Saat ini, bisa dikatakan tidak ada bek tengah atau penjaga gawang bertubuh pendek, karena mereka hampir pasti kesulitan bertarung dengan pemain asing yang  berpostur tinggi. Alhasil, berkat pemain asing, Liga menghadirkan situasi kompetitif yang menyerupai apa yang dibutuhkan timnas untuk bersaing dengan negara lain.
Hal lain lagi yang merupakan kontribusi pemain asing adalah, hampir setiap tim mampu menghadirkan pemain berkualitas. Ini membuat kompetisi berlangsung ketat. Pada Liga 1 2022 ini misalnya, tim-tim papan bawah seperti Persela, Barito Putra, Persiraja, Persipura bisa memberikan perlawanan karena ada pemain-pemain berkuaitas.
Ini juga berlangsung sejak beberapa Liga edisi sebelumnya. Berbeda dengan era sebelum pemain asing, tim-tim papan bawah seperti Warna Agung, Bali Yudha, PSIR Rembang, Persiku Kudus dan lainnya, hanya akan menjadi bulan-bulanan tim kuat.Â
Di era sebelum pemain asing, umumnya hanya tim-tim besar yang mampu memiliki pemain berkualitas. Pemain-pemain dengan level tim nasional, berkumpul di tim besar seperti Persib, Persebaya, Persija, Pelita Jaya, Krama Yudha, Niac Mitra dan lainnya.Â
Sementara tim-tim semenjana, seperti Warna Agung, Perkesa Mataram, PSIR Rembang, Persiku Kudus dan sejenisnya, hanya bermodalkan pemain lokal yang kemampuannya jauh di bawah. Bisa dipastikan, para penyerang atau pemain belakang tim-tim besar, mendapatkan lawan sepadan hanya ketika berhadapan dengan sesama tim besar.
Hasilnya bisa dilihat pada 1985 ketika di penyisihan Pra Piala Dunia Mexico 1986, timnas Indonesia sangat kesulitan menghadapi Korea Selatan yang bertubuh tinggi besar dan dihajar 0-2 di Seoul, serta 1-4 di Jakarta.Â
Di Asian Games 1986, setelah membuat kejutan dengan mengalahkan Uni Emirat Arab lewat adu penalti, timnas dibabat Korea 0-4 di semifinal dan kembali dibabat Kuwait 0-4 di perebutan medali perunggu.Â
Di penyisihan Piala Dunia 1989, timnas dibabat Jepang 0-5. Ricky Yakobi, strker Indonesia, tak berkutik dijaga oleh Kaneko, bek tengah berbadan besar yang mengawal lini belakang timnas Jepang. Dan di tahun 1993, timnas Pra Piala Dunia asuhan Ivan Toplak, dihajar negara-negara Timur Tengah di penyisihan grup. Salah satu golnya menjadi tertawaan komentator asing, karena kiper Edy Harto yang sudah susah payah meloncat, tetap kalah berebut bola dengan penyerang lawan yang bertubuh tinggi.
Perubahan terjadi sejak dibukanya keran pemain asing, tim-tim kecil pun bisa mendatangkan pemain berkualitas. Seleksi alam pun terbentuk dari ekosistem tersebut. Memang menjadi jarang striker lokal yang mampu muncul, namun jika ada yang muncul maka kemampuannya tidak berubah menurun drastis ketika dibawa ke timnas. Kita bisa mencontohkan nama-nama seperti Widodo Cahyono Putro, Kurniawan Dwi Yulianto, Rochy Puttiray, Boaz Salossa, dan banyak lagi.Â
Mereka tidak berubah permainannya ketika bermain di timnas. Artinya, bukan karena striker lokal jarang bermain karena umumnya klub menggunakan pemain asing untuk posisi striker, namun memang bibit striker lokal yang mampu bersaing dengan striker asing yang belum ditemukan.Â
Kontribusi pemain asing mulai terasa ketika Indonesia pertama kali lolos ke putaran final Piala Asia 1996, dan Widodo C. Putro membuat gol indah ke gawang Kuwait. Di era tersebut, mulai terlihat jika pemain-pemain yang di kompetisi lokal terlihat handal, ketika dibawa ke timnas, kehandalannya tidak hilang.Â