau menghapuskan pun tak jarang mengemuka. Tudingan bahwa pemain asing menghalangi munculnya bibit pemain lokal, sudah jamak dikemukakan. Keberadaan pemain asing, seringkali hanya dikatakan sebatas menambah daya tarik kompetisi. Benarkah demikian? Mari kita analisa.
Sejak tahun 1994 ketika dimulainya kompetisi yang menggabungkan Galatama dan Perserikatan, kran pemain asing dibuka. Liga Indonesia edisi pertama tersebut dijuarai Persib Bandung, yang tampil justru tanpa pemain asing. Namun nama-nama pemain asing menghiasi liga yang pertama kali digelar tersebut, ada Vata Matanu Garcia, Abel Campos, Jacksen Fereira Tiago Carlos de Mello dan banyak lagi.
Liga demi liga berjalan, dan pemain asing silih berganti. Saat ini, di tahun 2022, praktis sudah berjalan 17 tahun liga sepakbola yang dihiasi pemain asing. Lalu, apa kontribusi mereka bagi sepakbola Indonesia? Apakah hanya sekedar menjadi daya tarik bagi penonton? Atau mereka menjadi penghalang munculnya talenta-talenta lokal, terutama di posisi yang sering ditempati pemain asing, seperti striker, playmaker dan bek tengah?.
Perlukah pemain asing? Bukankah terakhir kali Indonesia meraih gelar juara di event bergengsi seperti Sea Games 1991 dan 1987, atau masuk empat besar Asian Games 1986, atau lolos kualifikasi sub-grup Piala Dunia 1986 sebelum dihentikan Korea Selatan, adalah era sebelum pemain asing diperbolehkan masuk? Betul!. Tapi ada hal penting yang perlu dicermati dan di situlah kontribusi pemain asing.
Mari kita mulai analisa dengan bisa melihat kembali pada kompetisi di era sebelum pemain asing diperbolehkan masuk. Ada Perserikatan dan Galatama. Pada saat itu banyak pemain-pemain yang bermain cemerlang di kompetisi, sebut saja Bambang Nurdiansyah, top skor beberapa kali kompetisi Galatama, Edy Harto, penjaga gawang yang terkenal handal, atau siapa yang tak tahu Robby Darwis, palang pintu legendaris yang juara bersama tim Sea Games 1987 dan 1991. Belum lagi nama-nama legendaris seperti Ajat Sudrajat, Ribut Waidi, Budi Wahyono, Budiawan Hendratno, Ashari Rangkuti, Patar Tambunan, Mustaqim dan lain sebagainya. Mereka menjadi pemain-pemain cemerlang saat kompetisi. Tapi, kecemerlangan mereka seolah sirna ketika bermain di tim nasional.
Para top skor kompetisi perserikatan dan Galatama, seperti Singgih Pitono, Sutiono, Nasrul Kotto, Mohammad Alhadad dan banyak nama lagi, seperti melempem ketika bermain di tim nasional lalu berhadapan dengan tim nasional manca negara, terutama Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi dan lainnya. Jatahnya kita dipermak dengan rata-rata selisih empat gol. Para bek yang di kompetisi nampak tangguh, kocar-kacir ketika berhadapan dengan penyerang-penyerang dari manca negara.
Mengapa terjadi demikian? Itu karena semua kehebatan pemain lokal tersebut, terbentuk dalam ekosistem persaingan sesama pemain lokal. Mereka hanya terbiasa menghadapi pemain yang ukuran tubuhnya sama dan staminanya juga sama. Bahkan skill rata-rata pemain di kompetisi saat itu tak bisa dikatakan tinggi, kecuali mereka yang menjadi bintang atau level timnas. Dan biasanya, pemain-pemain berkualitas ini hanya dimiliki klub-klub besar atau papan atas.
Bahkan jika mencermati lebih jeli, pada era itu sangat banyak kiper dan bek tengah bertubuh pendek, dan mereka eksis menjadi andalan di klub masing-masing. Edy Harto misalnya, adalah kiper yang tidak terlalu tinggi, namun melegenda, sempat lama bermain di Krama Yudha sebelum pindah ke Assyabaab Salim Group Surabaya.Â
Begitu juga beberapa kiper lain, seperti Koko Sunaryo (Mitra Surabaya), Anshar Abdullah (Makassar Utama), Riyono (Persebaya) dan banyak lagi.Â
Persebaya ketika juara pada 1988, menggunakan bek tengah sekaligus kapten kesebelasan, Nuryono Haryadi, yang tidak terlalu tinggi. Pada 1987, Nuryono Haryadi bahkan berduet dengan stopper yang juga bertubuh pendek, yaitu Harmadi, namun Persebaya mampu meraih runner-up di bawah PSIS. Dan banyak lagi deretan bek tengah bertubuh pendek, Saiman dari Barito Putra, Johny Rining dari Persiba Balikpapan, dan seterusnya.Â
Pola itu mulai berubah ketika pemain asing masuk di kompetisi. Lambat laun, pemain-pemain bertubuh pendek di posisi kiper dan bek tengah menghilang.Â
Saat ini, bisa dikatakan tidak ada bek tengah atau penjaga gawang bertubuh pendek, karena mereka hampir pasti kesulitan bertarung dengan pemain asing yang  berpostur tinggi. Alhasil, berkat pemain asing, Liga menghadirkan situasi kompetitif yang menyerupai apa yang dibutuhkan timnas untuk bersaing dengan negara lain.
Hal lain lagi yang merupakan kontribusi pemain asing adalah, hampir setiap tim mampu menghadirkan pemain berkualitas. Ini membuat kompetisi berlangsung ketat. Pada Liga 1 2022 ini misalnya, tim-tim papan bawah seperti Persela, Barito Putra, Persiraja, Persipura bisa memberikan perlawanan karena ada pemain-pemain berkuaitas.
Ini juga berlangsung sejak beberapa Liga edisi sebelumnya. Berbeda dengan era sebelum pemain asing, tim-tim papan bawah seperti Warna Agung, Bali Yudha, PSIR Rembang, Persiku Kudus dan lainnya, hanya akan menjadi bulan-bulanan tim kuat.Â
Di era sebelum pemain asing, umumnya hanya tim-tim besar yang mampu memiliki pemain berkualitas. Pemain-pemain dengan level tim nasional, berkumpul di tim besar seperti Persib, Persebaya, Persija, Pelita Jaya, Krama Yudha, Niac Mitra dan lainnya.Â
Sementara tim-tim semenjana, seperti Warna Agung, Perkesa Mataram, PSIR Rembang, Persiku Kudus dan sejenisnya, hanya bermodalkan pemain lokal yang kemampuannya jauh di bawah. Bisa dipastikan, para penyerang atau pemain belakang tim-tim besar, mendapatkan lawan sepadan hanya ketika berhadapan dengan sesama tim besar.
Hasilnya bisa dilihat pada 1985 ketika di penyisihan Pra Piala Dunia Mexico 1986, timnas Indonesia sangat kesulitan menghadapi Korea Selatan yang bertubuh tinggi besar dan dihajar 0-2 di Seoul, serta 1-4 di Jakarta.Â
Di Asian Games 1986, setelah membuat kejutan dengan mengalahkan Uni Emirat Arab lewat adu penalti, timnas dibabat Korea 0-4 di semifinal dan kembali dibabat Kuwait 0-4 di perebutan medali perunggu.Â
Di penyisihan Piala Dunia 1989, timnas dibabat Jepang 0-5. Ricky Yakobi, strker Indonesia, tak berkutik dijaga oleh Kaneko, bek tengah berbadan besar yang mengawal lini belakang timnas Jepang. Dan di tahun 1993, timnas Pra Piala Dunia asuhan Ivan Toplak, dihajar negara-negara Timur Tengah di penyisihan grup. Salah satu golnya menjadi tertawaan komentator asing, karena kiper Edy Harto yang sudah susah payah meloncat, tetap kalah berebut bola dengan penyerang lawan yang bertubuh tinggi.
Perubahan terjadi sejak dibukanya keran pemain asing, tim-tim kecil pun bisa mendatangkan pemain berkualitas. Seleksi alam pun terbentuk dari ekosistem tersebut. Memang menjadi jarang striker lokal yang mampu muncul, namun jika ada yang muncul maka kemampuannya tidak berubah menurun drastis ketika dibawa ke timnas. Kita bisa mencontohkan nama-nama seperti Widodo Cahyono Putro, Kurniawan Dwi Yulianto, Rochy Puttiray, Boaz Salossa, dan banyak lagi.Â
Mereka tidak berubah permainannya ketika bermain di timnas. Artinya, bukan karena striker lokal jarang bermain karena umumnya klub menggunakan pemain asing untuk posisi striker, namun memang bibit striker lokal yang mampu bersaing dengan striker asing yang belum ditemukan.Â
Kontribusi pemain asing mulai terasa ketika Indonesia pertama kali lolos ke putaran final Piala Asia 1996, dan Widodo C. Putro membuat gol indah ke gawang Kuwait. Di era tersebut, mulai terlihat jika pemain-pemain yang di kompetisi lokal terlihat handal, ketika dibawa ke timnas, kehandalannya tidak hilang.Â
Hal tersebut karena mereka sudah terbiasa berhadapan dengan pemain bertubuh besar dan berteknik baik. Indonesia masih tetap kalah, tapi tidak pontang-panting ketika berhadapan dengan pemain-pemain dari Asia Timur atau Timur Tengah. Itu berlanjut di Piala Asia di Jakarta, ketika Indonesia meski kalah namun mampu mengimbangi Korea Selatan dan Arab Saudi.
Teori mengenai negara dengan pemain bertubuh pendek harus mengandalkan kecepatan dan umpan dari kaki ke kaki karena kalah postur, menjadi mudah diterapkan di timnas, ketika mereka terbiasa melakukannya di kompetisi ketika berhadapan dengan pemain asing yang bertubuh tinggi.Â
Di setiap pertandingan, striker lokal belajar berhadapan dengan pemain belakang bertubuh tinggi. Dan pemain belakang belajar menghentikan penyerang bertubuh tinggi. Pemain tengah belajar bermain cepat ketika melawan pemain bertubuh tinggi. Pemain lokal tahu cara bermain pemain Amerika Latin, Eropa, Afrika, Korea, dan banyak lagi, karena mereka hadir di tengah-tengah kompetisi.
Jadi, pemain asing bukan semata untuk daya tarik atau menambal kekurangan stok pemain lokal. Mereka menciptakan ekosistem kompetisi yang membentuk cara bermain para pemain lokal. Di Liga Indonesia tahun 2021 yang rencananya bergulir pada Juli 2021, ada wacana penghapusan pemain asing, atau pengurangan jumlahnya.Â
Entah apa pertimbangannya. Lewat tulisan ini, saya mencoba memberikan analisa. Jadi, saya sendiri masih tetap berharap jumlah pemain asing ada 3+1. Itu adalah jumlah pemain asing yang ideal untuk membentuk ekosistem persaingan. Ada satu pemain yang memberi wawasan cara bermain sesama negara Asia dan tiga pemain yang umumnya datang dari Amerika Latin, Afrika dan Eropa.
Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H